Tuesday, May 26, 2009

Kebun (1)

Tulisan ini sebenarnya pernah dipublikasikan di blog saya yang lain pada tanggal 24 Juli 2007. Saat ini blog tersebut sudah almarhum, karena memang merupakan blog yang emosional saja sifatnya, dan saya bikin hanya untuk satu orang saja - terimakasih untuk T karena telah membuat saya semakin dewasa menghadapi kehidupan ini - Tapi tulisan ini saya masukkan lagi di blog ini, sebab saya terlanjur memposting Kebun (2) dan lupa kalau Kebun (1) saya posting di blog lain.
Yah, selamat membaca, semoga bisa menikmatih....


Kami punya kebun. Tidak luas. Berukuran sekitar 800 meter persegi. Letaknya di belakang rumah kami. Ada jalan setapak kecil yang membelah kebun persis di tengah. Ujung satunya berada persis di muka pintu belakang rumah. Ujung lainnya menuju keramaian pasar.

Saat kami baru pindah ke sana, ke rumah kami itu, jalan tersebut masih jarang dilalui. Kebunnya juga masih penuh dengan ilalang, semak-semak, dan rumput liar. Ada juga jenis tanaman bunga. Tapi itu bukan dari jenis yang biasa dikomersilkan. Hanya sejenis semak dengan bunga berwarna kuning berbentuk seperti lonceng kecil. Tak ada orang yang akan sengaja menanam bunga itu, sebab ia bisa sangat liar pertumbuhannya. Sekali tumbuh, tahu-tahu seluruh halaman bisa dipenuhi semak bunga itu. Walupun cantik, tak ada yang mau merawat bunga liar. "Tantangannya terlalu besar. Cantik memang, tapi liar."

Kemudian ada yang berinisiatif untuk membersihkan lahan tersebut. Awalnya hanya di sekitar pintu belakang rumah. Tak nyaman rasanya saat membuka pintu belakang, lalu pemandangan pertama yang terlihat adalah rumput dan ilalang liar. Kami bekerja sendiri (yang sebenarnya ada beberapa orang juga). Tak ada yang mau membantu. Tentu saja, tak ada yang tertarik untuk membabat ilalang, membersihkan rumput liar, atau berupaya mengendalikan semak bunga kuning berbentuk lonceng yang cantik tapi liar tadi. Apalagi ini sejenis kerja suka rela.

Tapi itu awalnya saja. Lama kelamaan, ada juga yang tertarik. Ikut membabat rumput liar, ilalang tinggi, dan mengatur semak-semak agar tumbuh menjadi pagar. Tidak itu saja, kegiatan bertambah dengan aktifitas menanam. Pengikutpun bertambah, karena pada dasarnya, kami sekeluarga memang senang dengan kegiatan menanam.

Maka jadilah sebuah rutinitas baru. Setiap sore, setelah melakukan aktifitas rutin harian, kami membabat ilalang dan rumput liar. Kalau biasanya hanya memegang pinsil, pulpen, buku, atau mouse komputer, maka di sore hari semua itu berganti menjadi cangkul, parang, sabit, serta ember dan selang air. Kalau di pagi dan siang hari menggunakan kemeja rapi dan bersih, maka di sore hari berganti menjadi kaos oblong yang menyerap keringat dengan celana lusuh yang penuh jejak-jejak lumpur kering.

Tantangan terberat selain membersihkan ilalang liar, adalah membersihkan lahan calon kebun dari batu-batu. Tipikal tanahnya yang keras sangat menguras tenaga saat menggali lubang di sana. Terlebih bagi yang tidak terbiasa pegang cangkul atau kerja berat. Padahal saat itu musim kemarau. Tak heran jika pada awalnya, banyak tangan yang lecet dan kulit yang menjadi gelap, seperti warna tangan dan kaki petani layaknya.

Setiap kali ingin menanam sebuah pohon, kami semua diwajibkan menggali lubang berukuran 1 x 1 x 1 meter kubik. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat tanahnya sama sekali bukan tanah gembur melainkan tanah yang berbatu dan berpasir. Kalau ditanam tanpa menyiapkan ruang luas berisi tanah gembur, bisa dipastikan tanaman itu akan layu. Setelah lubang dibuat, barulah bibit yang sudah disiapkan dimasukkan dan ditimbun dengan tanah gembur yang dicari dari pinggir kali atau lokasi subur lainnya. Sehabis ditanam, bibit tadi harus selalu diperhatikan. Air menjadi syarat mutlak untuk urusan tersebut.

Sebagai langkah awal dan untuk tetap menjaga semangat, dipilihlah jenis tanaman buah-buahan. Bibitnya didapat dari mana saja: memungut di pinggir jalan, meminta, atau bahkan membeli. Diharapkan dengan menanam pohon buah-buahan, "pekerja-pekerja dadakan" ini mendapat tambahan energi saat menanam karena janji akan buah-buahan yang kelak bisa dipetik. Bukankah menyenangkan jika memetik jambu air dari pohon yang kita tanam sendiri? Tapi kenapa harus jambu??? Tenang, bukan cuma jambu kok, yang kami tanam. Ada pohon nangka, jeruk, sukun, klengkeng, alpukat, belimbing, dan berbagai pohon lainnya. Oh ya, kami juga menanam semak bougenville di kedua sisi jalan setapak di tengah kebun. Jalan itu sendiri diperlebar menjadi sekitar satu setengah meter. Kami berharap bahwa kelak bougenville-bougenville dari kedua sisi jalan ini akan tumbuh membesar dan membentuk kanopi hingga jalan setapak tadi menjadi semacam koridor alami. Tentu saja ada kerangka bambu untuk sekedar mengarahkan semak berduri yang bunganya berwarna-warni cerah ini, agar tak salah arah dalam pertumbuhannya.

Satu bulan pekerjaan berlalu. Kebun masih terlihat gersang. Tapi setidaknya sudah ada perubahan. Tak ada lagi ilalang dan rumput liar. Pokok-pokok baru memenuhi sudut lahan. Tak ada kekacauan pemandangan karena semak bunga kuning berbentuk lonceng yang cantik tapi liar. Mereka kini terkelompok di salah satu sudut kebun. Malah bisa berfungsi sebagai pagar. Padahal semula semak bunga ini ingin dibabat habis saja oleh beberapa oknum, tapi karena diprotes sambil ngotot dan pegang golok, mereka mengurungkan niat untuk menghabisi semak bunga liar tadi.

*************

Seperti juga manusia, tumbuhan juga membutuhkan makanan dan minuman. Kalau soal air, tidak menjadi masalah sebab cukup melimpah. Apalagi kami juga membuat sebuah kolam ikan dengan ukuran cukup besar berukuran 1,5 x 3 meter persegi dengan kedalaman sekitar satu meter. Ada teratai merah ungu kami letakkan di kolam tersebut yang sering kali terganggu karena kami memang suka iseng dengan menceburkan siapa saja yang berdiri dekat kolam. Saat ada yang berulang tahun, kami juga akan menceburkannya ke dalam kolam. Bahkan terkadang langsung diangkat saat masih terlelap di dalam kantung tidur, beserta kantung tidurnya sekalian. (waktu itu belom musim hp, jagi nggak ada kekhawatiran hp butuh hair dryer gara-gara nyemplung)

Jadi untuk menyiram, kami sudah punya cadangan air di kolam kalau sewaktu-waktu kemarau membuat sumber-sumber air tanah berkurang debitnya. (ssttt...rahasia: gue juga pernah pipis di sana. hehehe... habisnya udah kebelet dan kamar mandinya lagi diisi orang lain. sepertinya bukan gue saja yang pernah melakukannya. makanya setiap ada yang nyemplung, kami tertawa sedemikian ikhlasnya. tapi kalau kecemplung, pasti akan berupaya sekuatnya agar orang lain ikutan nyemplung).

Itu soal minuman untuk tanaman. Kalau soal makanannya lain lagi. Memang tanah di tempat tinggal kami cukup subur. Tapi khusus kebun kami yang tanahnya berbatu itu, pupuk tetap diperlukan. Lagipula, pengadaan pupuk bisa menjadi sarana pembelajaran dalam keluarga kami. Pupuk, sebagai makanan suplemen bagi tanaman, tidak kami beli. Kami membuatnya sendiri. Sengaja kami berkeliling kampung untuk mencari bahan baku pembuatan pupuk kandang. Iya, pupuk kandang berarti kotoran hewan. Kebetulan cukup banyak penduduk kampung yagn memelihara kambing dan kerbau. Mereka sangat akomodatif saat kami meminta ijin untuk mengambil kotoran di kandang hewan peliharaan mereka. Mungkin mereka merasa terbantu karena kebersihan kandangnya jadi lebih terjaga.

Maka selain membabat rumput liar, menyiangi tanaman, menggali lubang dan menanam pohon, kami juga membuat pupuk. Tidak sulit. Kami hanya perlu mencampur kotoran hewan dengan sekam (kulit padi yang kering), tanah hitam dari sekitar sungai, serta serbuk arang sisa pembakaran kayu. Dengan tangan kami mencampurnya, dan meremas campuran tadi dengan penuh perasaan. Mencoba menghayati dan mencari hikmah dari beragamnya ciptaan Tuhan yang ternyata saling melengkapi.

Selain membuat pupuk, kami juga mengupayakan penyediaan bibit. Bibit apa saja. Setiap kali pergi dan menemui pohon di perjalanan, kami berusaha mendapatkan bijinya yang terserak begitu saja di bawahnya. Kalau ada pohon ketapang, maka kami akan memunguti biji ketapang, ada pohon tanjung, maka kami akan memungut biji tanjung. Begitu seterusnya. Sengaja memang untuk mengadakan bibit dari tanaman keras dan dicotyle, sebab memang lebih "terlihat" hasilnya. Begitu juga setiap kali ada yang makan buah seperti pepaya, mangga, pisang, jambu, (dibawa dari pasar minggu, di sana banyak pembelinya di si...kok jadi nyanyi?) Maka kami akan mengingatkan agar bijinya "dibuang" ke lahan persemaian supaya tumbuh jadi bibit. Tentu saja setelah dijemur dan dikeringkan.

Biasanya biji-biji beraneka ragam tadi setelah kering kami sebar di sebuah lahan kecil yang sengaja dibuat untuk penyemaian. Untuk menghindari dicaplok ayam, maka kami buat pagar bambu di sekelilingnya. Setelah tunasnya tumbuh, kemi pindahkan ke dalam polybag terkecil. Diawasi ketat setiap hari agar tidak layu sebelum berkembang. Setelah tumbuh lebih besar, barulah dipindah ke polybag lain. Dipilih dan dipilah menurut jenisnya. Pada awalnya, bibit kayu manis yang perkembangannya paling cepat. Jumlahnya juga paling banyak. Setelah itu ketapang dan asem kranji. Mereka memang sangat mudah untuk tumbuh. Tanpa dipelihara, disiram dan dipupukpun, mereka sanggup tumbuh sendiri. Bibit lainnya kemudian mulai bertunas, dan tumbuh menjangkau hati kami. Senang rasanya melihat mereka tumbuh membesar dan membuat hati ini ikut menjadi besar.

Setahun berlalu, kebun kami sudah berubah sama sekali. Rimbun. Segar. Jalan setapak menjadi koridor dengan semak bougenville memagar sepanjang 15 meter itu. Bahkan di mulut jalan, sepasang bougenville di kedua sisi jalan telah menjadi gerbang alami. Saat melewatinya, seolah seperti melewati gerbang sebuah istana yang indah, dengan berbagai tanaman dan sebuah kolam ikan di dalamnya. Bibitpun melimpah, hingga tetangga dan penguasa di tempat tingal kami sering memintanya. Kami memberikannya secara cuma-cuma, bahkan membantu untuk urusan penanaman atau penyediaan alatnya. Memang sempat ada masalah kecil saat salah seorang anggota keluarga kami iseng dengan menanam ganja. Untunglah itu tidak berlanjut lama. Segera setelah dideteksi keberadaannya (tersembunyi di sela bibit kayu manis dan batang-batang vanili), tiga batang pohon daun neraka tadi dibabat habis. Dibakar. Dimusnahkan.

Begitulah, bertahun-tahun kebun itu jadi tempat bermain kami di waktu senggang; tempat peristirahatan kami di sore hari; tempatsembunyi dari aktifitas rutin harian yang membosankan. Sangat menyenangkan berada di sana, baik untuk berleha-leha, ataupun bekerja memegang cangkul di sana. Duduk di pinggir kolam dibuai angin sepoi-sepoi dan kicau burung yang singgah di pucuk pohon, sungguh suatu pengalaman yang tak akan kami tukar dengan harga berapapun.

Sampai kemudian musibah itu datang....

.... (gue terlalu sedih untuk menuliskannya)

*************

Sekarang kami tak lagi tinggal di tempat kami yang lama itu. Kebun itu juga tebengkalai. Kolam tak tepelihara. Barangkali hanya setan dan raja iblis yang kini di sana. Sesekali kami masih melihat orang-orang gila datang dan memetik buah-buahan dari kebun kami, kerja kami, keringat kami. Nangka, sukun, mangga, pisang tanduk yang panjang, jeruk nipis, alpukat, dan buah lain yang terlalu panjang kalau harus disebut satu per satu di sini. Sangat menyakitkan melihat segalanya tak terawat. Tapi lebih menyakitkan lagi melihat orang-orang gila berperilaku seolah buah-buahan itu warisan nenek moyang mereka yang bisa diambil semaunya. Tentu saja pohon-pohon besar masih tumbuh di sana. Juga pohon jati yang menjulang tinggi hingga pucuknya bisa terlihat dari jarak seratus meter sekalipun. Bukannya kami tak setuju ada orang lain memetik buah di sana. Kami hanya menyayangkan tindakan masa bodoh dari orang-orang gila yang sekarang menguasai lahan itu. Mereka tak pernah merawat tanaman itu sebagaimana mestinya. Ilalang mulai tumbuh di sana-sini. Rumput-rumput liar mulai tinggi. Tak pernah terdengar lagi bibit tanaman yang diproduksi dan disediakan gratis di sana. Sama sekali tak terlihat kesan kasih sayang di sana. Suasana jadi sangat tidak nyaman untuk tempat jalan-jalan, apalagi istirahat. Kalau hanya berandal atau gelandangan, bisa dimaklumi jika mereka tak punya kepedulian. Tapi mereka yang tinggal di sana juga terdiri dari keluarga-keluarga terpelajar, dengan perempuan dan ibu yang harusnya bersikap mengayomi dan welas asih terhadap sesama, termasuk kepada tanaman dan bunga-bunga. Mereka sama sekali tak terlihat peduli. Mereka tak peduli keberadaan yang lain. Mereka menganggap tak penting makhluk lain di sekitar mereka dan memilih untuk mengabaikannya.

Betapa mengherankan melihat manusia bisa sekejam itu terhadap sesama ciptaan Tuhan. Sekarang, saya tak tahu nasibnya lagi.

-- In Memoriam : Kebun A --

Wednesday, May 06, 2009

Suryakencana, Apa Adanya

Aku kembali masuk tenda untuk tidur. Di luar memang masih gelap, dengan bintang-bintang tampak begitu dekat. Berkilauan, seperti mengejap pada mata yang masih terasa berat. Pagi itu Alun-alun Suryakencana menawarkan keheningan yang utuh. Menuntunku ke dalam dunia yang asing. Tentu saja asing bagi diriku yang tiap hari berkutat di kesibukan kerja di kota yang bising. Udara dingin langsung menyeruak masuk ke dalam tenda saat pintunya terbuka. Membuat siapa saja akan dihinggapi rasa malas untuk meninggalkan kenyamanan dalam lelap. Tapi ada kewajiban yang tak bisa ditunda dan telah memaksaku keluar tenda.

Tanggal 2 - 3 Mei 2009, aku kembali melakukan perjalanan dengan Astacala. "Hanya" ke gunung Gede, memang. Tempat yang telah aku sambangi entah berapa kali sejak tahun 1988. Tapi tetap saja ini sebuah gunung, yang merupakan bagian dari alam. Gunung dengan hutan, tanjakan, lembah, dan misteri yang tak pernah lepas dari tubuhnya. Kita bisa saja mengatakan sudah mendaki gunung ratusan kali. Namun tetap saja, saat melakukan pendakian, kita tak pernah bisa tahu dengan persis, apa yang ada di dalam kepekatan rimba. Kita tak mampu menebak dengan pasti apa yang menanti di akhir setiap tanjakan; di balik setiap tikungan; atau di sela batang-batang pepohonan, karena kita memang bukan apa-apa di hadapan alam.

Aku jadi teringat lagi dengan kata-kata Aconk di awal pendakian, bahwa dia belum lahir ketika aku pertama kali ke gunung Gede ini. Umur kami terpaut belasan tahun. Lebih dari satu dekade. Tapi tetap saja ini sebuah gunung, yang merupakan bagian dari alam. Alam tak pernah membedakan usia. Ia akan memberikan perlakuan yang sama, tak peduli apakah umur kita 21 tahun, 37 tahun, atau 71 tahun (Himawan Tedjomulyono lahir di Temanggung 12 September 1936, tercatat di MURI sebagai Pendaki Gunung tertua, 71 Tahun 3 Bulan saat mendaki Gunung Rinjani). Umur dan pengalaman akan sia-sia jika hanya untuk memanggul kesombongan menghadapi alam. Alam tetaplah sebuah misteri yang harus disikapi dengan jujur, termasuk kejujuran menyusun niat saat mencoba mengakrabinya.

Lalu apa tujuanku ikut mendaki gunung Gede kali ini? Sekedar hunting foto? Melemaskan otot-otot yang sudah kaku, mencoba lebih dekat lagi dalam mengenal adik-adik di Astacala, atau ada niat-niat lain? Apapun itu, kita sama sekali tak bisa berbohong kepada alam. Ia akan memberi apa yang kita niatkan. Kalau hanya sekadar jalan-jalan menikmati pemandangan alam, maka alam akan menyuguhkan keindahan yang memang kita inginkan. Karena alam selalu jujur dan tak pernah menyembunyikan apapun. Apa adanya.

Mungkin kondisi apa adanya itulah yang seringkali membuat manusia goyah. Sering manusia menipu diri sendiri, berusaha tampil dengan kondisi tertentu meski harus bersolek dan menutupi kekurangan. Padahal, itu beban yang akan memberatkan seumur hidup. Akibatnya, kepalsuan yang telah dipilih harus selalu dijaga dengan segenap kemampuan. Energi yang harusnya bisa dipakai untuk kegiatan yang lebih positif, malah habis dipakai untuk menambal kepalsuan-kepalsuan agar selalu utuh dan terlihat baik.

Di antara keindahan alun-alun Surya Kencana
yang batasnya memagar jiwa,
kepalsuanpun kehilangan makna.

Maka keindahan alam akan mengajarkan pada setiap manusia, bahwa 'apa adanya' adalah sebuah keindahan. Berkali-kali perjalanan, ratusan kilometer lintasan yang akui jalanai bersama Astacala, semakin mengukuhkan keyakinan tadi. Ingin rasanya berbagi dengan teman-teman yang dulu sering bermain bersama di alam ini. Mereka pasti punya pelajaran lain yang diserap dari alam dan mungkin bisa sama-sama bertukar pikiran dan membagi pengetahuan. Tapi di dalam tenda ini, sebelah kiriku adalah Petong, dan di kanan Aconk, yang kebetulan baru kali ini aku merasakan perjalanan bersama mereka. Di tenda lain ada Somad, Singo, Rifki, Adek, Gimbal, dan Astaka. Bukan Gepeng, bukan Ewok bukan Isnanto, atau Irphan, yang dulu sering menemaniku berguru di alam dan terjebak dalam limpahan keindahan dan Rahmatnya.

Pada akhirnya, Surya Kencana hanyalah alun-alun, yang keindahannya hanya sebingkai gambar
atau menjadi semacam guru yang tak pernah kehabisan ilmu untuk ditebar. Sama seperti tempat-tempat lain di bumi ini. Sama seperti indahnya tempat pelelangan ikan, atau lapak-lapak tempat pemulung menukarkan ratusan gelas plastik bekas menjadi beberapa bilangan rupiah. Semua bisa menjadi indah, manakala hati kita terbuka menerima keindahannya, dan menyerapnya menjadi sesuatu yang berguna bagi kita semua.