Tuesday, May 29, 2007

Jerman = Bir ?

S

eorang teman, yang lama tidak bertemu, mengajak untuk bertemu di sebuah kedai (cafe) di Jakarta. "Sekalian saya ingin nyicipi bir Jerman di kafe itu," ujarnya seraya menyebutkan sebuah restoran yang namanya menggunakan bahasa Jerman. Biasanya, dia berkesempatan mengkonsumsi makanan atau minuman Jerman di Indonesia saat berlangsungnya Festival Oktober yang kerap digelar hotel-hotel ternama di Jakarta. Tapi sejak adanya restoran yang memproklamirkan diri sebagai pengusung masakan Bavaria itu, dia tak perlu menunggu bulan Oktober untuk menikmati Jumbo Currywurst, Bratkartoffeln, Kartoffelknodel Puree, pommes frites, Semmel Knoedel, (keempat terakhir merupakan makanan pendamping atau yang biasa disebut beilagen), Wiswurst, atau Bockwurst. Tapi kenapa dia menyebut Bir Jerman?

Bir Jerman? Erdinger, ujarnya menambahkan. Mungkin itu nama salah satu merk bir atau jenisnya, tapi saya 'kan bukan peminum bir. Meskipun kawan saya bilang, ada bir tanpa alkohol. Sebab, salah satu pantangan bagi seorang muslim, adalah minum khamr, yaitu sesuatu yang memabukkan dan membuat kesadaran diri hilang. Salah satu khamr ini, diantaranya, adalah bir. Meski demikian, saya jadi ingin tahu, kenapa teman saya itu begitu terkesan dengan bir Jerman. Pasti bukan saja karena dia pernah kuliah di sana. Karena dari berbagai jenis masakan, ternyata kawan saya hanya mengatakan, "Sekalian saya ingin nyicipi bir Jerman di kafe itu."

Memang di dunia ini, bangsa yang terkenal gemar mengkonsumsi bir adalah Jerman. Bayangkan saja, di sana ada 6.000 lebih merk bir dan 1.200 pabrik pembuatnya. Belum lagi bir-bir buatan industri rumahan dalam skala kecil. Konsumsi bir di sana pada tahun 2005 rata-rata 111,6 liter per kepala, atau setara dengan 82 juta warga Jerman minum 0,31 liter bir setiap harinya. Harga bir di gelas ukuran setengah liter hanya tiga euro (sekitar Rp36 ribu). Dibandingkan negara Eropa lainnya, itu murah banget. Juga banyak terdapat tempat berupa taman-taman yang digunakan untuk kongkow-kongkow sambil minum bir bergelas-gelas (ukuran minumnya sampai literan!). Maka hanya di sanalah ada istilah "Bier Garten" (taman untuk minum bir). Mungkin konsumsi bir di Jerman sana sama halnya dengan konsumsi air putih bagi orang Indonesia.

Industri pembuatan bir di Jerman sudah memiliki tradisi panjang. Berbagai produsen, mulai dari industri skala besar hingga skala rumahan, tumbuh menjamur di mana-mana sejak lama. Tak heran jika di sana banyak bermunculan brauhaus atau rumah minum khas Jerman yang menggabungkan lokasi pembuatan bir (brewery) dan kedai di satu tempat yang sama. Di tempat semacam itu juga dapat dengan mudah ditemui ruangan berdinding cekung berisi segala peralatan pembuat bir yang memiliki dwifungsi: sebagai alat penghasil "liquid food"-nya orang Jerman alias bir, juga sebagai hiasan ruangan.

Asal Usul Bir

Tidak jelas benar dari mana kata bir berasal. Namun proses pembuatannya sendiri sudah ditemukan sejak lama. Sebuah prasasti yang ditemukan di delta subur antara sungai Eufrat dan sungai Trigis di kawasan Mesopotamia (sekarang kawasan irak) dan diperkirakan berasal dari masa sekitar 6.000 SM, sudah memuat gambaran tentang proses pembuatan bir. Sebuah relief yang terdapat di makam kuno di Mesir dari masa sekitar 2.400 SM juga menggambarkan proses pembuatan bir dengan bahan "barley" (barli), yaitu semacam rumput yang bijinya bisa diolah menjadi bir. Sejarah selanjutnya menapak pada tahun 2.000 SM ketika Raja Hammurabi dari Babylonia merilis resep tentang cara pembuatan dan penyajian bir. Di Mesir sendiri, sang Fir'aun (pharaoh) juga terkenal sebagai ahli pembuat minuman hasil fermentasi ini.

Menurut Ensiklopedi Britanica, seorang sejarawan asal Romawi bernama Pliny dan Tacticus mencatat bahwa bangsa dari suku Saxon, Celt, Nordic dan Germanic sudah menkonsumsi sejenis bir tak berwarna (disebut ale). Istilah ini juga berkembang diantara istilah-istilah lain di kalangan bangsa Anglo-Saxon seperti istilah Malt, Mash, dan Wort.

Pada abad 15, pembuatan bir di Jerman menggunakan teknik fermetasi yang berbeda. Prosesnya dilakukan dengan proses fermentasi dasar, bukan fermentasi di atas bahan bakunya. Bir yang dihasilkan disebut dengan lager (dari bahasa Jerman: Lagern = menyimpan) karena bir pada masa itu dibuat pada musim dingin dan membutuhkan es untuk menyimpannya pada musim panas.

Proses pembuatan bir kemudian berkembang dengan adanya kontrol yang baik menggunakan termometer dan sakarimeter yang bis amengukur kadar gula. Dengan paduan teknologi pembuatan es dan sistem pedinginan, pembuatan bir bisa dilakukan pada musim panas. Tapi cita rasa bir masih juga tak bisa ditentukan, sebab sangat dipengaruhi proses berubahnya gula menjadi alkohol oleh sel ragi. Lalu muncullah Louis Pasteur yang berargumen bahwa walaupun semua jenis sel ragi bisa dimanfaatkan untuk fermentasi, namun tidak semua sel ini cocok bagi proses pembuatan bir. Sel-sel yang tertentu saja yang akan menghasilkan cita rasa bir yang tinggi. Proses Pasteurisasi yang ditemukannya juga mampu membuat bir menjadi lebih tahan lama, setelah memanaskan bir hingga 70 derajat celcius agar mikroorganisma tidak aktif. Berbagai teknologi yang kemudian ditemukan juga membuat bir yang dihasilkan menjadi seperti yang kita kenal saat ini.

Proses Pembuatan Bir

Proses pembuatan bir sebenarnya sederhana saja. Prinsip yang digunakan sama seperti pembuatan minuman keras buatan lokal Indonesia, atau seperti pembuatan tape ketan, yaitu dengan memanfaatkan proses fermentasi. Bulir gandum (atau sejenisnya) dibiarkan tumbuh berkecambah, kemudian dikeringkan. Proses penumbuhan kecambah ini akan menghasilkan yang mengandung enzim amilase (yang mampu mengubah karbohidrat menjadi gula, seperti air liur di dalam mulut kita) yang terdiri dari alpha amilase dan beta amilase. Kemudian, Malt ini (bulir gandum berkecambah) dihancurkan dan dicampur dengan air panas atau direbus selama 1 - 2 jam. Setelah menjadi cairan gula, ditambahkan dengan buah hop (yang memberikan rasa pahit). Setelah itu ditambahkan ragi. Di sinilah proses fermentasi dimulai dengan mendiamkannya selama satu hingga tiga minggu. Gula akan menjadi alkohol dan gas karbondioksida. Setelah itu didinginkan, diperas dan disaring. Maka jadilah bir. Itu sebabnya, bir terkadang disebut sebagai roti cair, sebab bahan dasar pembuatnya memang berasal dari bahan yang sama, yaitu bulir gandum.

Khusus di Jerman yang konsumsi birnya sangat tinggi, saat ini sedang ada kerisauan di kalangan produsen bir. Hal ini karena adanya kebijakan tentang biodiesel. Seperti kita mafhum, biodiesel dikembangkan untuk membuat bahan bakar yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pemerintah Jerman sangat giat mengembangkan jenis bhan bakar nabati ini. Termasuk dengan memberikan subsidi bagi petani yang mau menanam tumbuhan yang bis amenjadi biodiesel. Akibatnya, tanaman gandum, seperti barli, makin berkurang di tanah-tanah pertanian jerman. Dari 12 juta hektar lahan pertanian, 2 juta diantaranya sudah berubah menjadi lahan untuk tanaman biodiesel ini. Ini tidak saja berdampak pada produksi bir, melainkan juga pada produksi roti. Maka rakyat Jerman pun mengeluh dan menuduh Pemerintah lebih memperhatikan kebutuhan energi daripada ketahanan pangan rakyatnya.

Namun di sisi lain, Jens Redemacher, kepala divisi biji-bijian FPJ (Federasi Petani Jerman), mengemukakan produsen bir juga punya andil atas keadaan itu. "Mereka selama ini meminta harga barli (biji gandum) tetap rendah sehingga petani tidak menanamnya lagi karena tidak menguntungkan. Bahan bakar nabati bukan satu-satunya biang keladi," katanya.

"Jerman tanpa bir, seperti Arab tanpah jubah," begitu kata teman saya. Tapi dia kan cuma pernah sekolah di Jerman, bukan bangsa Jerman atau orang yang lahir dan dibesarkan di Jerman? Entahlah, mungkin dia lupa bahwa bersekolah di Jerman bukan berarti harus serba Jerman di segala hal, termasuk gaya hidup. Kalau saya, masih lebih senang Bajigur atau Bandrek Abah dari Tjiwidej, Bandung. Setiap Minggu sore, saya juga punya tradisi minum sekoteng berdua dengan istri saya. Bir? aduh, saya nggak tega meminumnya.

gambar diambil dari sini dan sini

Wednesday, May 23, 2007

Sanggabuana, Ciremai, Jawa barat


Jam empat pagi aku sudah berdiri di sini. Sanggabuana, begitu orang-orang menyebutnya. Jaraknya sekitar tigapuluh menit menjelang puncak Ciremai. Sebuah tempat yang relatif datar meski tak terlalu luas. Seolah disediakan untuk menjadi teras bagi tempat istirahat pendaki di tengah terjalnya jalur pendakian menuju puncak gunung Ciremai. Meski tak luas, tapi masih cukup untuk mendirikan tenda kapasitas empat orang. Di sekitar, semak Cantigi dan Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) rapat memagar.

Beberapa orang sudah bergerak menuju puncak. Lainnya masih ada dalam perjalanan menuju tempatku berdiri. Tapi sebentar lagi pagi, dan mereka mungkin akan terus menuju puncak untuk merasakan sensasi matahari terbit di sana. Jarang sekali yang sengaja berdiri di sini, di sanggabuana, untuk menunggu matahari terbit. Kebanyakan orang akan lebih senang melihatnya di puncak. Kecuali terpaksa, entah karena tak bisa mencapai puncak sebelum matahari terbit, atau memang tak kuat lagi melanjutkan pendakian ke sana.

"Berger?" tanya itu mengajakku bergerak ke puncak. Aku hanya menggeleng. Maka kawanku itu berlalu perlahan. Tapak-tapaknya diiringi debu-debu yang beterbangan. Dalam kegelapan dini hari, tubuhnya seolah bayang-bayang hitam yang sedang membelah tipisnya udara di ketinggian tempat ini. Bayangan yang tampak makin jauh dan tinggi, pertanda lereng sudah mulai dirambah dan undakan telah mulai didaki.

Lalu yang lain segera menyusul, melewatiku yang masih berdiri di tepi jalan setapak yang menghadap langsung ke jurang. Ajakan dan teguran kutanggapi seadanya saja. Biarlah aku diam di sini, di Sangga buwana yang sepi. Mungkin akan ke puncak dan bibir kawah setelah agak terang nanti.Lagipula aku sudah beberapa kali menjejakkan kaki di puncak Ciremai dan menyaksikan kelahiran hari baru di sana. Saat ini aku ingin merasakan sensasi melihat terbitnya matahari dari Sanggabuana. Senter telah lama kumatikan. Aku duduk di tepi jurang, menatap lurus ke arah Timur. Suara angin terdengar memainkan daun-daun, mengajaknya menari menyambut matahari, barangkali. Dalam gelap dan sepi begini, suara-suara alam terdengar lain dari yang biasanya, terdengar lebih kaya dan menyusup dalam jiwa.

Memang, aku sengaja memilih tempat ini untuk mengintip matahari terbit. Pemandangannya lebih dramatis, setidaknya menurutku, karena ada sebuah pohon yang tumbuh menyendiri dan tampak menonjol di area ini. Keberadaannya bisa menjadi bingkai alami saat Kau membuat foto. Sedangkan di puncak, meski dengan pandangan yang lebih luas, sulit sekali mencari subjek pengiring bagi matahari kemerahan yang sedang terbit. Tentu pemandangannya tetap indah. Ah, tapi apakah keindahan itu? Sesuatu yang membuat hati senang saat kita melihatnya? Ataukah sesuatu yang bisa diabadikan dalam foto lalu mengisi daftar stock foto yang bisa dijual atau disewakan lalu uangnya dihabiskan untuk memuaskan hasrat diri akan kesenangan? Ataukah sesuatu yang bisa dikenang bersamamu, ketika hari-hari sibuk seolah tak memberi kesempatan bagi kita untuk sekadar merenungkan kebesaran sang Pencipta dan mengingatkan kita lagi bahwa kelak segalanya akan kembali padaNya?

Sekarang cahaya di cakrawala Timur yang gelap mulai berubah warna. Semula biru gelap, seperti warna pakaian satpam di Blok M Mall Jakarta. Lalu biru gelap tadi seolah naik ke atas, berganti ungu, lalu merah, dan menjadi jingga terang. Ah, Kaukah itu, yang menitipkan senyum pada mentari, merajut tirai jingga di jendela langit pagi, ketika angin merangkai udara, dan resah membingkai rasa.

Atraksi memukau itu kunikmati sendiri, di tengah sepi yang mengepung dan semak cantigi yang mengurung. Bola api raksasa bernama matahari itu terus bergeser, menguak kegelapan diantara bayangan gunung Slamet yang bagaikan lipatan roti tawar persegi di atas cake besar bernama bumi. Itu matahari yang sama seperti yang terbenam petang kemarin. Bukankah begitu? Meski kita tak tahu, apakah itu benar-benar matahari yang kemarin. Mungkinkah ketika malam, matahari itu bertukar tempat dengan matahari yang lain, lalu pagi ini matahari yang terbit bukanlah matahari yang terbenam kemarin? Tapi tidak, itu memang matahari yang kemarin terbenam. Dan ia akan terbenam lagi sore nanti, utnuk terbit lagi esok pagi. Begitu seterusnya. Berapa lamakah kita harus hidup, untuk memahami betapa masa selalu berganti dan manusia hanya sekadar kilasan dalam lintasan waktu yang amat panjang? Sejarah manusia tak lebih tua dari debu yang mengotori sepatu, tapi seringkali manusia berpolah seolah-olah ialah yang paling berkuasa di alam raya ini. Padahal sejarah cantigi merah hijau lebih punya arti dalam masa dibandingkan umur manusia yang tak sebebrapa ini. Apalagi dibandingkan dengan matahari.

Kini tanah mulai terang. Daun-daun cantigi yang semula terlihat serupa semua di dalam gelap, kini mulai jelas perbedaan warnanya: hijau, kuning, dan merah. Lapisan kapas putih bunga-bunga Edelweis Jawa mulai tampak, menyelimuti batang-batang kecoklatannya. Rumput-rumput dan ujung daun-daun mulai berkilauan, melahirkan pantulan cahaya matahari yang lahir dari rahim ribuan embun. Ah, kapankah embun itu singgah di pucuk-pucuk dedaunan itu? Pasti dia tiba diam-diam di tengah malam, mengajarkan pada semua manusia yang melihatnya bahwa sebagai bagian dari alam, dia tak melakukan apa-apa selain menjalankan apa yang sudah digariskan alam.

Dan seperti juga di puncak argopuro, maka di sini
di ketinggian tempat ini
aku hanyalah sebutir embun
yang sedang mencari
setangkai puisi.

Tapi dalam hidup ini, apakah puisi itu? Barangkali hidup kita inilah puisi itu sendiri, yang hanya setangkai dibandingkan pohon besar peradaban manusia. Hidup yang hanya seranting dalam taman besar ciptaan tuhan. Hidup yang tak akan menjadi puisi, ketika kita tak mampu menyadari asal-usul kita sendiri.

Allahu'alam

Monday, May 14, 2007

Gunung - Sawah - Jalan - Rumah


Setiap kali diminta menggambar dengan tema bebas, maka yang kemudian tercipta di atas kertas/buku gambarku adalah gunung biru sebagai latar belakang, sawah hijau membentang yang dibelah jalan dengan deretan tiang-tiang di tepi jalan, rumah milik petani, serta terkadang hewan ternak sedang membajak sawah. Entah sudah berapa kali aku menggambar hal seperti itu. Begitu saja, tanpa ada variasi apa-apa. Mungkin kreatifitasku memang pendek, atau memang nggak bakat jadi pelukis.

Memang, saat itu aku masih duduk di bangku TK atau SD dan banyak yang mengira hal-hal itu hanya akan lahir dari khayalan ketika aku masih anak kecil saja. Seiring bertambahnya umur, kreatifitas - konon katanya - akan berkembang, dan khayalan yang bisa dituang ke media seni akan menjadi lebih beragam.

Tapi ternyata, setelah dewasa (aku dah dewasa apa belum ya...), subyek-subyek itu tetap saja hadir. Meski tidak pernah lagi menggambar, tapi aku sering membuat foto dengan subyek pemandangan alam. Dan ternyata, khayalan masa kecilku itu hadir lagi ke dalam bentuk foto. Iya, gambar dengan gunung biru sebagai latar belakang, sawah hijau membentang yang dibelah jalan dengan deretan tiang-tiang di tepi jalan, rumah milik petani, serta terkadang hewan ternak sedang membajak sawah. Memang tidak persisi sama. Tapi coba saja perhatikan foto berikut ini:


Nah, iya kan? ternyata nggak banyak berubah, biarpun sudah dewasa. Apa berarti kreatifitasku memang segitu-gitu saja? Apa itu berarti aku tidak berkembang? Kenapa masih sawah-sawah itu saja, atau gunung-gunung itu saja yang menarik perhatian sehingga aku memilihnya untuk kurekam dalam foto? Memang, tidak selalu begitu. Tapi setiap melihat pemandangan itu, aku selalu gatal untuk mengabadikannya dalam foto. Mungkin karena aku - tanpa sadar - ingin memperbaiki kualitas gambar-gambarku dulu yang nggak karu-karuan dengan cara merekamnya dalam kenyataan yang lebih sempurna.

Tapi mungkin juga aku kembali ke tema-tema itu, karena itulah cerminan impianku: ingin hidup tentram di pedesaan.

Thursday, May 10, 2007

Seberapa Jauhkah Kita Telah Melangkah

Kakek dan nenek saya pernah bercerita, bahwa dulu setidaknya 35 hari sekali, mereka akan pergi ke kota Yogyakarta dengan berjalan kaki. Itu berarti lebih dari 60 km jauhnya. Mereka menempuh perjalanan sejauh itu untuk menjual hasil sawah dan ladang, ke pasar yang ada di Yogyakarta. Ya, itu adalah kesempatan setiap 35 hari sekali, ketika pasar begitu ramai dengan jenis dagangan tertentu saja. 35 hari adalah waktu pengulangan terdekat bagi kombinasi hari antara sistem penangalan nasional (tujuh hari seminggu) dengan sistem penanggalan jawa (lima hari sepekan). 35 hari adalah kelipatan persekutuan terkecil dari angka 5 dan 7.


Mereka memilih berjalan kaki bukan karena sok kuat atau sedang menjalankan semacam tirakat, melainkan karena tak ada pilihan lain. Mobil? Motor? Jaman kakek nenek saya, hal semacam itu hanya dipakai oleh pejabat negara. Sepeda? itu pun hanya dimiliki orang-orang kaya. Tapi itu kan dulu, semestinya, setelah sekian puluh tahun merdeka, bangsa kita tentunya tak lagi demikian.

Tak ada lagi cerita orang yang harus berjalan kaki sejauh 60 km hanya untuk menjual kelapa hasil kebunnya dan kemudian uangnya dipakai untuk membeli gula. Alat transportasi sudah begitu banyak dan mudah untuk dimiliki. Jangankan sepeda, untuk memperoleh sepeda motor kreditan pun, hanya diperlukan fotokopi ktp atau buku rekening bank, atau kuitansi pembayaran tagihan listrik bulanan, dan hal-hal yang tak terlalu menyulitkan lainnya. Pasarpun ada di mana-mana, tak perlu jalan kaki jauh hanya untuk memutar roda perekonomian keluarga. Segalanya mudah saat ini.

Tapi ternyata saya keliru. Pagi tadi, di dalam KRL tujuan Depok, saya mendengar tiga orang penumpang yang bercerita tentang pekerjaan mereka. Salah seorang diantaranya ternyata menyewakan sebuah Music Box, untuk menyebut sebuah kotak ukuran 20 cm x 20 cm x 30 cm yang terdiri dari sebuah speaker dan pemutar kaset. Kotak tersebut disewakan kepada siapa saja yang mau menggunakannya sebagai alat mencari nafkah. Dua orang diantaranya adalah kedua orang yang duduk di samping pemilik music box tadi.

Salah seorang penyewa bercerita, bahwa ia hanya sempat berjalan tiga rit (tiga kali perjalanan bolak-balik) KRL tujuan Kota - Bogor setiap harinya (kira-kira tiga jam tiap tripnya). Dan dari hasil tiga kali berjalan di atas kereta antara Stasiun Jakarta Kota - Bogor itu, dia hanya menenteng music box yang memutar lagu-lagu Rhoma Irama khusus untuk karaoke (tanpa suara vocalis, hanya musik). Selama tiga trip itu, ternyata penghasilannya tidak terlalu membuatku terkejut. Uang itu pun harus dipotong biaya sewa kotak, jasa keamanan KRL (baca: uang preman), sarapan dan makan siang serta rokok, dan juga uang jasa angkut kepada kondektur yang kadang-kadang juga meminta jatah. Sisanya, ternyata tak lebih dari Rp. 30.000. Tak perlu kita hitung berapa penghasilan per jamnya untuk sekadar mengetahui ada di tingkat kemakmuran yang mana dia berada.

Kalau dulu, di jaman revolusi fisik, kakek dan nenek saya harus berjalan enampuluh kilometer untuk menjual hasil sawah dan ladang yang tiap hari di cumbui sejak subuh hingga sore hari, lalu seorang penjual suara harus berjalan selama sembilan jam dalam kereta listrik Jakarta - Bogor hanya untuk mengantongi tigapuluhribu rupiah setiap harinya, maka sebenarnya, setelah puluhan tahun Republik Indonesia ini berdiri, seberapa jauhkah kita telah melangkah?

Tuesday, May 08, 2007

Read More, buat Mas Komandan

Cara membuat READ MORE dalam postingan blog ini, sebenarnya sudah banyak diulas dalam tutorial yang terdapat di berbagai blog, seperti punya mas joni, atau Blogger Indonesia A. Fatih Syuhud Weblog. Tapi karena Mas Komandan meminta saya menuliskannya, maka saya kutip saja postingan yang ada di blog Refleksi dan Blog Tutorial dan menuliskannya mentah-mentah di bawah ini. Mudah-mudahan Mas Komandan berkenan dan bisa menikmatinya.
Untuk mas Joni dan mas AF Syuhud, terimakasih banyak ya... :)



Berikut prosesnya:

1. Buka template --> edit HTML
2. Kasih tanda tik/cek menu "expand widget template"
3. Cari kode berikut di TEMPLATE blog Anda:


<div class='post-header-line-1'/> <div class='post-body'>


4. Kalau sudah ketemu, letakkan kode berikut DI BAWAH kode html di atas:


<b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>

<style>.fullpost{display:inline;}</style>

<p><data:post.body/></p>

<b:else/>

<style>.fullpost{display:none;}</style>



5. Di Bawah kode di atas ada kode html sbb:

<p><data:post.body/></p>



<div style='clear: both;'/> <!-- clear for photos floats -->

</div>


6. Nah, di antara kode <p><data:post.body/></p> dan kode <div style='clear: both;'/> <!-- clear for photos floats -->
</div>


pasang kode html ini:
<a expr:href='data:post.url'>Read More......</a>

</b:if>


7. Jadi, susunan kode html di template setelah ditambah dg kode READ MORE akan menjadi seperti ini (yg warna biru adalah kode tambahan untuk READ MORE, sedang kode warna hitam adalah kode asli template):


<div class='post-header-line-1'/>

<div class='post-body'>

<b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>
<style>.fullpost{display:inline;}</style>
<p><data:post.body/></p>
<b:else/>
<style>.fullpost{display:none;}</style>

<p><data:post.body/></p>

<a expr:href='data:post.url'>Read More......</a>
</b:if>

<div style='clear: both;'/> <!-- clear for photos floats -->
</div>


8. Klik SETTINGS, terus klik FORMATTING. Di paling bawah ada kotak kosong di samping menu POST TEMPLATE. Isi kotak kosong tsb dg kode berikut:


<span class="fullpost">



</span>


Jangan lupa klik SAVE apabila sudah dipasang.


9. Klik SAVE. Selesai.***

CARA MEMPOSTING

Ketika memposting, klik EDIT HTML. Maka, secara otomatis akan tampak kode

<span class="fullpost">



</span>


Letakkan posting yg akan ditampilkan di halaman muka di atas kode sementara sisanya (yakni keseluruhan entry), letakkan di antara kode
<span class="fullpost"> dan </span>.

Catatan Penting:

(A) Artikel yg diposting sebelum pemasangan kode READ MORE di atas akan tetap tampil penuh di halaman muka, Anda bisa mengeditnya dg cara sbb:

1. Klik menu EDIT POSTS
2. Klik EDIT di artikel yg akan diedit.
3. Pasang kode <span class="fullpost">
di bawah paragraf yg akan ditampilkan. Dan pasang kode </span>
di akhir artikel.

Ingat kode hanya ada SATU kode <span class="fullpost"> dan </span>. Apabila terdapat lebih dari satu, dan biasanya numpuk di bagian paling bawah artikel, maka dibuang saja.

(B) Bagi pengguna blogger beta/baru tapi memakai template klasik/lama, maka sistem READ MORE memakai sistem panduan yg lama, lihat tutorialnya di sini.

[Update 7/2/07]: Read more di blogger beta tidak perlu pasang kode di antara [style] dan [/style]. Ini berbeda dg READ MORE di blogger lama.

Selamat menikmati Blogger Baru dg READ MORE!

Tuesday, May 01, 2007

Sabang, Pulau Weh

Postingan berikut ini untuk memenuhi permintaan mbak W (dah lama nggak liat senyummu...). maaf ya, nggak bisa banyak-banyak, soale darurat sih. Lagipula, foto-fotonya nggak layak tampil.

Ini foto sunset di salah satu pantai di Sabang:
Yang ini, kapal cepat Baruna Duta 3 (yang pertama dan keduanya mana ya?):

Ini pelabuhan Balohan, Kota Sabang:
Ini diambil dari mobil, ketika menyusuri jalan di tepi pantai:
Ini salah satu sudut dari pantai Gapang:
.