Wednesday, January 31, 2007

Gunung Semeru, Jawa Timur

Rencana untuk buka tenda sebelum gelap terpaksa berubah. Kami masih berada di tengah hutan ketika malam pelan-pelan menurunkan tirainya. Sementara lokasi yang direncanakan masih belum tampak. Padahal lokasi itu semestinya akan terlihat dari jalan setapak di lereng bukit di atasnya, jalan yang belum juga kami jejaki. Itu artinya, lokasi itu masih berada satu kilometer lebih dari posisi kami saat ini.

Warna langit mulai redup. Temaram, meski tak harus berarti muram (aku jadi teringat dengan chairil anwar: ada juga kepak elang menyinggung muram...). Tentu saja kondisi ini telah kami antisipasi, karena kami semua membawa lampu senter. Maka sorot lampunya segera berkelebatan dari tangan kami. Hanya Lilis saja yang senternya agak bermasalah. Terkadang redup, bahkan padam sama sekali. Aku menawarkan padanya untuk bertukar senter. Semula dia menolak, tapi ketika beberapa kali kakinya terperosok dan lututnya menumbuk akar pohon yang menonjol, dia pun setuju. Beriringan kami berempat berjalan menyusuri jalan yang dikepung hutan dan semak. Cuaca sebenarnya cerah, langit bersih tanpa awan hingga gemerlap bintang tampak jelas. Mereka berkilauan, seolah menawarkan keindahan abadi dari kejauhan. Hanya saja bulan belum kelihatan, sehingga cahaya magisnya tak berperan dalam pergerakan malam ini.

Sebenarnya pagi-pagi kami sudah meninggalkan kota Malang. Pukul tujuh pagi kami sudah selesai packing. Sarapan pagi kami beli di warung dekat kampus untuk kami santap sesampainya di Tumpang. Dari terminal Arjosari, kami menumpang angkot berwarna putih tujuan Tumpang. Tampaknya awak angkot sudah terbiasa melayani penumpang backpackers macam kami ini. Terbukti, ketika kami mendekati angkot, kernet dengan sigap menawarkan tenaganya. "Mau ke Semeru ya, Mas? Mari, tasnya saya bawakan. Biar bisa langsung diatur di atas mobil," ujarnya cepat. Segera saja ransel-ransel berpindah dari punggung kami ke atas kap angkot dan kami masuk ke dalam angkot. Karena tujuan kami paling jauh, maka kami merapatkan diri ke pojok. Tapi ternyata penumpang tak banyak. Angkot belum lagi penuh ketika supir mulai menjalankan kendaraannya. Mungkin lebih banyak penumpang yang akan diambil sepanjang jalan yang dilewati.

Sepanjang perjalanan Arjosari - Tumpang yang menghabiskan waktu satu jam, kami tak banyak bicara. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa saja yang ada dalam benak rekan seperjalananku. Mungkin mereka membayangkan senja yang turun pelan-pelan di tepi danau Ranu Kumbolo yang dikepung bukit-bukit dan padang rumput. Atau membayangkan hawa dingin yang menerpa bersamaan dengan hembusan angin dari arah permukaan danau seluas lebih dari delapan kali lapangan sepak bola itu. Atau membayangkan santap malam di hari pertama perjalanan kami ke Semeru ini. Tapi khayalan itu belum terwujud hingga saat ini. Karena hingga pukul tujuh malam ini, kami masih dalam perjalanan menuju tepi danau, tempat kami akan mendirikan tenda. Beberapa kali kami harus berhenti, karena Lilis tampak sedikit kesulitan untuk berjalan cepat, mengikuti langkah tergesa kami. Barangkali dia belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi gelap, setelah hampir empat jam berjalan di suasana yang terang sejak waktu Ashar tadi.

Ya, kami memang bergerak memulai pendakian setelah shalat Ashar. Saat tiba di Ranu Pane, kami segera melaporkan diri pada petugas PHPA di Ranu Pane, pos terakhir sebelum mendaki Semeru. Sebenarnya perjalanan dengan Toyota Hardtop (Land Cruiser) dari Tumpang menuju Ranu Pane hanya ditempuh dalam waktu dua setengah jam saja. Jauh lebih singkat dibandingkan dengan saat kali pertama aku ke tempat ini. Di tahun 1989, butuh waktu minimal empat jam untuk mencapai Ranu Pane dari Tumpang. Kalau musim hujan, waktunya jadi molor hingga 12 jam! Di tahun 2001 ini memang jauh lebih cepat. Masalahnya, kami berangkat dari Tumpang sudah sangat siang. Padahal dengan berangkat pagi-pagi dari Malang, kami berharap akan segera sampai di Ranu Pane sebelum tengah hari, sehingga perjalanan menuju Ranu Kmbolo bisa kami lakukan dengan santai sambil menikmati pemandangan hutan. Tapi siang tadi kondisinya memang agak kacau dan tak sesuai rencana.

Bayangkan saja, kami harus menunggu lebih dari empat jam di Tumpang sebelum bergerak menuju Ranu Pane dengan jpip hardtop. Setelah satu jam naik angkot dari Arjosari, kami tiba di pasar Tumpang. Tepat di depan alun-alun sudah terlihat sebuah hardtop yang memang khusus mengangkut penumpang menuju Ranu Pane. Maklum saja, kondisi jalan yang mendaki dan terkadang rusak membuat hanya kendaraan-kendaraan khusus saja yang bisa melewati jalur off road itu. Segera kami negosiasi dengan supir. Tapi ternyata supir hanya mau berangkat dengan bayaran dua ratus ribu rupiah sekali jalan. Kami berempat, kalau memaksakan berangkat saat itu juga, maka per orang akan terkena tarif lima puluh ribu rupiah. Maka diputuskan untuk menuggu penumpang lain. Semoga saja tidak lama. Lagipula masih ada bahan makanan yang harus dibeli di pasar Tumpang.

Selesai sarapan, aku pun masuk pasar, bersama Lilis. Mencari bahan makanan seperti tempe, sayuran, bumbu dapur, serta apel malang, tentu saja. Lalu kembali di emperan toko, menunggu calon penumpang lain. satu jam berlalu, masih kami berempat. Bahan obrolan sudah habis dikunyah. Dua jam berlalu, dan hari makin panas. Tempat kami menunggu tepat menghadap sinar matahari. Aku mencoba mengusir bosan dengan berjalan-jalan lagi ke sekeliling pasar bersama Anung. Sempat mampir di studio foto untuk membeli film. Lalu berhenti di warung dan makan lagi. Ketika kembali ke tempat menunggu, sudah ada tambahan dua calon penumpang. Tapi hanya dua orang. Mereka dari Surabaya. Sepertinya anak SMA. Kemudian adzan dzuhur berkumandang. Kami putuskan ke masjid saja, sambil berpesan pada supir agar tidak meninggalkan kami jika sudah ada tambahan penumpang lain. Cukup lama kami di masjid, dan ketika kmbali, ternyata memang sudah ada rombongan lain. Wah, tapi jumlahnya terlalu banyak. Ada dua rombongan. Yang pertama duabelas orang. Yang kedua, entah berapa lagi. SIbuk nego sana sini. Rombongan yang dua belas orang tak mau dipisah. Butuh dua mobil. Itu bukan masalah, tapi penumpang jadi berkurang, yang berarti ongkos per kepala akan bertambah. Untunglah ada rombongan lain yang datang. Maka dua jip berangkat siang itu dengan penumpang penuh. Setelah dihitung-hitung, per kepala harus membayar Rp. 12.000. Aku di depan, berdua dengan Lilis yang tampak mulai bosan menunggu.

Jip berhenti sebentar di kantor Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru. Semua turun dan mengurus perijinan. Supaya murah, surat perijinan milik kami digabung dengan dua pendaki dari Surabaya. Tapi aku mewanti-wanti pada Lilis, agar memegang surat ijinnya untuk keperluan penyusunan laporan perjalanan.

Pemandangan sepanjang perjalanan masih seperti yang dulu kukenal. Tak banyak yang berubah. Bukit-bukit masih tegak menjulang, petani masih setia di ladang-ladang di lerengnya, atau anak sekolah berseragam putih-merah berlarian tanpa sepatu sepulang sekolah di desa Gubug Klakah yang berketinggian 2.100 m dpl. . Hanya saja, infrastruktur jalan memang sudah jauh lebih baik. Tak banyak lagi jalan berluang atau berbatu-batu. Bahkan jalan sudah diaspal hingga pertigaan menuju ke arah Segoro Wedi yang merupakan jalur ke gunung Bromo. Dari pertigaan itu, tampak jelas gunung Batok yang simetris, serta lembah pasir dengan jalur jalan yang membelah di tengah-tengah padang. Sayang supir memutuskan untuk terus berjalan, tak singgah di pertigaan itu, sekedar istirahat. Maka aku tak sempat menjepretkan kamera. Mau mengambil dari dalam mobil, cukup sulit sebab ruang pandang tidak leluasa. Maka hanya percakapan dengan Lilis saja yang bisa kulakukan saat itu. Entah bagaimana kondisi penumpang lain di belakang. Yang jelas, perjalanan itu terasa singkat setelah kami menghabiskan empat jam lebih dalam penantian. Hanya 2,5 jam, kami sudah tiba di Ranu Pane.

Dan kini, kami akan segera tiba di tepi Ranu Kumbolo. Tampak suasana cukup ramai di pondok kayu di sebelah Barat Danau. Kami memutuskan untuk menginap di sisi Timur, menghindari kerumunan. Agak curam juga jalan turunnya, sebab bukan jalan yang biasa dilewati. Tapi lokasi yang kami tuju memang ideal untuk tempat mendirikan tenda, cukup lapang, terlindung dari angin karena banyak cemara tumbuh, dan yang lebih penting lagi: sepi. Tak ada rombongan pendaki lain yang berkemah di sana.

Segera setelah menemukan lokasi yang pas, tenda didirikan. Tenda yang kami bawa bukanlah tenda yang biasa kami bawa. Ini tenda pinjaman dari teman. Tenda merk Rhino milik kami sedang dibawa oleh Momes ke Jombang. Agak lama juga, karena kami belum familiar dengan bentuk tendanya. Sementara tubuh sudah mulai dingin sebab suhu udara memang turun, dan pakaian kami basah oleh keringat. Lilis membongkar peralatan masak, dan segera menyiapkan air panas untuk menyeduh kopi dan teh. Setengah jam berikutnya, kami sudah menyeruput minuman hangat sambil menikmati semilir angin danau dan langit cerah tanpa awan. Malam kami lewati dengan nyaman, makan kenyang, nulis catatan, lalu masuk dalam sleeping bag yang menawarkan kehangatan.

bersambung...

Monday, January 29, 2007

Ranu Kumbolo *

ketika awan pergi, langitpun berkaca
pada wajahnya.
biru, seperti setiap hati ini
membisikkan namamu.

inilah telaga, yang telah membuat langit tinggi
jatuh hati
dan menumpahkan segenap warna di riak mukanya.

bersama angin menggulirkan musim
dan kepak belibis memercikkan hari-hari,
aku larung semua kecemasan di kedalaman
hatimu. langkah-langkah menyusuri lekuk landai di tepian,
diam-diam menyisir kenangan
diantara gerai lembut daun jarum cemara
dan lambaian di tiap helai rambutmu.

lewat desah ilalang mengurungnya,
atau gumam lirih dari hutan di bukit yang jauh,
terbaca lagi jejak persinggahan.
menyemai benih,
hingga tumbuh menggapai rindu.

*) Ranu Kumbolo adalah nama salah satu danau di pegunungan Semeru
ada juga yang menyebutnya Ranu Gumbolo

Monday, January 22, 2007

Pulau We

Sejak kecil, kita sudah mendengar lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Tapi pernahkah Anda mengunjungi Sabang atau Merauke itu? Nah, tahun 2006 lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kota yang konon merupakan kota paling barat di Indonesia.

Untuk menyeberang dari Banda Aceh, bisa menggunakan KM Pulo Rondo dengan tujuan Balohan, Pulau We. Tiket ekonomi untuk kapal cepat ini seharga Rp. 60.000 dan pelayaran hanya menghabiskan satu jam saja. KM Pulo Rondo ini emang khusus untuk penumpang manusia. Jadi, kendaraan bermotor tak boleh naik! Kalau mau membawa motor atau mobil harus menggunakan kapal fery yang lain, dan bukan kapal cepat. Pelabuhan tujuannya juga lain, bukan di Balohan.

Nah, dari Balohan menuju kota Sabang, hanya setengah jam. Melewati jalan mulus beraspal dan melewati kawasan bandara milik Pangkalan TNI AU, kita akan segera tiba di kota Sabang.
Di kota ini, tak ada hotel atau penginapan kelas mewah. Yang hanya ada penginapan sekelas losmen. Kalau hanya untuk numpang tidur, lumayanlah. Harga sekamar bervariasi, mulai Rp. 50.000 hingga Rp. 200.000 per malam. Tapi untuk kenyamanan, lebih baik memilih bungalow di daerah wisata di tepi pantai, jangan di kota Sabang.

Tapi kalau memilih untuk menginap di kota Sabang, maka sebaiknya menyewa kendaraan roda empat untuk pelesir. Sebab angkutan umum memang tidak seramai di Jakarta. Pilihlah kendaraan yang anda sukai. Di Sabang ini akan bisa dijumpai berbagai jenis mobil yang bahkan di Jakarta pun tak bisa kita temukan. Contohnya saja Honda RAV. Nah, pernah dengar merk mobil itu? Di Jakarta tidak ada, bukan? Maklum saja, Sabang adalah pelabuhan bebas, sehingga mobil-mobil eks SIngapura dapat dengan mudah ditemukan. Tapi jangan salah, kendaraan-kendaraan itu hanya bisa dipakai di area pulau We saja, tidak boleh dibawa keluar.

Secara Administratif, Sabang adalah Kotamadya, dengan terdiri dari dua wilayah kecamatan saja. Sebeblumnya, pulau ini termasuk ke dalam wilayah kota Banda Aceh. Pulau We tak terlalu besar. Hanya dibutuhkan 3 jam saja menggunakan kendaraan roda empat untuk mengelilingi pulau ini. Jumlah penduduknya yang sedikit, membuat setiap pendatang yang berada di kota Sabang akan segera dikenali sebagai orang asing oleh penduduk Sabang.

Setelah mendapat penginapan dan kendaraan untuk keliling pulau, maka kita tinggal menentukan saja, mau pergi ke mana. Untuk wisata pantai, bisa ke pantai Iboih, pantai Tapak Gajah, Atau Pasir Hitam. Bisa juga menyewa perahu untuk pergi salah satu pulau yang ada di sekitar Pulau We. Jangan lupa untuk mengunjungi Tugu Nol Kilometer. Di titik itulah konon, terdapat titik nol kilometer Indonesia. Kalau mau sedikit report, bisa juga datang ke Dinas parwisata untuk meminta sertifikat yang menyatakan bahwa kita sudah pernah mengunjungi titik paling barat di Indonesia. Di tugu yang terletak di puncak bukit di tepi pantai itu, bisa juga terlihat pulau-pulau lain di sebelah barat. Bahkan kita bisa melihat kepulauan Andaman milik negara India.

Kalau sedang duduk merenung sambil menatap laut di pasir pantai, jangan kaget jika tiba-tiba di depan kita melintas kapal perang. Itu memang kapal milik TNI AL. Pangkalan mereka ada di dekat pelabuhan milik Pertamina. Juga perlu berhati-hati bila kita berenang di pantai-pantai yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia ini. Kalau terlalu jauh, salah-salah kita bisa terseret arus hingga ke Madagaskar! Iya, sebab memang pulau We ini langsung berhadapan dengan Samudera lepas.

Seperti juga pantai-pantai di tempat lain, pemandangan dari pantai-pantai di pulau ini juga indah. Apalagi saat berada di area Tugu Nol Kilometer ketika matahari terbenam. Wah, sangat dramatis suasananya. Hanya harap hati-hati kalau pergi berdua dengan pasangan Anda. Jangan lupa membawa salinan surat nikah. Sebab di wilayah NAD ini, tidak diperbolehkan berkhalwat dengan orang yang bukan mahromnya. Kalau tidak, polisi syariah akan mencokok Anda, dan Anda akan diadili lalu dicambuk sampai malu. Maka jangan heran kalau jarang sekali kita temui pasangan muda yang asyik masyuk di bawah pohon kelapa di tepi pantai. Kalaupun ada, pastilah suami isteri.

Oh iya, walaupun pantainya indah, tapi potensi wisata di pulau ini belum tergarap dengan baik. Selama di sana, saya hanya bertemu dengan turis asing dua kali. Mereka snorkling (nulisnya bener ga neh?) di pantai Iboih yang memang banyak karangnya. Tentu saja, mereka bebas menggunakan bikini, sebab polisi syariah tak pernah menangkap mereka (tanya kenapa?). Tapi karena sepinya itulah, pantai ini jadi nyaman untuk tempat menyendiri. Saya betah berjam-jam duduk memandang lautan, sambil mendengar debur ombak yang datang mengecup bibir pantai.