Tuesday, May 29, 2007

Jerman = Bir ?

S

eorang teman, yang lama tidak bertemu, mengajak untuk bertemu di sebuah kedai (cafe) di Jakarta. "Sekalian saya ingin nyicipi bir Jerman di kafe itu," ujarnya seraya menyebutkan sebuah restoran yang namanya menggunakan bahasa Jerman. Biasanya, dia berkesempatan mengkonsumsi makanan atau minuman Jerman di Indonesia saat berlangsungnya Festival Oktober yang kerap digelar hotel-hotel ternama di Jakarta. Tapi sejak adanya restoran yang memproklamirkan diri sebagai pengusung masakan Bavaria itu, dia tak perlu menunggu bulan Oktober untuk menikmati Jumbo Currywurst, Bratkartoffeln, Kartoffelknodel Puree, pommes frites, Semmel Knoedel, (keempat terakhir merupakan makanan pendamping atau yang biasa disebut beilagen), Wiswurst, atau Bockwurst. Tapi kenapa dia menyebut Bir Jerman?

Bir Jerman? Erdinger, ujarnya menambahkan. Mungkin itu nama salah satu merk bir atau jenisnya, tapi saya 'kan bukan peminum bir. Meskipun kawan saya bilang, ada bir tanpa alkohol. Sebab, salah satu pantangan bagi seorang muslim, adalah minum khamr, yaitu sesuatu yang memabukkan dan membuat kesadaran diri hilang. Salah satu khamr ini, diantaranya, adalah bir. Meski demikian, saya jadi ingin tahu, kenapa teman saya itu begitu terkesan dengan bir Jerman. Pasti bukan saja karena dia pernah kuliah di sana. Karena dari berbagai jenis masakan, ternyata kawan saya hanya mengatakan, "Sekalian saya ingin nyicipi bir Jerman di kafe itu."

Memang di dunia ini, bangsa yang terkenal gemar mengkonsumsi bir adalah Jerman. Bayangkan saja, di sana ada 6.000 lebih merk bir dan 1.200 pabrik pembuatnya. Belum lagi bir-bir buatan industri rumahan dalam skala kecil. Konsumsi bir di sana pada tahun 2005 rata-rata 111,6 liter per kepala, atau setara dengan 82 juta warga Jerman minum 0,31 liter bir setiap harinya. Harga bir di gelas ukuran setengah liter hanya tiga euro (sekitar Rp36 ribu). Dibandingkan negara Eropa lainnya, itu murah banget. Juga banyak terdapat tempat berupa taman-taman yang digunakan untuk kongkow-kongkow sambil minum bir bergelas-gelas (ukuran minumnya sampai literan!). Maka hanya di sanalah ada istilah "Bier Garten" (taman untuk minum bir). Mungkin konsumsi bir di Jerman sana sama halnya dengan konsumsi air putih bagi orang Indonesia.

Industri pembuatan bir di Jerman sudah memiliki tradisi panjang. Berbagai produsen, mulai dari industri skala besar hingga skala rumahan, tumbuh menjamur di mana-mana sejak lama. Tak heran jika di sana banyak bermunculan brauhaus atau rumah minum khas Jerman yang menggabungkan lokasi pembuatan bir (brewery) dan kedai di satu tempat yang sama. Di tempat semacam itu juga dapat dengan mudah ditemui ruangan berdinding cekung berisi segala peralatan pembuat bir yang memiliki dwifungsi: sebagai alat penghasil "liquid food"-nya orang Jerman alias bir, juga sebagai hiasan ruangan.

Asal Usul Bir

Tidak jelas benar dari mana kata bir berasal. Namun proses pembuatannya sendiri sudah ditemukan sejak lama. Sebuah prasasti yang ditemukan di delta subur antara sungai Eufrat dan sungai Trigis di kawasan Mesopotamia (sekarang kawasan irak) dan diperkirakan berasal dari masa sekitar 6.000 SM, sudah memuat gambaran tentang proses pembuatan bir. Sebuah relief yang terdapat di makam kuno di Mesir dari masa sekitar 2.400 SM juga menggambarkan proses pembuatan bir dengan bahan "barley" (barli), yaitu semacam rumput yang bijinya bisa diolah menjadi bir. Sejarah selanjutnya menapak pada tahun 2.000 SM ketika Raja Hammurabi dari Babylonia merilis resep tentang cara pembuatan dan penyajian bir. Di Mesir sendiri, sang Fir'aun (pharaoh) juga terkenal sebagai ahli pembuat minuman hasil fermentasi ini.

Menurut Ensiklopedi Britanica, seorang sejarawan asal Romawi bernama Pliny dan Tacticus mencatat bahwa bangsa dari suku Saxon, Celt, Nordic dan Germanic sudah menkonsumsi sejenis bir tak berwarna (disebut ale). Istilah ini juga berkembang diantara istilah-istilah lain di kalangan bangsa Anglo-Saxon seperti istilah Malt, Mash, dan Wort.

Pada abad 15, pembuatan bir di Jerman menggunakan teknik fermetasi yang berbeda. Prosesnya dilakukan dengan proses fermentasi dasar, bukan fermentasi di atas bahan bakunya. Bir yang dihasilkan disebut dengan lager (dari bahasa Jerman: Lagern = menyimpan) karena bir pada masa itu dibuat pada musim dingin dan membutuhkan es untuk menyimpannya pada musim panas.

Proses pembuatan bir kemudian berkembang dengan adanya kontrol yang baik menggunakan termometer dan sakarimeter yang bis amengukur kadar gula. Dengan paduan teknologi pembuatan es dan sistem pedinginan, pembuatan bir bisa dilakukan pada musim panas. Tapi cita rasa bir masih juga tak bisa ditentukan, sebab sangat dipengaruhi proses berubahnya gula menjadi alkohol oleh sel ragi. Lalu muncullah Louis Pasteur yang berargumen bahwa walaupun semua jenis sel ragi bisa dimanfaatkan untuk fermentasi, namun tidak semua sel ini cocok bagi proses pembuatan bir. Sel-sel yang tertentu saja yang akan menghasilkan cita rasa bir yang tinggi. Proses Pasteurisasi yang ditemukannya juga mampu membuat bir menjadi lebih tahan lama, setelah memanaskan bir hingga 70 derajat celcius agar mikroorganisma tidak aktif. Berbagai teknologi yang kemudian ditemukan juga membuat bir yang dihasilkan menjadi seperti yang kita kenal saat ini.

Proses Pembuatan Bir

Proses pembuatan bir sebenarnya sederhana saja. Prinsip yang digunakan sama seperti pembuatan minuman keras buatan lokal Indonesia, atau seperti pembuatan tape ketan, yaitu dengan memanfaatkan proses fermentasi. Bulir gandum (atau sejenisnya) dibiarkan tumbuh berkecambah, kemudian dikeringkan. Proses penumbuhan kecambah ini akan menghasilkan yang mengandung enzim amilase (yang mampu mengubah karbohidrat menjadi gula, seperti air liur di dalam mulut kita) yang terdiri dari alpha amilase dan beta amilase. Kemudian, Malt ini (bulir gandum berkecambah) dihancurkan dan dicampur dengan air panas atau direbus selama 1 - 2 jam. Setelah menjadi cairan gula, ditambahkan dengan buah hop (yang memberikan rasa pahit). Setelah itu ditambahkan ragi. Di sinilah proses fermentasi dimulai dengan mendiamkannya selama satu hingga tiga minggu. Gula akan menjadi alkohol dan gas karbondioksida. Setelah itu didinginkan, diperas dan disaring. Maka jadilah bir. Itu sebabnya, bir terkadang disebut sebagai roti cair, sebab bahan dasar pembuatnya memang berasal dari bahan yang sama, yaitu bulir gandum.

Khusus di Jerman yang konsumsi birnya sangat tinggi, saat ini sedang ada kerisauan di kalangan produsen bir. Hal ini karena adanya kebijakan tentang biodiesel. Seperti kita mafhum, biodiesel dikembangkan untuk membuat bahan bakar yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pemerintah Jerman sangat giat mengembangkan jenis bhan bakar nabati ini. Termasuk dengan memberikan subsidi bagi petani yang mau menanam tumbuhan yang bis amenjadi biodiesel. Akibatnya, tanaman gandum, seperti barli, makin berkurang di tanah-tanah pertanian jerman. Dari 12 juta hektar lahan pertanian, 2 juta diantaranya sudah berubah menjadi lahan untuk tanaman biodiesel ini. Ini tidak saja berdampak pada produksi bir, melainkan juga pada produksi roti. Maka rakyat Jerman pun mengeluh dan menuduh Pemerintah lebih memperhatikan kebutuhan energi daripada ketahanan pangan rakyatnya.

Namun di sisi lain, Jens Redemacher, kepala divisi biji-bijian FPJ (Federasi Petani Jerman), mengemukakan produsen bir juga punya andil atas keadaan itu. "Mereka selama ini meminta harga barli (biji gandum) tetap rendah sehingga petani tidak menanamnya lagi karena tidak menguntungkan. Bahan bakar nabati bukan satu-satunya biang keladi," katanya.

"Jerman tanpa bir, seperti Arab tanpah jubah," begitu kata teman saya. Tapi dia kan cuma pernah sekolah di Jerman, bukan bangsa Jerman atau orang yang lahir dan dibesarkan di Jerman? Entahlah, mungkin dia lupa bahwa bersekolah di Jerman bukan berarti harus serba Jerman di segala hal, termasuk gaya hidup. Kalau saya, masih lebih senang Bajigur atau Bandrek Abah dari Tjiwidej, Bandung. Setiap Minggu sore, saya juga punya tradisi minum sekoteng berdua dengan istri saya. Bir? aduh, saya nggak tega meminumnya.

gambar diambil dari sini dan sini

10 comments:

Joni Poetra said...

sama mas, aku juga masih mending minum bajigur, bandrek atau sekoteng... menyehatkan dan segar.

kangen bandrek makkkk!! :D

Putirenobaiak said...

barusan aja ngobrol sm teman(orang German asli loh :D)waktu aku minum vitamin. dia bilang, 'aku juga suka minum vit B, vitamin beer hehe'

iya mendingan bandrek ya, ato kupi tradisional uh sedapnya

Anonymous said...

Mungkin ketika dia di Jermannya kebiasaan minum jg kali yah, jadinya sedikit kangen dengan rasa bir asli di Jerman.

Maaf nih sok kenal...Karena saya dan suami udah lama kuliah juga di Jerman, tapi malah kangen es cendol sama es campur hehehe...Bir? bukannya ga tega minumnya, tapi emang ga suka sama rasanya hehe..

Cempluk Story said...

wedew.bir yah ?? haram boh..masih enak minum dawet, sinom...hehehe

mel@ said...

mungkin... bir disana... kecap disini ya....
hehehe...
iiihhh... ga kebayang dee... minum kecap.. :D

artja said...

@joni
iya, hidup bandrek...
@putirenobaiak
eh, aku juga takjub dengan rasa kopi sumatera
@ciedolicious
iya tuh, mungkin dia di jerman kerjanya nongkrong di kafe aja, soalnya temen2 saya yang lain yang pernah sekolah di jerman, malah alim-alim. cuma dia seorang aja yang nyeleneh.
@cempluk
dawet... hmm. yummy.
mel@
minum kecap? manis loh.

r3 said...

Aku sih gak doyan bir... pahit dan bau... Heran kok bisa ya My Uda suka bgt sama bir..mungkin karena emang karena keturunan jerman... weekend kemaren beli bir kecil Dogfish 120 min IPA...harganya $10... gila... padahal yang biasa cuma $1-an..

dini said...

Memang yang saya tau pada saat kuliah Deutsch dan yang di bahas adalah Essen und Trinken....menyimpulkan bahwa dalam setahun orang jerman lebih banyak mengkonsumsi bir dari pada air putih. kebayang kan udah bergeser posisi air minum berubah dengan bir jadinya apa ya tubuhnya?

Kicky said...

Kalo aku sich mending minum "Sari kedelai" selain segar manfaat buat tubuh juga bagus salah satunya menghaluskan kulit......

Duh rasanya pingin segera minum sari kedelai nih.....

Anonymous said...

it was very interesting to read.