Wednesday, November 15, 2006

Argopuro 2001

Aku tiba di Jombang ketika adzan subuh berkumandang. Agak terlambat Bangunkarta kali ini, sebab biasanya jam tiga dini hari sudah masuk stasiun Jombang. Di teras musholla ada beberapa orang yang masih tidur. Hawa dingin subuh membuat mereka harus membungkus rapat tubuh mereka dengan sarung atau jaket.

Selesai subuh, aku berjalan ke perempatan. Menunggu bis tiga perempat jurusan Jombang - Malang (P.O. Puspa Indah ?) . Penumpang penuh, tapi aku dapat duduk. Harus, sebab bis ini akan menghabiskan 3,5 jam perjalanan melalui lintasan berkelok-kelok tajam. Membuat isi perut setiap penumpang seperti diaduk-aduk dan memberontak ingin keluar. Sebisa mungkin tidur, supaya tidak mabuk. Kalau berdiri, wah...aku pasti muntah.
Sampai di kos-kosan sudah jam delapan. Kuya sudah berangkat ke Argopuro bersama Doni, Momes, dan Singo. Secarik kertas kutemukan di meja. "Buat Kebluk : Nyusul, ya. Gue udah berangkat." Tertera tanggal hari kemarin di bawahnya, beserta nama Kuya.
Selesai mandi, aku pamit pada ibu kos. "Mau langsung ke Probolinggo, bu. Naik gunung Argopuro. Salam buat pak Raung," kataku sambil menyebut nama suaminya. Konon, nama itu memang diambil dari nama gunung Raung. Suaminya memang lahir di kaki gunung itu.
Nah, sekarang aku sendirian lagi, di dalam bis menuju Probolinggo. Logistik di dalam carrier berisi perlengkapan standar saja. Rencananya malam nanti akan menginap di desa Baderan. Besok pagi baru berangkat menyusul anak-anak. Malam nanti bulan purnama.

=====

Sudah hampir maghrib sewaktu aku tiba di warung pak Bachri. "Iya, kemarin ada yang naik bertiga. Perempuannya satu orang, memakai kerudung," jawab beliau ketika aku tanyakan pada lelaki yang pembawaannya gagah itu, seperti umumnya orang desa yang fisiknya memang luar biasa. Aku lihat di log pendaki, bawha nama ketiga temanku memang tercatat di sana.
"Apa malam ini ada tempat buat saya menginap, pak?" tanyaku agak ragu.
Tapi keraguanku sama sekali tak beralasan. Ada pos jagawana yang memang biasa dipakai pendaki yang kemalaman di desa ini. Lalu aku dikenalkan dengan seorang jagawana yang akan menjadi tuan rumah di tempatku menginap. Aku makan malam dengan telor asin dan sayur lodeh yang sudah dingin. Lumayan buat ganjal perut, yang sejak tadi siang hanya diisi kue dan cemilan-cemilan. Di Probolinggo, tepatnya di Randu Pangger, pertigaan tempatku menunggu bis ke Banyuwangi yang akan membawaku ke Besuki, aku hanya sempat makan roti. Lalu di Pasar Khewan, Besuki, hanya sempat mampir ke kantor polisi, lapor dan mencatatkan namaku di sana. Maka nasi dengan sayur lodeh dinginpun sudah sangat cukup untuk meredam gejolak entah apa di dalam perutku.
Selesai makan, aku langsung ke rumah dinas jagawana. Rumahnya diterangi lampu kuning, bukan neon yang putih benderang. jadi agak remang-remang. Mungkin hanya lampu 25 Watt. Aku disediakan satu kamar depan. Sepi, dan airnya sangat dingin saat aku mandi. Selesai isya, aku ngobrol sebentar dengan si jagawana. Rupanya dia seangkatan dengan gepeng di pendidikan kader konservasi lingkungan yang diadakan Mapensa, Faperta Universitas Jember, tahun 1994 lalu. Ah, dia masih ingat dengan gepeng, rupanya. Kami pun langsung akrab, terutama karena membicarakan watak-watak gepeng yang memang sering dianggap terlalu keras oleh sebagian orang. Tepat jam 10 malam, aku pamit masuk kamar. Tidur, sebab besok aku ingin berangkat pagi-pagi, menyusul teman-temanku yang mungkin sekarang sedang tidur di Alun-alun Besar Sikasur.

=====

Tepat jam 06.30, aku berjalan keluar pos, menuju warung pak Bachri. Sarapan dengan indomie rebus, nasi sepiring, dan bakwan gorng. Semuanya panas. Setengah jam kemudian, aku sudah bergerak menuju Sikasur.
Mungkin karena sendirian, maka jalanku agak cepat. Mungkin juga karena menyadari bahwa bekalku memang tidak kusiapkan untuk bermalam sendirian di jalur pendakian. Bisa saja memang, untuk bermalam dan buka bivak, tapi sangat tidak nyaman jika dibandingkan dengan tidur di dalam doom yang didirikan di dalam pondok pemburu sikasur.
Tempat mata air pertama (HM 43) dan kedua (HM 67) menjadi tempat istirahatku. Tidak trlalu lama, hanya sekitar 15 menit saja. Niat untuk masak indomie (lagi) di HM 67 kubatalkan, sebab hujan mulai turun. Kupikir, lebih baik jalan dengan ponco dari pada membuka bivak untuk masak dan membuatku jadi malas lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Alun-alun kecil kulewati di bawah siraman hujan yang cukup deras. Beberapa kali serombongan babi hutan membuatku terkejut saat berpapasan dengan mereka (atau aku yang membuat mereka terkejut?). Mungkin hujan deras membuat kehadiranku tak mereka sadari. Beberapa kali belokan membuatku terkecoh dan menyangka sudah hampir tiba di Alun-alun besar. Sampai kemudian aku melihat dua sosok sedang menuruni tening sungai kolbu. Sikasur! Alun-alun besar yang berhasil mengundangku untuk jauh-jauh datang dari Jakarta untuk mengunjunginya. Aku berteriak keras, saat kukenali bahwa mereka adalah Doni dan Singo yang tampaknya sedang mengambil selada air.
"Hei, kebluk ya?" pekik doni yang rupanya mengenali sosokku yang terbalut ponco gelap di keremangan cahaya jam empat sore yang disiram hujan.
Menit berikutnya,aku sudah di dalam pondok kayu yang tampak sempit karena tenda doom rhino biru hijau dibuka di dalamnya. "Kopi jahe, ya," sahutku ketika kuya mendekati kompor sambil mengankat jirigen air.
"Ini kompan bocor, punya lem nggak, Bluk?" tanya kuya.
Ketika kujawab hanya ada tensoplast di survival kit-ku, mereka segera mengaduk-aduk isinya. Singo menemukan permen karet, lalu memakannya diam-diam, diiringi senyum-senyum kuya yang sesekali melirikku.
"Hahaha. Bluk, permenloe dimakan si anung," lapornya.
"Eh, ini buat nambal kompan, Ya. Jangan sembarangan nuduh lu. Ini buat kepentingan tim," ujar Singo membela diri.
Ah, senang sekali bisa berada di tengah saudara-saudaraku sendiri. Tertawa terbahak-bahak ketika Doni meminum air cucian selada air, yang disangka air kopi. Atau nggodain Momes yang konon sedang kasmaran, entah pad asiapa. Mungkin babi-babi hutan yang belum laku seusai musim kawin ini.
karena aku baru tiba, maka mereka memutuskan untuk tinggal semalam lagi di sikasur. Berarti dua dari tiga malam pertama mereka, akan dihabiskan di Sikasur. Kuya mengalah untuk memberi tempat padaku di dalam doom, sementara dia tidur di luar doom. Aku tertidur sangat lelap, hingga suara ribut Singo keesokan harinya.

=====

Jam enam lewat! astaga, nyenyak sekali aku tidur. Entah apa yang diributkan Singo di luar. Semua sudah bangun. Kuya dan Doni di depan kompor. Momes tak terlihat, mungkin pergi ke air. Rupanya Singo berusaha mendekati seekor rusa yang bermain terlalu dekat dengan pondok. Tapi Singo merayapnya tanggung-tnaggung, hingga pantatnya masih menyembul sedikit. Rusa itu mungkin sadar bahwa pantat itu tak mungkin bergerak sendiri tanpa ada manusia yang membawanya. ketika rusa itu lari, Singo yang malang berusaha mengejar. Tapi dia terantuk sesuatu. Mungkin sisa akar, sebab dia mengusap-usap kepalanya sambil misuh-misuh. Hehehe, emang enak?

Setelah sarapan dan ambil foto, kami mulai bergerak dengan cisentor sebagai target antara, dan puncak rengganis sebagai target akhir hari ini. Kami sengaja memang, untuk tak bermalam di cisentor dan lebih memilih untuk menjadikan kawasan petilasan Dewi Rengganis untuk camp selanjutnya. "Cari suasana baru," ujar kuya yang sudah bolak-balik ke argopuro.

Perjalanan hingga cisentor dilakukan dalam tempo sedang. Kami tiba di cisentor ketika hujan mengguyur lagi gunung ini. Makan siang hanya dengan mie rebus saja. Sempat bertemu dengan dua orang pramuka asal Jember yang baru saja turun dari puncak dan bermaksud meneruskan perjalanan hingga Taman Hidup. Wah, mereka pasti berjalan dengan kecepatan tinggi. Sebab jarak Cisentor dengan Taman Hidup masih cukup jauh. Kalau kami, tak akan bisa mencapai Taman Hidup dalam waktu enam jam.

Pukul 14.00, kami lanjutkan lagi perjalanan. kali ini terbagi menjadi dua. Singo dan uya di depan, dengan target menyiapkan tempat camp sebelum malam. AKu, Doni, dan Momes di belakang. Ini lebih efektif, sebab bila harus bersama-sama dalam rombongan, bisa dipastikan akan kemalaman di jalan, dan akan bersusah payah mendirikan tenda, mencari kayu dan membuat api saat hari sudah gelap.

Ketika aku tiba di kawasan puncak Rengganis, tenda sudah berdiri dan api sudah menyala. Bahkan Singo sudah membuatkan minuman hangat. (enak juga jadi orang tua, begitu sampai camp, sudah ada pelayanan ekstra). Alhamdulillah, di puncak tidak hujan. Tapi akibatnya, suhu udara menjadi terasa lebih dingin. Malam kami lewati dengan makan kentang bakar. Tempe yang dibawa Kuya belum juga berhasil menjadi tempe. Dia sengaja membeli tempe yang belum sempurna proses peragiannya. "mungkin tempenya kedinginan, Kuy!!!" Singo dan kuya memilih tidur di luar doom, menghangatkan diri dekat api sekaligus menjaganya agar tidak padam. Alarm dipasang pukul 05.00, karena kami ingin melihat dan mengabadikan matahari terbit.

=====

Begitu mendegar alarm dari weker kecil milik Kuya, aku bergegas mengambil Minolta SRT101 buatan tahun 1971 yang sudah tak bisa beroperasi menggunakan lampu kilat. Kamera berat tu aku jining menuju puncak bersama Singo yang menemani. Tak lama Doni, Kuya, dan Momes menyusul. Kami semua menggigil.

Tapi ufuk timur tertutup aswan. Kami hanya melihat cahaya semburat jingga yang makin siang semakin terang dan putih. Tapi cukup membuat kami terkesima dengan suasana dramatis yang ditimbulkannya. Cita-cita kami untuk menginap dan melihat matahari terbit dari puncak Rengganis tercapai sudah. Tak ada lagi rasa penasaran.

Ketika hari mulai terang, Kami mulai mencabut beberapa "atribut" yang dipakukan ke pohon. Macam-macam isi tulisannya, tapi kebanyakan hanya menuliskan nama organisasi tertentu yang dicat di atas seng atau kayu. Juga ada beberapa bendera yang "merusak pemandangan" yang kami cabut. Hanya satu tanda saja yang tertinggal di sana, yaitu papan yang menunjukkan nama tempat dan ketinggian Puncak Rengganis.

Sekitar pukul 09.00, kami bergerak turun. Di persimpangan antara Puncak Rengganis, Puncak Argopuro, dan jalan menuju Cisentor, kami berhenti. Berjalan sedikit masuk ke jalan menuju puncak Argopuro, dan beristirahat di sana. Aku dan Momes berhasil terbujuk Kuya untuk mengikutinya berjalan menuju puncak. Doni dan Singo memilih menjaga Carrier.

Jalan menuju puncak Argopuro tidak sejelas jalan menuju puncak Rengganis. Mungkin ini bukan jalur normal yang biasa dipakai orang untuk menuju ke puncak Argopuro. Sepanjang jalan, Kuya menceritakan dugaannya bahwa Puncak Argopuro mungkin sebuah candi yang terkubur seperti Borobudur di masa lalu. Ini, katanya, bisa dilihat dari bentuknya yang simetris dan adanya beberapa lokasi datar setiap kali kami tiba di ketinggian tertentu. Bisa jadi Kuya benar. Memang, jalannya cukup curam, tapi setelah beberapa langkah, kami selalu menemui pijakan berupa batu-batu yang luas dan datar. Pohon-pohon jug tidak bisa tumbuh besar dan berdiri dengan jarak yang sangat renggang. Hanya semak-semak saja yang tumbuh rapat. Bahkan di lereng menuju puncak, kami menemukan patung berupa manusia yang duduk bersila, membelakangi puncak. Mungkin kalau meau mencari ke kiri atau ke kanan di dalam hutan, akan bisa ditemukan arca serupa.

Di puncak, suasananya agak "gimana gitu", sepi dan mistis. Di sebuah meja batu yang mungkin menjadi altar pemujaan, ada sisa-sisa sesajen. Di sampingnya, ada sebuah batu dengan ceruk yang sepertinya digunakan sebagaitempat menampung air. Tak lama kami bertiga di puncak ini. Kami turun melalui jalan yang berbeda dengan yang kami lalui saat mendaki tadi. Tampaknya, jalan turun inilah yang biasa dipergunakan orang. Ini bisa terlihat dari lebarnya jalan dan beberapa sampah plastik bekas bungkus permen yang kami temui. Beberapa pohon juga tampak dipasangi marka. Mungkin ada yang baru saja melakukan latihan SAR di sini. Cukup sering kami tersesat keluar dari jalur, dan beberapa kali menemui jalur yang curam, sebelum akhirnya bertemu dengan padang luas. Nyatalah, bahwa kami memang tak melewati jalan yang sama dengan jalan saat kami mendaki tadi. Sebab cukup jauh jug akami harus melintasi padang rumput, sebelum menemukan tempat Singo dan Doni menunggu.

Segera setelah mengambil beberapa gambar, kami melanjutkan perjalanan. Semula, target kami memang Taman Hidup. Maka kami pun turun dengan agak sedikit berlari. Tapi kenyataan berbicara lain. Setelah pukul 17.00, kami baru tiba di Aing Kenek. Sebuah lembah sempit tempat pertemuan dua bukit yang dialiri sungai yang cukup deras airnya. Hujan deras menyambut kami, seakan menahan kami agar tak meneruskan perjalanan. Maka kami putuskan untuk bermalam di tempat lembab ini.

Entah karena hujan atau karena tak cakap mencari kayu kering, maka api unggun baru bisa menyala setelah hari gelap. Padahal kami kedinginan dalam pakaian kuyup dan sudah berniat memasak bubur kacang ijo. Kalau memasak bubuk dengan trangia, akan memboroskan bahan bakar. Mungkin sekitar pukul 20.00, api baru menyala besar dan siap dipakai untuk membuat bubur kacang hijau. Tapi aku sudah terlanjur lelah, sehingga memutuskan masuk doom bersama momes, yang sepertinya juga kecapekan karena beban carriernya sepertinya paling berat (maklum adik bungsu).

=====

Esok paginya, kami kuatkan hati untuk mengenakan celana lapangan yang basah kuyup. Kami harus turun hingga Bremi, Krucil, sebeblum angkot terakhir berlalu. Malam ini, kami harus sudah tiba lagi di Malang. Maka perjalanan turun kali ini dilakukan dengan kecepatan tinggi. Hanya DOni yang berjalan agak lambat. Singo yang terjebak di belakang Doni, terpaksa harus menemaninya sampai tiba di Bremi nanti.

Di Taman hidup, aku, Kuya dan Momes sempat fot-foto. Kemudian diputuskan untuk langsung turun tanpa menunggu kedatangan Doni dan Singo di tempat itu. Sayangnya, kami lupa memberi tanda di persimpangan, sehingga Doni tak tahu kalau kami bertiga sudah tak ada di Taman Hidup.

Hasilnya, ketika sudah tiba di Bremi dan sedang duduk-duduk di warung, Doni tiba dengna muka masam. Dia langsung memesan Susu Soda dan sate kambing. Singo tertawa-tawa sambil menyalahkan kami yang meninggalkan mereka. Katanya, "Doni ngguondok banget pas sampe di Taman Hidup, dan nggak ada siapa-siapa lagi." Yah, kalau kami tadi menunggu di Taman Hidup. mungkin kami akan tertinggal angkot menuju jalan besar, dan rencana ke Malang malam ini bisa berantakan. Untung saja Doni cuma sedikit kesal. Setelah kenyang, di asudah bis atersenyum lagi.

Sengaja kami tak menyambangi rumah bu Pudji, tempat yang biasa kami singgahi saat turun dari Argopuro. Sebab kami memang tak ingin berlama-lama di sini. Kalau ke rumah bu Pudji dan tidak menginap di sana, rasanya tidak enak juga. Maka sekalian saja nggak usah ke sana.

Dengan seijin pemilik warung sekaligus pemilik rumah, kami mandi dan bersih-bersih di kamar mandi di samping rumah. Untuk mempersingkat waktu, kami menimba bergantian dan mandi berdua dalam satu kamar mandi. Kecuali Doni tentu saja. (kok nggak mau mandi bareng siy? nggak kompak neh!)

Dengan angdes kami menuju Jalan Raya Jember - Probolinggo. Naik bus ke Probolingga, lalu menyambung bus AKAS menuju Malang. Sekitar pukul 21.0, kami sudah makan di warung dekat dengan kos-kosannya macan. Sekali lagi kami pesan soda susu, yang seolah menjadi minuman wajib sehabis turun gunung. Dalam benak kami, terbayang kasur-kasur empuk di ranjang kos-kosan kami. Rasanya tak percaya, kalau siang tadi masih ada di dermaga di tepian danau Taman Hidup. Suatu saat, kami akn kembali ke sana.

Friday, October 20, 2006

Argopuro 1999 - Bagian 13

Selasa, 7 September 1999

Pagi-pagi aku sudah di dapur. Dapurnya hangat. Mungkin karena masaknya menggunakan perapian dengan bahan bakar kayu. Bukan kompor seperti di rumah kita. Aku betah di dapur, sebab bisa main api dengan kayu dan perapian. Mungkin kecenderungan manusia untuk senang main api, ya? (keponakanku saat berumur 4 tahun pernah membakar sofa kecil milik kakek-neneknya. Hehehe...

Jelas saja bapak-ibuku marah. Sekarang kursi itu tak bisa dipakai lagi. Tinggal kerangka kayunya saja yang tersisa. Sekarang dipakai utuk meja komputer adikku). Aku masak nasi, mie rebus, telor ceplok, dan menggoreng sisa-sisa kerupuk. Bu pudji beli susu lagi. (di mana siy, belinya?) Dia juga beli kerupuk lagi. Kalau gula dan semua sisa perbekalan, sudah aku oper pada dia. Sarapan, lalu packing dan menunggu yang lain bersih-bersih. Yeni sempat protes ketika tahu aku akan pake kaos A. Sebab dia ga mau ada orang lain yang nyamain dia yang tinggal punya satu kaos bersih: kaos A. Tapi aku cuek aja, biarpun resikonya akan dianggap sebagai rombongan dari panti asuhan. Yang lain bersih-bersih di kamar kecil milik kantor polsek krucil. Katanya gantian, sebab takut polisi-polisi itu iseng. Maka mekanismenya: satu orang masuk, dua orang jaga di luar sambil ngobrol dengan polisi-polisi. Wah, apa enaknya ngobrol di depan kamar kecil? Atau ngobrolnya sambil tutup hidung? Lagipula, apa polisi-polisi itu bernapsu untuk ngecengin mereka yang kucel-kucel itu? Aku sendiri tadi cuma mbasuh badan di pancuran belakang rumah bu pudji, dan nggak ada yang ngeliat tuh.

Sesudahnya aku menjalani ritual rutin di ruang tamu: nyeruput kopi dan nguping radio. Banyak foto dan slayer digantung di dinding. Ada juga peta usang. Lalu baca-baca log pendaki di buku besar yang sudah ada tiga buah. Kucari-cari nama anak-anak astacala yang pernah mengisinya. Ada juga ternyata. Ada tulisan tangan kuya. Ada juga yang nempelin foto-fotonya. Wah, narsis banget siy? Bosan dan pengap di dalam rumah, aku keluar. Liat-liat sekeliling. Ada tumpukan kayu bakar di samping rumah, yang ternyata bu pudji membelinya, tidak mencari sendiri.

Anak-anak lama sekali. Jam setengah sebelas baru pada selesai. Mungkin karena sekalian be-ol. Selesai packing, sudah hampir tengah hari. Foto-foto dengan bu pudji di depan rumah. Lalu pamitan sambil berjanji akan kembali lagi untuk menempelkan foto di buku log pendaki. Bu pudji mengatar sampai ke jalan raya. Nyetop angkutan colt, sambil berpesan padaku: Jangan ninggalin yang lainnya lagi!!!. Oke deh.

Turun angkutan langsung bingung: nyebrang apa enggak? Ada bus datang, setop saja, urusan belakangan. Aku tanya, "Surabaya?" kernetnya ngangguk. Tapi kok murah? cuma dua ribu perak? Ternyata di terminal kita disuruh turun. "Itu bis ke Surabaya, Mas!" seru kondektur tadi. Oh, ternyata harus pindah bus tho? Teringat pesan Gapung dulu, kita milih bis AKAS. Konon, ini PO yang menguasai Jawa Timur dsk. Bisnya biasa aja. Tapi ternyata memang nyaman: tidak ugal-ugalan seperti bis dari PO lainnya. Kondekturnya pakai seragam wearpack oranye. Kok jadi inget kernet metromini di Jakarta jaman baheula? Sepanjang jalan aku tidur. Ketika bangun bajuku basah, keringet. panas sekali bis ini? "Lain kali bawa pintu mobil, supaya kalau gerah, tinggal buka jendelanya!" Astaga, siapa yang bilang itu?

Sampai Bungurasih langsung nyari bis ke Gubeng. ternyata penuh. Anak-anak nggak mau, sebab "Nggak bisa naro carrier," katanya. Ya udah, naik bis berikutnya yang masih ngetem, kosong, dan pasti lama berangkatnya. Wied udah misah. Dia naik bis ke Madiun. Jangan lupa brem dan bumbu pecelnya ya wied!

Ternyata selain ngetem, bisnya muter-muter dulu sebelum lewat Gubeng. Kami turun di pertigaan. Jalan lagi sekitar seratus meter ke Stasiun. Wah, waktunya mepet nih. Jam 17.00 KA Mutiara ke Bandung berangkat. Tergopoh-gopoh kami berlari. Bayangan ketinggalan kereta Kahuripan kembali menari-nari di ruang ingatan. Ternyata kami masuk dari pintu belakang. Lewat pintu itu, tidak ada loket untuk kelas bisnis. Jadi harus nyebrang ke pintu satuya. Melewati beberapa jalur sepur. Keretanya masih ada. Aku tinggalkan carrier dengan anak-anak dekat kereta. Biar larinya cepat. Aku langsung ke loket. Lho, kok ngantri? ternyata aku salah loket. Itu loket Mutiara untuk pemesanan perjalanan besok dst. Bukan loket penjualan langsung. Padahal udah ngantri. Di loket penjualan langsung, aku tanya, "Masih kekejar keretanya, Bu?" Dijawab masih. Aku lari ke peron, ternyata keretanya hanya kelihatan buntutnya ajah. Anjrit . Lemas rasanya. Mosok sih, ketinggalan kereta lagi? Tapi begitulah. Aku temui Lilis dan Yeni yang kelihatan frustasi. Ah, sialan. "Keretanya udah jalan, kak." Orang-orang pada ngeliatin. Malu nih. "Padahal, tadi orang-orag udah nyuruh naik, kak," ujar Yeni,"Katanya biar ajah Masnya ditinggal. Nanti bayar di atas." Sialan. Untung aja mereka masih waras. Aku langsung tuker tiket. Berarti naik kereta berikutnya: Turangga. Berarti ongkosnya juga nambah. Emang udah nasib.

Kami duduk-duduk di bangku peron dengan pikiran melayang-layang. Nggak pernah kebayang sebelumnya kalau kami bakalan ketinggalan kereta lagi. Lilis ngajak ke musholla. Aku pergi beli coca-cola. Tapi nggak ada yang mau. Mereka maunya es krim, 'kali. Bosan di stasiun, kami nyari soto di depan stasiun. Sotonya enak, nasinya banyak. setelah kenyang, balik lagi ke stasiun. Turangga berangkat tepat waktu. Aku duduk di tengah gerbong dengan seorang penumpang lain. Lis dan Yen di kursi bagian depan. Penumpang di sebelahku menawarkan Orange Juice. Aku mengangguk, sambil bilang bahwa adik-adikku dua orang, duduk di kursi no. 1A dan 1B. "Oke, sekalian aja dipesenin," katanya. Dia orang Freeport yang mau pulang ke Jogja. Kami ngobrol soal tailing freeport yang ternyata masih banyak kandungan emasnya. Setelah dia turun, aku tidur. Karena AC-nya terlalu dingin, aku pakai sweater Camel Trhopy. Baca do'a sebelum tidur. Bandung, we're coming.

Argopuro 1999 - Bagian 12

Senin, 6 September 1999

Pagi ini nggak ada yang terlambat bangun. Maka jam 08.00 sudah bisa mulai sarapan. Jam 09.00, kami berger lagi, dengan target Taman Hidup. Wied kelihatan sudah bosan dengan hutan. Padahal baru seminggu. Sebelum berger, api kumatikan dengan bantuan golok tebas. Karena nggak bisa cepat, aku siram dengan air. Yang lain protes. Maka aku membuka ikat pinggang, pura-pura memelorotkan celana. Yang lain ngacir, sebab aku memang akan melakukan upacara adat: mematikan api dengan cara kencing di tumpukan unggun. Aku ngakak mendengar sumpah serapah mereka. Tapi karena hanya sendirian, baranya masih saja nyala. Maka aku kubur saja dengan tanah. Ternyata efektif.

Lima menit aku ketinggalan rombongan. Weh, cepet juga mereka jalan. Lintasan mulai turun terus, tapi mepet jurang. Aku beberapa kali berhenti. Mebiarkan mereka jalan di depan, kemudian berlari menusul. Kalau jalan terlalu pelan, dengkulku gemetar. Kuhitung-hitung, aku tujuh kali jatuh. Terpeleset, tapi nggak sampe masuk jurang.

Sepanjang jalan radio aku nyalakan. Di depanku Lilis, kadang mengikuti lagu dari radio yang siarannya sudah mulai bervariasi. "I can see clearly now, the rain has gone..." Hmm... suaranya merdu juga ...kalau dibandingkan dengan suara beruk di atas sana. Hehehe... Hutan mulai rapat, dan gelap.

Jam 13.00, sampailah kami di pertigaan taman hidup. Ketika melihat danau, anak-anak langsung teriak-teriak. Ajaib, ternyata yang dikatakan kuya benar: kabut akan turun di taman hidup kalau kita teriak-teriak. Tapi nggak lama, paling-paling setengah jam sudah terang lagi. Kau masak hun kue pake gula merah dan coklat tulip yang dicairkan. Tapi nggak laku. Masih kenyang? Mungkin rasanya memang nggak enak. Ketika diajukan usul untukbermalam lagi, nggak ada yang nyahut. Baguslah, aku juga agak merinding di sini. Mungkin karena kedinginan. Foto-foto di dermaga kayu. Kalau melihat tanah di sekitarnya, rasanya akan berubah jadi rawa di musim hujan. Dua jam di sini, kami berger lagi. Berjalan malas-malasan, menghabiskan film, dan lagi-lagi kesepian.

Jam 17.00, sampai di hutan damar. Terdengar deru motor. Mungkin ada yang sedang menggergaji pohon atau membelah kayu. Kulihat beberapa lokasi bekas penampungan kayu tebangan. Di ujung hutan damar, lagi-lagi anak-anak berhenti. Padahal ladang penduduk sudah kelihatan. Yeni tanya jam, aku bilang jam setengah enam Eh, dia nggak percaya! sialan. Aku berdiri, dan tanpa ba-bi-bu langsung lari menuju ladang. Biar rasa kemaleman di ladang, sumpahku. Nggak tahu, apa mereka nyusul atau nggak. Aku udah bosan. Di kebon kopi, aku papasan dengan sapi yang lagi makan di tengah jalan. Wah, kok nggak mau nyingkir dia? Aku agak-agak takut juga. Takut kalau ditaksir. Terpaksa aku jalan di pinggir. Tapi sapi itu mendekat. Wah, aku masuk ke ladang saja. Setelah aman, aku baru sadar kalau ada dua anak yang diam-diam memperhatikan aku. Mereka ketawa ngikik. Bisik-bisik dalam bahasa yang aku nggak ngerti. Brengsek. Tiba di warung pertama, aku beli semangka. Trik ajah, sebenarnya mau tanya lokasi rumah bu pudji. Ternyata nggak jauh lagi. "Dekat turunan," ujar ibu warung. Di dekat turunan, aku tanya lagi pada tiga anak kecil. Mereka mengantar ke rumah bu pudji. Hah, langsung ngasih limaribuan kepada bu pudji. Buat beli susu. Aku mandi di kantor polisi. Wangi, sebab keramas dan pake biore. Selesai mandi, sudah ada kopi susu. Masih panas. Aku ke dapur. Tanya ini itu pada pak pudji. Ternyata dulu beliau sering jadi porter buat orang-orang yang berburu ke sikasur. Banyak macan, katanya. Tapi karena macannya sudah mulai habis, maka yang banyak sekarang adalah rusa. Iya sih, aku liat beberapa rusa di sikasur. Mungkin banyak lagi di sekitarnya.

Jam 19.00, anak-anak belum sampai. Aku pamit pada bu pudji. Mau kemana? tanyanya. Tapi beliau marah, katanya: "WONG EDAN!!!" waktu aku bilang anak-anak masih di belakang, dan cewek semua. Aku cuma nyengir. Baru saja aku buka pintu, terdengar suara yeni. Haha, dia marah-marah. Yang lain memberengut. Cemberut. Apalagi tau kalau aku sudah mandi dan wangi. Mereka diantar seorang penduduk. Rupanya tersesat di kebon kopi. Sukurin loe...! Mereka nggak mandi malam ini. Cuma cuci muka. Karena rumah bu pudji sepi, tak ada pendaki lain, aku diminta bu pudji (yang masih marah-marah karena aku ninggalin anak-anak) utuk tidur di kamar depan. Wah, istana nih. Yang lain tidur sama bu pudji.

Argopuro 1999 - Bagian 11

Minggu, 5 September 1999

Pagi-pagi aku bangun sendirian. Aku tidur beratapkan flysheet, ditemani api unggun. Yang lain tidur dalam doom. Aku akan masak tuna pedas. Hah! Sarapan ini harus istimewa. Untuk ketiga putri astacala yang telah berhasil mencapai puncak Rengganis kemarin sore. Nasi kubuat agak banyak. Tuna pedas. Mie rebus. Teh tubruk. Ikan asin dan krupuk tak ketinggalan. Bahkan nutrisari kusiapkan, siapa tahu ada yang ingin minum air jeruk-jerukan. Semua aku persembahkan buat mereka. Buat cuci mulut, aku bikinkan agar-agar, yang kemudian kurendam di sungai (mudah-mudahan bisa beku).

Jam 08.30, masakan sudah siap. Aku menunggu sambil mendengarkan siaran radio Jember. Sebagian atap flysheet sudah kubuka, supaya terang. Pakaianku yang kotor sudah dicuci dan dijemur. Panas matahari kuharapkan mampu membuat pakaianku kering. Sleeping bag pun aku jemur di atap flysheet. Tapi, ah.... kenapa mereka belum juga bangun? Sudah satu jam masakan siap. Nasi mulai dingin. Mie rebus sudah kuhabiskan (kalau terlalu lama, tidak akan ada yang mau makan). Ah, apa mereka terlalu lelah? Atau jangan-jangan sakit? Atau aku tak sengaja berlaku kasar semalam, hingga mereka tersinggung dan tak mau makan masakanku lagi? Aku mulai was-was. Apa salahku ya?

Jam 10.00, aku mendekati tenda. Aku goyang-goyangkan tenda sambil memanggil mereka satu per satu. Terdengar suara dari dalam. Ah, rupanya mereka terlalu lelah, sehingga bangun kesiangan. "ASTACALA !!!" begitu kuteriakkan di depan tenda. Hahaha, aku mendapat kerianganku lagi saat mereka ternyata terganggu dengan teriakanku. "PEMALAS!! AYO BANGUN!!!"

Satu per satu mereka keluar. Wajahnya kusut masai, dan cemberut. Tapi melihat hidangan di atas matras, mereka terlihat senang. "Udah dari tadi nih. Air teh udah ronde kedua." Aku ke kali mengambil agar-agar yang kurendam. Lumayan, udah beku dan siap dimakan

Mereka duduk satu per saut menghadap hidangan. Memegang senjata masing-masing (sendok) lalu makan dengan lahap. Kayaknya mereka takjub melihat sederet hidangan yang disuguhkan. Setelah makan, mereka ke kali. Sekalian mencuci nesting dan trangia. Aku mulai melipat flysheet. Packing.

Jam 12.00, semua packing sudah rapi. Berger dengan target Taman Hidup. Dalam hati aku menebak, "Nggak bakalan sampe."

Dari Cisentor, medan yang dilewati masih berupa savana yang berbatas hutan cemara. Bosan juga. Yeni sempat mengeluh dengan kakinya. Kayaknya bekas jatuh kemarin masih terasa. Tapi aku nggak bantu dia. Biar yang lain saja. Nggak lama, dia sudah berdiri lagi.

Agak cepat juga perjalanan kali ini. Jam 15.00 sudah sampe di aing kenek. Sebuah lembah pertemuan tiga bukit. Banyak snip-snap di sini. Beberapa kali aku hampir menyentuh daun-daunnya. Aku menunggu kalau-kalau ada yang kena daun ganas ini (gatal dan panas). Maksudnya biar nggak terlalu membosankan. Tapi ternyata semua bernasib baik. Diputuskan untuk tidak berhenti. Suasananya syerem. Sepiii.... Nggak banyak percakapan kali ini. Entah apa yang dipikirkan mereka. Aku kesepian. Jalan lagi, setelah tak ada tanda-tanda yang ingin makan. "Masih kenyang." Tapi setengah jam berjalan, lagi-lagi kami berhenti. Buka bekal: makan biskuit. "Ada yang mau mie?" tapi ngak ada yang nafsu. Aku mulai jengkel dengan kecepatan kami. Kalau mau, ke Aing Kenek aja, buka camp lagi. Aku sendirian orienteering. Nulis puisi di belakang peta. Yang lain ketawa-ketiwi. Rasanya cuapek!

Entah berapa bukit kami naiki dan turuni. Rasanya bosan sekali. Setelah menyeberangi lembah dengan batu yang besar-besar, kami istirahat di puncak sebuah bukit. Apa ini yang namanya taman kering? Lama juga berhenti di sini, sampai aku tertidur. Sempat mimpi lagi makan nasi rawon di kantin kampus dengan gepeng. Bangun lagi, ternyata yang lain juga tertidur. Wah, "Ayo berger!" Malas-malasan kami bergerak. Lalu tiba di sadel, pertemuan dua bukit yang jalannya menikung. Malas sekali mau melanjutkan, karena jalannya naik. "Kita buka tenda di sini ajah," usul siapa aku sudah lupa. Lokasinya cukup datar. tampaknya bekas tempat camp juga. Ada bekas perapian dan rumput-rumputnya sudah dibersihkan. Ada sebuah pohon besar yang dikotori dengan beberapa tulisan dan plang kayu. Salah satunya bertuliskan singga lawang.

Makan malam hanya dengan nasi dan mie goreng. Hunkue belum tersentuh. Dendeng sudah habis. Begitu juga dengan sayur-sayuran. Nggak heran kalau nasinya nyisa. Malamnya aku tidur sendirian di luar tenda. Api menyala cukup besar, sehingga sleeping bag nggak aku buka. Cuma aku jadikan bantal ajah. Radio lagi-lagi cuma nangkap siaran dangdut. Untungnya ada siaran SW, walaupun suaranya naik turun dan campur suara semut. Sampe jam 23.00 aku belum bisa tidur. Mungkin karena khawatir dengan api yang terlalu besar. Soalnya, kering sekali di sini. Anginnya cukup besar. Jangan-jangan apinya merembet ke hutan dan jadi kebakaran. Aku bangun lagi dan masak nasi goreng. Dari tenda, suara mendengkur cukup keras terdengar. Selesai masak, api kukecilkan. Hanya bara saja yang tersisa, buat mengusir dingin. Nulis lagi, sampe jam dua pagi.

Argopuro 1999 - Bagian 10

Sabtu, 4 September 1999


Pagi ini tim dari jonggring sudah berkemas. Mereka akan turun pagi ini lewat bremi. Setelah ngobrol sebentar, mereka pamit. "Salam buat cewek-ceweknya, mas!" kata mereka, "Masih tidur ya?" Aku jawab,"Iya, kebluk semua." Hehehe.

Sepagian aku hanya tiduran saja. Yang lain nyuci di cisentor. Mau muncak jam berapa, nih? Sudah siang gini masih nyantai.

Jam 12.00, makan siang sudah siap dan kami mulai memindahkan barang ke dalam doom. Rencananya kami akan ke puncak dan langsung turun lagi. Maka barang-barangpun ditinggal. Toh ke puncak tidak jauh lagi (menurut laporan kuya, cuma dua jam)

Jam 12.30, kami berangkat. Perjalanan santai. Kadang aku sendiri di depan, berusaha menarik mereka supaya tidak terlalu santai. Aku khawatir kalau kemaleman. Nggak bawa logistik cadangan. Aku hanya bawa biskuit dan nata de coco. Hutan masih bervariasi. Jalur nanjak terus. Setiap sepuluh menit istirahat lima menit. Wah, kok seneng banget jalan santai sih?

Jam 14.30 Puncak? Nyatanya kami baru tiba di Rawa Embik. Ada sungai kecil di sini. Aku tiba di sini lima menit sebelum yang lainnya. Sempat melihat keluarga celeng ( babi hutan ) sedang bercengkrama dekat sungai. Kuteriakkan dengan keras. " ASTACALAAAA !!!!" dengan maksud mereka mendengar dan bergegas jalan lagi. Jujur saja, sendirian di rawa embik bikin aku merinding juga. Ada yang aneh di sini.

Jam 16.00, setelah bersusah payah membujuk mereka agar berjalan lebih cepat, akhirnya kami tiba di puncak Rengganis. Semua bekal di gelar di dekat puncak yang menyerupai makam. Barangali ini dulu tempat membuang sesaji, sebab di depannya ada jurang yang dalam. Sepi, hanya kami berempat di sini. Aku keluarkan Nata de Coco yang selama ini kusembunyikan. Aku tak lupa membawa gelas dan sendok. Mereka sempat bingung, "Makannya pake apa, kak?" Mereka piir aku nggak bawa gelas dan sendok. Lalu makan bergantian. Satu kali sendok, hanya boleh mengambil dua kotak nata de coco. Terus berputar, bergantian menggunakan satu sendok. (jorok ya?)

Selesai seremonial, mereka foto-foto. Aku menyendiri, melihat bekas bangunan persegi empat di bawah puncak. Sepertinya bekas candi. Buat apa bikin candi tinggi-tinggi seperti ini? Bikin orang malas sembahyang saja. Di sana, di puncak sana, ketiga cewek Telapak Bara masih saja ketawa-ketiwi. Bercanda kesana-kemari. Dan aku kesepian di sini. Berusaha memahami apa yang sedang terjadi, setelah setahun lebih aku tak mengunjungi Bandung, mendapati kenyataan pahit soal kuliah, soal ibu yang sakit (kata orang sudah hamir mati), lalu mencoba mengeja lagi makna kehadiranku di dunia ini. Di antara rimbunan edelweis dan merah hijaunya cantigi, aku menelan semua itu, merasakan mataku panas, lalu pipi dan lenganku basah.

Di ketinggian tempat ini
aku hanyalah sebutir embun
yang sedang mencari
selarik puisi



Jam 17.00 kami berger ke cisentor. Perkiraanku memang tepat: kami akan kemalaman. Padahal nggak ada yang bawa senter. Laporan kuya ternyata tidak bisa diterapkan untuk anak-anak cewek ini. Kuya mungkin atlet, sehingga tak bisa disamakan dengan cewek-cewek ini. Tapi kalau menghabiskan 3 - 4 jam untuk berjalan ke puncak dari Sicentor, rasanya keterlaluan juga. Apalagi semua bekal ditinggalkan di Cisentor. Tak ada survival kit, senter, apalagi bekal makanan yang dibawa ke puncak. Kalau ini bocor ke Badan Diklat Astacala, maka di sidang anggota muda nanti, mereka bisa kena bantai. Mudah-mudahan mereka "pandai" menulis laporannya nanti.

Secepat mungkin kami berjalan turun. Jam 18.00 tiba di Rawa Embik. Hiii, aku berlari di sini. Nggak safety rasanya, maghrib-maghrib di rawa embik. Kuatur lagi susunan barisan. Elist, Wied, Yeni, baru aku di belakang. "Ayo cepat, keburu gelap!"

Jam 19.15, setelah jatuh bangun dan beberapa kali terperosok, kami tiba di Cisentor. Setengah jam sebelumnya, kami sempat menyangka sudah tiba, karena mendengar suara aliran sungai. Ternyata masih jauh. Sebelum turun ke camp, aku sempat "hilang". Terperosok ke pinggir sungai. Untung saja nggak sampai nyemplung.

Begitu sampai, mereka langsung masuk doom. Sepertinya mereka kaget dengan perlakuanku saat turun tadi. Aku memang banyak perintah. Tapi kalau nggak gitu, bisa-bisa tengah malam baru tiba di cisentor. Itu pun kalau tidak tersesat. Mungkin mereka kesal. Makanya langsung masuk tenda. Aku masak sendirian. Kesepian. Cuma tikus gunung yang keluar. Itupun mendekati tumpukan logistik yang kusiapkan. Hanya aku, dan radio transistor empat band. Elist kemudian keluar. Dia mau bantu aku masak. Aku bilang, "kalau capek, istirahat aja. Nanti kalau sudah mateng, aku kasih tau," kataku sambil memotong sisa-sisa sayuran yang masih ada. Lumayan, masih ada kacang panjang dan wortel. Aku campur buat tumis saja. Tinggal menuggu nasi. Aku ke sungai. Airnya tak terlalu dingin. Segar setelah menyiramkan air ke tubuhku. Elist sedang sibuk mengusir tikus gunung yang nggak mau pergi-pergi.

Makan malam tanpa Wied. "Dia sudah tidur," ujar Yeni. Kupikir, mugkin dia masih marah kepadaku. Makanya nggak mau keluar. Biarlah, tapi kalau besok masih mogok makan, akan kupaksa saja.

Argopuro 1999 - Bagian 9

Jum'at, 3 September 1999

Jam 05.30 aku terbangun. Masih saja dingin. Masak air sambil dengarkan radio. Dingin-dingin begini pasti nyaman minum kopi dan ngemil biskuit atau kacang sukro. Anak-anak masih tidur. Ada yang meracau, ngigau. Mungkin karena kedinginan.

Aku keluar pondok sambil membawa kopi dan sekantung cemilan... Sarung melilit leher dan pundakku, dan aku duduk di depan pondok. Matahari sudah terbit. Caahya putihnya seperti ingin mengusir embun yang bergayut di ujung daun. Berkilauan seluas pandang. Dari utara hingga selatan. Menjadi mahkota berlian bagi batang-batang rumput. Dari kejauhan terdengar kicau burung. Di batas hutan terlihat tiga ekor rusa beriringan. Hening, tanpa suara manusia sama sekali. Konon alun-alun ini pernah menjadi tempat persinggahan pembesar Belanda. Juga ada kabar bahwa pernah ada landasan pesawat di ketinggian ini. Mungkin itu sebabnya, Jika dilihat dari ketinggian bukit di pinggir alun-alun, seperti ada dua bekas jalur lurus, berdampingan di salah satu sudut alun-alun. Kuhirup kopi pelan-pelan, menikmati setiap tegukan. Suara seruputanku saja yang terdengar. Angin telah lama pergi. Mungkin ia telah tiba di ujung pulau ini. Sepi. Apa yang tersisa dari sepi, selain separuh kenangan? Ah, Cecep Syamsul Hari merasakan sepi yang lain di ujung dunia sana. Tapi di sini, alun-alun sikasur, sepi hanya melahirkan kenangan-kenangan semu. Kenangan yang mungkin tak pantas disebut sebagai kenangan. Kemana saudara-saudaraku yang lain? Adakah mereka nyaman di tempat kerja mereka? Adakah mereka tak lagi merindukan suasana seperti yang aku alami saat ini?

Kopi tinggal separuh, ketika panggilan alam menyapaku. Aku masuk pondok dan keluar lagi sambil menenteng golok dan tisu. Kuturuni lembah menuju sungai Qolbu. Sarung masih melilit di leher. Dari jauh kulihat dua orang penduduk berjalan di tengah padang. Sepagi ini? Jam berapa mereka berangkat?

Usai menjawab panggilan alam, aku berjalan-jalan sekeliling sikasur. Kubiarkan celana lapanganku basah oleh embun. Masih tak ada tanda-tanda kehidupan dari pondok. Penduduk tadi sudah melintas. Mengarah ke kiri setelah pondok. Tramontina kubawa serta, dan aku masih kesepian saja.

Jam 10.00, elist bangun dan keluar dari pondok. Ah, sekarang giliranku tidur. Ternyata mereka baru bangun. "Dingin banget, semalem," ujar mereka. Ya, aku tahu mereka beru bisa tidur menjelang subuh. Setelah tubuh mereka lelah karena terus menerus menggigil. "Masak-masak!" seruku pada mereka, sambil memasukkan tubuh ke dalam sleeping bag. "Aku tidur, nanti kalau makanan sudah siap, bangunin ya?" sambil menutup mata. Ah, siapa bilang hidup itu susah?

Aku terbangun ketika masakan sudah tersaji. Telur orak-arik. Hmm, bau kubis yang di campur telor begitu menggugah selera. Para tuan putri tampaknya sudah mandi dan ganti pakaian, dan sekarang sudah siap sarapan (atau makan siang?)

Jam 14.00 berger dengan target Cisentor. Melintasi padang-padang sabana yang dihiasi edelweiss di sana-sini. Masuk hutan, bertemu sabana lagi, masuk hutan lagi. Lalu naik ke bukit di ujung suatu padang rumput. Sepertinya kami melingkari bukit, sebelum jalan menurun sepanjang hampir 50 meter. Tampak curam, karena di sebelah kiri adalah jurang. Terdengar suara sungai. Tampaknya sebentar lagi kami sampai.

Jam 17.00 aku sudah tiba di cisentor. Elist tiba paling akhir, jam 18.00. Pondok sudah dikuasai anak-anak ikip yang muncak tadi siang. Kuputuskan buka camp di bawah, dekat sungai saja. Kubuat api yang agak besar, mencoba menghindari pengalaman kemarin malam. Tapi ternyata di Cisentor tak sedingin sikasur. Yeni masak tempe. (udah berapa hari tuh tempe?) Dibikin kering. Ikan asin dan krupuk menjadi menu wajib. Kecap tinggal sedikit.

Jam 20.00, aku sudah masuk sleeping bag. Radio mengkap siaran Jember. Kebanyakan siaran dangdut dan kirim-kiriman salam. Suaranya bersaing dengan suara deras air sungai. Aku kesepian di sini. Merindukan anak-anak PR yang telah lama tak kutemui. Sepi, seperti berada di tengah suasana asing.

Argopuro 1999 - Bagian 8

Kamis, 2 September 1999

Jam 06.00 kami bangun karena mendengar suara-suara. Ternyata penduduk yang lewat. Ada tiga orang. Entah mau ke mana dan cari apa. Aku nggak sempat ngobrol. Hanya sapa basa basi. Nyawaku masih separuh yang kumpul.

Sarapan bubur kacang ijo sisa semalam. Aku minum kopi jahe. Lainnya yang doyan kopi nggak ada. Jadi cuma ada satu laki-laki di sini. Tapi waktu mereka bikin energan/susu, aku juga minta.

Jam 09.30 tepat, berger lagi dengan target Sikasur. Kondisi fisik sudah sepenuhnya On he Mount. Sudah nyaman untuk gerak dan terbiasa dengan beban berat. Tidak heran kalau beberapa menit kemudian, kami sudah tiba di HM 67, mata air kedua. Berhenti sebentar. Memperhatikan cemara-cemara yang besar-besar. Yang batangnya sebagian terbakar, tapi belum mati juga. Pemandangan mulai didominasi oleh cemara. Apa nama tempat ini? Cemoro Lawang? Letak tempat ini di punggungan yang curam. Ke kanan jurang, ke kiri jurang dengan sungai kecil. Tak lama datanglah anak-anak Jonggring Salaka ( IKIP Malang ya ?) Diputuskan untuk makan siang. Lapar, bro. Menunya hanya nasi + mie rebus + telor + krupuk. Lumayan buat ganjel perut. Biasanya aku nggak doyan indomie rebus kalau di gunung. (soalnya, di kosan udah keseringan. naik gunung 'kan saatnya perbaikan gizi). Sambil nunggu masakan mateng, aku dan Yeni ambil air di mata air sebelah kiri jalan. Airnya kecil dan agak kotor, tertutup sampah. Harus naik sedikit untuk mendapatkan yang lebih jernih. Yeni sempat terpeleset. "Kakiku sakit," akunya. Aku sempatkan untuk gosok gigi, cuci muka, dan cuci nesting. Waktu ke atas lagi (30 menit kemudian), anak jonggring bilang, "Ambil air atau ambil air ? Kok lama banget ?" Kami diam aja. Biar Tuhan aja yang tahu. Wied dan Elist
gantian ke bawah. Bawa handuk kecil. Mungkin mau cuci muka dan gosok gigi. Anak jonggring berangkat duluan sementara kami makan siang. Angin mulai terasa kencang di sini. Seperti hendak membawa bisikan daun-daun cemara ke tempat yang jauh.

Selesai makan, aku shalat. Lalu tidur-tiduran beralaskan matras tempat shalat. Sejuk sekali di sini. Niatnya tidur-tiduran sebentar sambil menunggu dayang-dayang cuci nesting, eh...malah terlelap beneran.

Jam 14.00 dibangunin untuk berger lagi. Aku mencium asap. Mungkin ada bagian hutan yang sedang terbakar. Kami jalan lagi dengan santai. Benar saja, kami menemukan area yang masih berasap. Panas, pasti api belum lama menjilat tempat ini. Mungkin juga hanya bara kecil yang merambat pelan-pelan diantara rerumputan. Sekitar 1,5 jam, kami melewati tempat terbuka dangan padang rumput sabana. Tapi di beberapa tempat hanya hitam, hangus terbakar. Alun-alun kecil juga hangus (HM 98). Kami sempatkan foto di tempat hangus itu. Anak-anak tampaknya mulai bosan melewati padang rumput. Itu-itu saja, tidak sampai-sampai. Hahaha, siapa bilang naik gunung nggak perlu perjuangan? Apakah edelweiss yang tumbuh hingga dua-tiga meter itu tak cukup membuat kalian merasa senang? Di suatu tempat, Elist sempat keliru mengambil jalan ke kanan. "Eh, kok ke sana? Jalannya yang ini," seruku sambil menunjuk arah kiri. Mungkin ke kanan juga ada jalan, tapi pasti jarang dilewati. Lha wong samar gitu kok. Beberapa kali kami lewati sabana, sampai akhirnya kami menemukan padang sabana yang teramat luas. Tampak ada jurang yang membelah, memisahkan kami dengan padang luas itu. Pondok kecil juga tampak menghias salah satu sudutnya. Inikah Sikasur yang kesohor itu ?

Sampai di sungai yang bertabur selada air, ketiga putri malu-maluin ini segera saja nyemplung. Main air sambil foto-fotoan. Kampungan banget sih? Sudah jam 17.00. Sebentar lagi pasti gelap. "Ayo naik!" Tapi mereka terlalu asyik main air. "masa kecil kurang bahagia," gumamku. Aku naik ke arah pondok mendahului mereka. Kalau terlanjur gelap, akan malas membangun camp.

Pondok Sikasur agak kotor, penuh tulisan-tulisan. Kondisinya, lihat fotonya saja ya? Hanya aku yang ada di sana. Mana anak Jonggring? Pasti bablas ke cisentor. Kubersihkan ruangan pondok dari sampah. Menggelar ponco dan flysheet sebagai alas. Udara mulai dingin. Pasti anak-anak lain akan kedinginan karena pakaian mereka memang basah setelah berkecipak di sungai Qolbu. Kukeluarkan logistik, dan mulai memasak air. Kopi susu di senja temaram begini pasti sedap.

Setengah jam berselang, anak-anak lain datang. Kedinginan. Sukurin loe! Siapa suruh berendam sore-sore?

Angin keras sekali menerpa pondok. Suaranya berkesiuran. Ada bilah papan pondok yang bisa diangkat. Mungkin untuk mengintai ? Tapi dari situ angin masuk, membuat badan tambah menggigil. Aku masak, karena yang lain masih sibuk berbenah. Mungkin ganti pakaian. Menu makan malam sayur asem, ikan asin, telor dadar, krupuk kecil-kecil, dendeng, dan susu jahe. Hmm... Sepertinya masak nasinya harus ditambah. Dalam keadaan dingin seperti ini, mereka pasti gragas, apa saja akan dihabiskan lewat mulut-mulut mereka. Aku masak sambil dengarkan radio. Tak banyak siaran yang bisa ditangkap. Aku cari di gelombang SW, dapat siaran BBC, tapi suaranya kresek-kresek dan naik turun.

Selesai makan, semua meringkel dalam sleeping bag. Aku duduk sambil menulis dan masak susu jahe. Suara orang menggigil mulai memenuhi ruangan. Kadang diselingi cekikikan. Entah apa yang mereka bincangkan. Mungkin mereka ngomongin aku ya?

Jam 23.00, mestinya semua sudha harus tidur. Kalau tidak, besok akan kepayahan. Tapi semua masih harus berjuang melawan udara yang menusuk tulang. Di luar pondok terdengar suara-suara. Sepertinya hewan penghuni sikasur. Ada banyak cerita syerem di tempat ini berkaitan dengan apa yang pernah terjadi di jaman Belanda dulu. Tapi biar saja. Kalaupun ada suara aneh, anggap saja suara angin. Sebab angin memang bertiup terlalu kencang, entah apa yang dibawanya hingga ia tampak begitu tergesa-gesa. Barangkali ia akan ke tempat yang jauh. Mungkin akan sampai di Bandung juga.

Tips: Jika memungkinkan, bukalah tenda dalam pondok sikasur. Sebab biarpun di dalam pondok, angin masih mampu menerobos dinding kayu, membuat siapapun di dalamnya menjadi kedinginan.

Thursday, October 19, 2006

Argopuro 1999 - Bagian 7

Rabu, 1 September 1999

Bangun agak malas-malasan. Badan masih terasa pegal. Maklum, hari pertama biasanya baru penyesuaian. Dari pengalaman, perasaan ini akan hilang saat menginjak hari kedua dan seterusnya. Sepi. Lainnya masih tidur. Dasar kebluk. Padahal selama ini aku yang dipanggil dengan nama kebluk.

Masak air, bikin kopi, ngemil kacang sukro sambil nguping radio transistor empat band milik sekre dan punggung bersandar pada pohon besar. Hmm... siapa bilang hidup itu susah? Ketika sedang goreng telor, yang lain segera bangun. Mungkin wangi telor dadarlah yang merenggut mereka dari alam mimpi. Katanya, kalau mau lihat wajah asli seseorang, lihatlah saat mereka bangun tidur. Tapi mereka sudah tak canggung lagi. Mungkin karena sudah tiga hari berturut-turut melihat tampangku setiap kali bangun tidur. Langsung sarapan. Nasi + tumis kacang + telor dadar. Langsung packing, karena jam 08.00 kami sepakat untuk berger (maksudnya bergerak).

Jam 08.00 berger dengan target HM 43, tempat yang menurut laporan Kuya adalah mata air di sisi kanan jalan setapak. Kuya bilang, 1,5 jam. Tapi dengan kartini-kartini ini, aku nggak yakin kita sampai sana sebelum jam 11.00. Mungkin sekitar waktu dzuhur. Perjalanan memang santai sekali. "Menikmati pemandangan," kata mereka. Iyalah.

Sepanjang jalan, terdengar suara lutung berteriak-teriak dan bergelayutan di ketinggian rumah mereka. Jalan tak terlalu menanjak. Setiap setengah jam berhenti untuk meluruskan kaki. Dan tiap jam berhenti untuk minum. Aku jalan sambil ngemil permen tango. Canda tawa mereka selalu terdengar. Kadang aku seperti orang bego, kalau mereka ngomongin hal-hal yang aku nggak ngerti. Harap maklum, aku sudah setahun lebih nggak ke Bandung dan Astacala. Waktu datang, sudah punya adik baru. Baru kenal beberapa hari, sudah diminta merndampingi ke Argopuro ini. Maka beginilah jadinya.

Jam 12.15, kami tiba di HM 43 (HM itu Hekto Meter ya?). Akhirnya! HM 43 tak terlalu ideal untuk buka tenda dan camping. Terlalu terbuka, karena berada di gigir punggungan. Jadi hanya istirahat saja sebentar di sini. "Ambil air apa nggak, kak?" Kupikir air masih cukup. Toh nanti di HM 67 juga ada mata air lagi. Tapi, "Boleh deh," jawabku. Maka Wied dan Elist turun mengambil air dengan dua botol aqua besar."Apa menu siang ini?" tanyaku. Tampaknya mereka malas untuk masak. Mungkin capek. Maka siang ini kami hanya makan mie rebus pake ranjau (cabe rawit). Enak juga makan mie hangat di tengah udara sejuk begitu. Tapi aku dua kali menggigit ranjau.

Jam 13.20, setelah badan mulai kedinginan, (baju basah keringetan) kami berger lagi. Targetnya HM 67 (sungai kecil dan temporary di kanan jalan). jalur masih melewati punggungan dengan hutan makin lebat dan cemara di kanan dan kiri tepi jurang. Ternyata siang ini pergerakan semakin melambat. Beberapa kali berhenti lama. Kadang sekali berhenti sampai 30 menit! Astaga, benar-benar piknik mereka ini. Tapi aku nggak bisa protes, sebabi ini memang perjalanan mereka. Aku hanya pendamping. Urusan target waktu dan tempat, tak boleh aku usik, kecuali kepepet. Maka aku ikuti saja irama mereka. Mencoba memahami karakter mereka satu per satu. Belajar menjadi kakak yang sabar bagi adik-adiknya.

Jam 16.00 adalah standard Astacala untuk berhenti dan bikin camp di perjalanan jauh. Tapi kali ini tak bisa begitu. Sebab kami sepakat untuk camping di HM 67. Nah, akibat lambatnya perjalanan, hingga jam 16.00 ini kami masih di tengah hutan. Semak-semak lebat diantara cemara menjadi pemandangan membosankan dalam situasi seperti ini. Maka ketika jam tanganku menunjuk jam lima sore, aku ambil alih komando. Kuminta pasukan berhenti. Carrier diletakkan saja. Lalu Elist maju beberap menit, mencari tempat datar yang nyaman ntuk camp. "Ada," katanya setelah kembali. Maka kami camp di sana. Lokasinya memang datar, sekitar HM 62 - 63. Tapi terlalu sempit, maka harus nebas rumput dan semak. "Mau buka doom, nggak?" tanyaku. Ternyata nggak ada yang jawab. Buka sajalah, pikirku. Lagipula, ini di jalur pendakian. Kalau tidur di udara terbuka, bisa bahaya kalau ada apa-apa. Wied dan Yeni kuminta boka doom. Elist masak, dan aku meratakan tempat untuk pasang flysheet, sekaligus cari kayu.

Jam 20.00 masakan sudah siap. aku masak capcay, elist goreng krupuk dan ikan asin yang sudah dibumbui. Enak juga. Aku minta dendeng. Tapi ternyata dendeng untuk jatah besok malam. Wah, kok aku nggak dilibatkan dalam penentuan menu makan di perjalanan? Nasinya kurang. Untung saja cewek-cewek makannya nggak nambah. Yeni mau bikin bubur kacang ijo. "Asal airnya cukup," kataku mengingatkan. Cukup cerah malam ini. Kayu bakar melimpah, begitu juga air, meskipun kami belum tiba di HM 67 dan belum menambah persediaan air. Trangia hanya dipakai untuk goreng dan masak air minum. Bikin teh, kopi jahe, dan susu jahe. Masak lainnya pakai kayu bakar.

Selesai makan kami evaluasi perjalanan hari ini: target HM 67 tak tercapai, sebab kita terlalu santai. Lalu ngobrol dan becanda-becanda lagi. Sambil menunggu bubur kacang ijo mateng. Berbeda dengan malam pertama, malam ini tubuh-tubuh kami sudah lebih bisa beradaptasi. Pegal dan capek memang masih ada. Tapi tak terlalu terasa seperti kemarin malam. Jam 22.00 mulai ngantuk. Yeni masih nungguin kacang ijonya. Rupanya belum matang. Paling jam sebelas, pikirku. Aku mencoba tidur. Meringkel di tengah dekat api. Nggak lama dibangunin, buat makan bubur kacang ijo. "Wah, jahenya terlalu banyak. Ini burjo pake jahe, atau air jahe pake kacang ijo?" Tapi perut mulai berontak. Kekenyangan nih. Jam 23.00 sudah tidur semua.

Argopuro 1999 - Bagian 6

Perjalanan Menempuh Argopuro
Selasa, 31 September 1999

Pukul 05.00 kami sudah terjaga. Wajahku bentol-bentol penuh bekas gigitan nyamuk. Harus ke pasar untuk membeli beberapa logistik yang kurang. Tapi percuma bawa wied (yang bisa boso jowo) sebab kebanyakan pedagang di pasar hanya bisa bahasa madura. Hanya beberapa saja yang bisa bahasa Indonesia.

Selesai sarapan dan packing, kami berangkat ke pasar khewan, tempat angkot menuju Baderan biasa mangkal. Aku duduk depan, karena belum banyak penumpang yang datang. Maksudnya biar leluasa melihat pemandangan. Sekitar 1,5 jam, sampailah di Baderan, tepatnya di warung pak Bachri. Aku lapor dan isi buku tamu. Yang lain logistik, terutama air dalam jirigen. Masing-masing bawa jirigen lima liter. Weeeks!!!

Pukul 10.30 mulai perjalanan pendakian. Jalur desa di mana-mana selalu sama: membingungkan! Misalnya ketika sampai di pertigaan irigasi. Tadinya kukira jalurnya ke kanan. Ternyata langsung nanjak ke kiri. Hehehe. Naik gunung kok mau yang datar aja. Oh iya, sewaktu sampai di irigasi itu, ketiga cewek manis dalam tim sempat kaget, malu, dan langsung berbalik kanan. Sebab ternyata ada yang sedang mandi di sana. Wah, ngeliat apa aja neng?

Rencananya, perjalanan akan berhenti di HM 20 dan buka camp di sana. Itu berarti 2 kilometer horisontal. Medan yang dilalui hanyalah ladang-ladang penduduk. Panas. Karenanya sering berhenti untuk sekedar menarik nafas. Ketika ada tempat teduh, kami berhenti untuk makan siang. Hanya makan gorengan yang dibeli di warung, dan minum nutrisari palsu.

Pukul 16.00 kami baru tiba di HM 20. Astaga, lama sekali. Aku mulai berhitung lagi soal target-target dari tim ini. Tampaknya tim akan melakukan perjalanan dengan santai. Entah berapa bulan lagi kami sampai di puncak?

Walaupun doom sudah dibuka tapi tidak ada yang mau tidur di dalamnya. Semua memilih tidur di luar. "Mau ngitung bintang?" tanyaku yang sedikit dongkol karena tendaku tidak laku. Menu makan malam dengan sayur sop, tempe, tahu, kerupuk, dan dendeng sapi. Jam sembilan malam masih belum pada tidur. Suasana tak sepi-sepi amat. masih terdengar raungan motor dari baderan, walau hanya sayup-sayup.

Aku sama sekali tak punya gambaran tentang apa yang mereka pikirkan. Wied, Yeni, dan Elist. Bagi mereka, ini perjalanan pendakian jauh pertama. Apalagi hanya didampingi satu senior pendiam seperti aku. Mereka kelihatan sangat menikmati perjalanan. Sementara aku sendiri juga masih tak bisa melepaskan pikiranku dari sakitnya ibu beberapa bulan lalu, yang sempat membuatku frustasi.Maka malam itu aku lebih sering diam di depan api. Sementara mereka bertiga ngobrol sendiri, entah tentang apa. Sepertinya gosip soal anak-anak sekre seangkatan mereka. Aku coba pindah ke dalam tenda. Tapi karena gerah, aku keluar lagi. Lebih enak tidur di luar. Malam ini tak ada evaluasi perjalanan.

Argopuro 1999 - Bagian 5

Senin, 30 September 1999

Dini hari

Aku terbangun saat kereta memasuki Kroya. Turun ke peron stasiun. Pegal di dalam kereta terus. Suasana stasiun sepi. Hanya ada beberapa kereta dan petugas stasiun. Pedagang belum ramai. Lima menit, aku balik lagi ke gerbongku. Yeni. Wied, dan Elist masih terlelap. Mimpi apa mereka, ya? Kereta bergerak lagi. Aku tidur lagi.

Pagi

Jam enam kurang, kereta masuk lempuyangan. Aku celingukan. Penumpang di sampingku menawarkan rotinya lagi. Adik-adikku masih tidur. Tapi tiga penumpang di depan mereka bersiap untuk turun. Meninggalkan kursi kosong. Aku pindah kesana. Pura-pura tidur. Benar saja, ketika kereta berhenti, Elist terjaga. Dan dia heboh melihat aku dengan nyamannya tidur di kursi, sementara mereka berdesak-desakkan bertiga.
"Eeeh! Nggak sopan nih! Enak-enakan di situ, kita aja kesempitan" seruan entah dari siapa. Hahaha. Mereka menyangka aku sudah lama tidur di sana.

Aku melongok keluar jendela. Di sepur sebelah Kahuripan, ada kereta dengan beberapa penumpang yang mulai mengisi gerbong-gerbongnya. Ternyata itu Sri Tanjung. Jurusan Banyuwangi. Berangkat (kalo gk keliru) jam 07.00.
"Apa pindah di sini aja?" usulku agar pindah saat itu juga ke kereta Sri Tanjung.
"Masih lama nggak?"
"Kayaknya jam tujuh," jawabku.
"Nanti aja deh. Kita ikut Kahuripan sampe Madiun. Trus makan dan istirahat sebentar di stasiun, sambil nunggu Sri Tanjung," usul yang lain. Penumpang di sampingku ikut provokasi supaya kami turun di Madiun. Aku merasa dia pingin ditemenin aja. Dia memang tujuan ke Madiun.
"Yang lain gimana?" tanyaku.
Ternyata mayoritas memilih Madiun sebagai tempat transit.

Jam 10.00 tiba di Madiun. Nyari nasi pecel + peyek. Rencananya buat makan siang di kereta. Ini kampungnya Wied. Ibu dan neneknya ada di Madiun, meskipun semasa kecil wied pernah di Jakarta.
"Madiun kok gini amat, Wied. Sepi."
"Kalau di kotanya ya ramai. Ini 'kan cuma stasiun kereta doang," jawab Wied.
Kami beli tiket sampai Probolinggo. Lalu menunggu di peron stasiun. Menunggu Sri Tanjung datang. Ternyata Sri Tanjung jalannya lelet. Jam 12.00 baru masuk Madiun.

Siang

Wah, tampaknya keputusan untuk transit di Madiun ini keliru. Sebab ternyata, keretanya penuh. Memang masih ada ruang di lorong-lorongnya, tapi semua kursi sudah penuh. Terpaksa carrier diletakkan di tengah-tengah lorong gerbong sebab tak ada ruang di tempat menaruh barang di atas kursi penumpang. Memang akan mengganggu lalu lintas penumpang lain. Tapi ini lebih baik daripada di persambungan yang tidak jelas keamanannya. Kami duduk di atas carrier kami. Sesekali menyingkirkan kaki ketika ada penumpang lain yang lewat. Awalnya cukup nyaman, tapi lama kelamaan kami kepanasan. Beberapa kali tukang asinan dan rujak asongan menggoda kami, tapi kami nggak berani makan sembarangan. Ini belum sampai di gunung, jangan sakit perut terlalu dini. Maka kami cuma nonton asongan mondar-mandir sambil kipas-kipas. Setengah jam kereta jalan, aku putuskan untuk makan siang. Nasi pecel yang tadi beli di madiun.

Di Surabaya, ternyata keretanya ke Stasiun Semut (?). Wah, ini kereta memang menjadi lebih lapang karena penumpang banyak turun, tapi suasana panasnya makin nggak ketulungan. Surabaya memang lebih panas daripada Jakarta. Apalagi bagi yang tebiasa di Bandung. Cukup lama kereta berhenti di Surabaya, sebelum akhirnya berangkat lagi.

Sore

Pukul 17.30 tiba di Probolinggo. What a trip! Sayup azan maghrib terdengar menyejukkan. Langit mulai temaram. Kami naik becak ke pertigaan Randu Pangger (?). Becaknya unik : atapnya tidak ditutup. Pilihan ini diambil agar kami tak terlalu lama menunggu di terminal bis, karena biasanya bis-bis suka ngetem. Maka kami menunggu di pertigaan pinggir jalan, dekat pos polisi. Aku sempat mengajak ngobrol dua polisi di sana. Untuk amannya saja, sebab aku membawa tiga cewek yang baru kukenal beberapa hari, di tempat yang sama sekali asing bagiku. Kalau ada orang iseng, paling tidak tak akan dilakukan di depan polisi-polisi ini.

Malam

Tak lama, bis AKAS jurusan Banyuwangi berhenti di depan kami. Carrier masuk bagasi. Penumpang sekitar tigaperempat kapasitas kursi. Aku duduk dekat jendela, supaya bisa melihat pemandangan dengan leluasa. Tapi percuma, sebab malam terlalu gelap. Hanya pembangkit listrik Paiton saja yang cahayanya terang benderang dan membuat takjub karena tampak bagai instalasi asing di tengah kegelapan pantai Situbondo.

Pukul 21.00 tiba di Besuki. Kami minta diturunkan di depan kantor Polsek Sumber Malang, Besuki. Di seberang jalan ada gedung besar, dengan tiang-tiang yang juga besar, tapi tak ada cahaya lampu. Apa gedung peninggalan Belanda ini markas polisi? Ternyata bukan. Kantor Polisi ada di sebelah kanannya. Ada seorang penjaga. Kami lapor, menunjukkan surat jalan dari Astacala, dan minta ijin untuk menginap di sana. Tanya juga soal prosedur pelaporan pendakian. Tak lupa juga minta ditunjukkan letak kamar mandi. Polisi menjawab semuanya, meminta kami meninggalkan ID Card, mencatat nama kami, lalu menunjukkan letak kamar kecil, serta musholla yang malam itu menjadi hotel buat kami.

Karena lapar, diputuskan untuk makan terlebih dulu. Carrier dititipkan pada pak polisi yang nggak pake seragam itu, yang kemudian menunjukkan arah pasar.

Di pasar orang-orang bicara dalam bahasa yang tak kami mengerti. Kami merasa asing, dan tiba-tiba teingat dengan Sting, ...i'm an alien, i'm a legal alien, i'm en english man in new york... Makan apa kami? Apa ada malam-malam begini yang masih jual makanan? Ternyata ada, Rawon. Penjualnya orang madura. Apakah itu ada rawon madura? Mestinya begitu. Untung penjualnya bisa bahasa indonesia. Kami sepakat bahwa rawonnya enak. (apa karena kami lapar?) Segar rasanya. Murah harganya. Hanya nasinya kurang sedikit lagi.

Sekembalinya ke pos polsek, sudah ada dua orang lagi selain petugas tadi. Polisi jugakah? Mereka nggak pakai seragam. Tampangnya seperti pesuruh saja. Lusuh. Ngobrol sebentar, lalu pamit untuk bersih-bersih dan istirahat. Wah, ternyata kamar mandinya dekat ruang tahanan di halaman belakang yang gelap. Ada tangan terjulur dari balik tirai besi ketika aku lewat di sana. Seorang tahanan minta rokok. Aku diam saja. Kepada yang lain lalu kuingatkan agar jangan ke kiri kalau ingin ke kamar mandi.

Ternyata di musholla banyak sekali nyamuk. Mungkin karena lampunya tidak menyala. Aku sudah coba menghidupkan lampu, tapi bohlamnya mungkin sudah putus. Semula aku hanya berselimutkan sarung. Karena dikerubutin nyamuk, maka sleeping bag kugelar, walau menjadi sedikit gerah.

Wednesday, October 18, 2006

Argopuro 1999 - Bagian 4

Minggu, 29 September 1999

Pagi

Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke stasiun. Untuk menuju ke sana aku harus melewati daerah pasar yang akan semakin ramai di siang hari. Macet. Maklum, itu pasar yang konsumennya bukan Cuma dari Bandung saja, tapi juga dari Jakarta. Maka tanpa sempat sarapan, aku pergi naik angkot ke stasiun.

Tiba di sana, loket belum buka. Bukanya jam 07.00. Aku sarapan lontong sayur + teh anget. Selesai sarapan langsung ikut antri. Dapet urutan kelima. Loket masih lima menit sebelum buka. Ternyata banyak juga yang mau pergi naik kereta Kahuripan. Dapet tiket langsung bayar cash, dan cabut pulang. Sempat mampir ke toko kamera bekas di belakang stasiun. kali aja ada FM2 yang masih bagus. Tapi cuma sebentar. Adanya cuma Minolta SRT 101 seri pertama. Wah, itu buatan tahun 1971. Socket sinkronisasi untuk flashnya sudah karatan, dan body sudah ada penyok. Nggak tertarik. Balik aja ke kosan.

Siang

Yeni dan Elist datang naik becak. Tanya soal tiket, "Mau beli tiket dulu, nggak?" Aku jawab, "Sudah ada. Nih," kataku sambil menunjukkan empat lembar tiket besar berwarna merah. Mereka menyangka aku belum beli dan mau mengantarkan uang kas perjalanan untuk beli tiket.
Ternyata mereka mau ke sekre. "Ada rujakan, kak! Ke sekre nggak?"
"Nanti aku nyusul. Jangan lupa, sehabis maghrib kita berangkat. Nggak ada seremonial lagi. Bikin kita terlambat nanti."

Malam

Berangkat dari sekre pukul 18.30. Kali ini tanpa basa-basi dengan anak-anak lain. Sampai stasiun, keretanya sudah nongkrong di jalur enam. Langsung naik dan cari tempat duduk. Aku di kursi untuk dua orang. Mereka bertiga di kursi panjang kapasitas tiga orang. Jadinya aku terkucil. Untungnya orang di sampingku enak diajak ngobrol (dan baik hati, karena aku berkali-kali dikasih roti). Karena perjalanan masih panjang, aku mencoba tidur setelah makan nasi bungkus. Jaga kondisi.

Monday, October 16, 2006

Argopuro 1999 - Bagian 3

Perjalanan Menuju Argopuro

Sabtu, 28 September 1999

Pagi

Sarapan dengan nasi goreng di kantin. Rasanya nggak enak, hambar. Sepertinya perbandingan antara nasi dan bumbunya tidak proporsional. Tapi karena lapar, kuhabiskan juga. Selesai sarapan, sempat menemani bejat berkebun. Dia sedang menggali lubang ukuran satu meter kali satu meter kali satu meter. Katanya mau tanam duku.... Kebun Astacala memang heterogen. Aku ikut nyangkul, tapi baru sebentar saja sudah basah semua pakaianku dengan peluh. Aku nonton lagi ajah. Ternyata jadi petani itu cuapek ya?


Aku duduk dekat pohon bougenvilee, di pinggir kolam. Sambil menonton bejat yang menjelma menjadi petani. Sambil menunggu kamar mandi kosong dan memenuhi panggilan alam (baca: BAB alias e'o)

Menjelang Siang

Jalani hidup
Tenang, tengang, tenanglah
seperti karang
sebab persolan
bagai gelombang
tenanglah tenang
tenanglah kawan.

Tak pernah malas
Persoalan yang datang
hantam kita
dan kita tak mungkin
untuk menghindar
semuanya
sudah suratan.

Lagu iwan fals itu, seperti biasa mengiringi aku packing. Seperti anak-anak PR lainnya bila sedang packing, mereka akan memutar keras-keras lagu itu. Sengaja aku keraskan volumenya dan packing di tengah-tengah ruangan gedung I. Aku gelar ponco, dan semua barang aku tumpahkan di atasnya. Biar semua orang bangun tidur dan melihatku, lalu iri dengan perjalanan kami. Benar saja, Ewok, Ulil, Balok, Bejat, Kenthung, dll ikut menonton kesibukanku. "Wah, lu bikin gua ngiler, bluk," ujar ulil. "Ini buka di sini aja. nih," seru balok sambil menimang Nata de Coco. Hehe, itu menu spesial yang hanya boleh dibuka di puncak.

Maka aku packing dengan mata awas. Bukan karena khawatir pada pencoleng, melainkan karena ada kebiasaan: hasil packingan kita akan "diberi hadiah" berupa tambahan muatan. Barangnya bisa macam-macam. Pernah ada yang carriernya diberi barbel kecil seberat sekilo! Kadang ada juga piala kecil, atau patung-patungan. Masih untung kalau cuma dikasih batu, bisa dibuang di mana saja. Yang repot kalau dibawakan barang-barang inventaris sekre seperti setrikaan, jam dinding, atau vandel dan piala dari pihak ketiga. Sebab harus dibawa utuh kembali ke Bandung. Meskipun aku cukup yakin, tak ada yang berani ngisengin carriernya senior. Selesai packing, aku mandi lagi.

Sore

Aku tidur di ruang tidur sekre, tapi kemudian ketiga kurcaci dari negri ajaib datang. Mereka tanya, "Berangkat jam berapa?" Ya ampun. Ternyata mereka belum packing. Aku jawab dengan suara keras, "Jam 7 malam kita sudah harus pergi dari sini. Berangkat dari sekre. Jangan lupa bawa seragam, slayer, dan do’a dari ibu bapakmu!" seruku mengingatkan mereka untuk minta ijin pada orangtua. Lalu aku tidur lagi di kursi panjang ruang kerja sekretariat.

Malam

Setelah shalat maghrib dan makan malam, kami berempat berangkat. Di sekre cuma ada pa’e, kebo (yang harusnya lagi gladi, tapi kayaknya bolos) dan bejat (pengangguran kalau malam). Dari sekre kami jalan kaki ke pintu gerbang. Karena nggak ada becak, kami jalan lagi sampai jembatan. Lumayan jauh, sekilo. Malam lumayan terang. Separuh bulan terlambat terbit, dan kami naik dua becak di bawah siraman sinar redupnya. Beriringan dua becak menyusuri Jl. Radio. Di becak depan, ada wied dan elist. Sisanya di becak belakang.

Lima menit berselang, konvoi tiba di Jl. Moh. Toha. Karena carrier sebesar kambing kami letakkan di depan kaki kami, maka buntalan itulah yang harus turun terlebih dulu. Saat tukang becak kami menurunkan carrier itulah, terjadi sesuatu dengan becak yang di depan. Roda belakangnya terangkat tinggi, dan terdengar pekik seruan nyaring dari wied dan elist. Suara gedebuk juga terdengar. Pasti dari carrier yang terhempas ke aspal. Astaga, muatannya terlalu berat rupanya. Ketika tukang becak meninggalkan pos sadelnya, becak langsung nungging. Aku segera lompat meraih bagian belakang becak, berusaha menjaga keseimbangan. Agak jengkel juga aku dengan tukang becak yang tergesa-gesa meninggalkan posnya, tanpa memperhitungkan keseimbangan kendaraan. Tapi sesudahnya: Hahahaha…. Kami tertawa sepanjang jalan menuju stasiun kereta.

Sayangnya, keceriaan sepanjang perjalanan di angkot tidak berlanjut hingga stasiun. Menjelang tiba di stasiun, angkot kami sempat berhenti dekat jembatan. Di atas jembatan itulah kemudian lewat kereta yang berderum keras. Kami sempat bercanda, “Jangan-jangan itu Kahuripan?” Kembali kami semua tertawa membayangkan kemungkinan ketinggalan kereta.

Dan setelah tiba di depan stasiun, kami melongo. Pintu besi menuju ruang utama stasiun sedang ditutup. Loket sudah gelap. Ternyata perjalanan kami harus selesai sampai di situ. Perjalanan batal. Kami ketinggalan kereta. Padahal udah bela-belain keluar kampus tidak jalan kaki seperti biasa, melainkan naik becak…eh, ternyata masih ketinggalan kereta juga. Padahal, kami masih sempat dengar suara lokomotifnya yang menderum berat. Setelah tanya sana tanya sini, maka diketahui bahwa jadwal keretanya on time. Sesuatu yang langka di Indonesia. Juga kenyataan bahwa keretanya penuh. Jadi kuputuskan untuk beli tiket dulu besok pagi. Maunya sih, beli/pesan sekarang. Tapi nggak bisa, sebab loket sudah tutup. Maka kami balik kanan. Tapi aku nggak mau pulang ke sekeretariat: malu. Aku langsung saja ke kos-kosan.

Di kosan aku sendirian. Makan mie dokdok, nulis, terus tidur di kamar belakang (kamarnya almarhum joko).

Argopuro 1999 - Bagian 2

Persiapan Menuju Argopuro

Jum'at, 27 September 1999

Pagi

Inventarisir barang-barang yang akan dibawa. Aku sempatkan mengasah tramontina. Membersihkan Trangia (rantang buatan singapura). Mencari pinjaman Victorinox pada Germo. Memilih kompas dan protaktor. Menyiapkan carrier Rhino milik ewok. Memeriksa dan menjemur tenda, fly sheet, dan sleeping bag, serta mencari sepatu yang cukup nyaman. Di gudang ada banyak sepatu, tapi kebanyakan sepatu tentara. Wueks....

Tapi karena nggak ada pilihan, terpaksa dipake juga. Itung-itung kembali ke jaman susah. Untungnya kaki ini sudah cukup terbiasa dengan ceko. Bahkan dulu kuliahpun aku pakai sepatu berat ini. Maka kusemir saja sepasang yang masih bagus dan bias aku pakai dulu.

Siang

Aku pergi ke kota (begitulah kami di Dayeuh Kolot menyebut Bandung). Peta pesananku sudah dicetak. Aku memilih peta versi US - AMS ( US Army Map Service) skala 1:50.000 dengan harga Rp 4.000 per lembar, meskipun Direktorat Geologi punya versi sendiri dengan skala 1:25.000. Untuk peta Klakah, aku cuma pesan satu lembar. Tapi aku juga pesan gunung Arjuno dan Cicurug (Gunung Salak). Rencananya peta itu akan aku fotokopi. Kebetulan di belakang Geologi (jalan Suci) ada kios fotokopi yang besar.

Ternyata setelah ditanya, peta sebesar itu kalau difotokopi akan memerlukan biaya sebesar Rp 3.500. Tau gitu 'kan aku pesan di geologi aja, cuma selisih 500 perak. Dengan sedikit dongkol aku membayar Rp 14.000 untuk empat lembar fotokopian peta. Pas, sesuai dengan jumlah personel yang berangkat. Kalau mau pesan lagi, jadinya besok, sebab hari sudah siang, dan bapak yang ngurusin peta kayaknya lagi males.

Sore

Selesai fotokopi, aku nggak langsung pulang ke sekretariat. Mampir sebentar di pasar Jatayu untuk beli kaos kaki, beli ponco, serta melihat-lihat kompas bekas. Ada beberapa kompas "England" eks TNI AD yang menarik perhatian. Satuannya bukan mil, tapi derajat. Umurnya baru dua tahun, dan kondisinya masih gres. Aku tawar Rp 125.000, tapi nggak dikasih. Ditawari kompas dangdut limapuluh ribu perak (yang jarumnya nggak bisa diem sebelum subuh datang) tapi aku cuma ketawa aja. Lagipula, aku sudah punya England satu. Kalau dikasih, aku mau beli buat inventaris sekre. Sempat lihat pisau yang bentuknya aneh. Kata yang jual, itu kukri, pisau tradisional suku gurkha. Wah, kapan tentara inggris asal gurkha kehabisan bekal, hingga harus jual barang ke pasar loak ini? Aku nggak tanya, karena takut dituduh mau beli. Pisau begituan buat apa? mending dibeliin Tramontina.

Sampai di sekretariat, ternyata mereka yang belanja sudah pulang dengan barang-barang belanjaannya. Tinggal dibagi dan didistribusikan saja. Mereka nggak beli nutrisari, tapi belinya merk murahan. Juga nggak ada coca-cola. Lalu aku makan siang sama ewok dan oji di kantin. Oji sepertinya kecewa karena nggak boleh ikut. Tapi ewok menegaskan, bahwa semua anggota aktif sedang dibutuhkan tenaganya oleh sekretariat.

Malam

Sempat berunding sebentar dengan tim inti. Diputuskan untuk beli tiket di stasiun saja, menjelang keberangkatan. Nggak perlu pesan-pesan segala. Kereta kencana yang dipilih adalah Kahuripan. Harga tiketnya seharga lima gelas jus alpukat...murah banget. Udah kebayang deh, fasilitas dan kenyamanannya seperti apa.

Kemudian aku mengumpulkan data-data Argopuro. Kebanyakan dari laporan perjalanan sebelumnya. Juga dari fotokopian laporan oknum W (baca: Wanadri). Cukup banyak juga datanya. Tapi karena laporan mereka kurang baik secara struktur kronologis, maka aku berinisiatif untuk melakukan wawancara dengn kuya dan bejat.

Interview with vampire ini berlangsung di kantin, sambil makan ayam goreng bumbu pecelnya bulik dan kopi pahit tanpa gula (biar awet, nggak cepat habis). Bejat menjawab pertanyaan sambil mengangkat kaki dan menghisap dalam-dalam asap djarum coklatnya, sementara kuya sambil mengaduk air jeruk dan mengibas -ngibaskan tangan kirinya, mengusir sergapan asap dari mulut goanya bejat. Hasilnya seperti ini:

Laporan Perjalanan Astacala ke Argopuro (versi kuya dan bejat)

Jalur Baderan:

Probolinggo
|
naik bis jurusan banyuwangi / bondowoso 4 jam
|
Besuki
Ke kantor Polisi, Lapor, dan minta ijin menginap di musholla
|
1 - 1,5 jam naik angkot dari pasar khewan
|
Pos Jagawana (Warung Pak Bachri, Baderan)
|
Kebun dan Ladang Penduduk 2 jam
|
Batas hutan dan ladang (HM 20)
|
Hutan 1,5 jam
|
Mata Air 1 (HM 43)
|
Hutan 2,5 jam
|
Mata Air 2, Cemoro Lawang (HM 67)
Airnya sedikit. Kadang jadi sungai kering
|
Hutan cemara, pinggir jurang 1 jam
|
Alum-alun kecil (HM 98)
|
Savana 1 jam
|
Alun-alun besar, Sikasur (HM 168)
“Seperti di film The Legend of The Fall,” kata bejat, “Marlboro country.
Jangan buru-buru di sini. Ambil waktu dan foto sebanyak-banyaknya!”
Di sungai kolbu, banyak selada air.
“Surganya pendaki,” kata kuya
|
Savana dan ladang edelweis 3 jam
|
Cisentor (atau sisentor?)
Airnya deras, Mau mandi juga bisa.
|
2 jam
|
Rawa Embik
|
1 jam
|
Puncak Rengganis
Hawanya mistis
“Boleh juga nyajen, biar enteng jodoh,” lupa siapa yang ngomong gitu
|
1 jam
|
(Cisentor)
|
3 jam
|
Aing kenek
|
3 jam
|
Taman Kering
|
2 jam
|
Taman Hidup
“Jangan rame, nanti kabutnya turun,” kata kuya
|
2 jam
|
Bremi, Krucil

Apakah data itu valid ?

Entahlah. Aku tidak recheck ke laporan cetak. Yang saat itu terpikirkan adalah angkutan menuju desa terakhir dan dari desa terakhir. Biasanya itulah yang bermasalah, bukan perjalanan di gunungnya. Lagipula waktunya mepet. Seharusnya tim inti yang sudah punya rencana sejak jauh hari, sudah punya inisiatif mengumpulkan data dan membuat prediksi waktu dengan ploting proyeksi garis kontur ke bidang sampingnya. Sehingga bisa terbaca jalur beserta kemiringan medan dan perkiraan waktu tempuhnya. Tapi ternyata peta pun mereka belum pesan. Mungkin itulah perlunya pendamping perjalanan bagi AM (Anggota Muda): supaya bisa mengevaluasi kesalahan-kesalahan mereka (baca: membego-begokan junior...)

Setelah mendapat data-data, aku serahkan keputusan perencanaan perjalanan kepada Trio Detektif dari Bojong Soang, Dayeuh Kolot. Lalu ketiganya, berdasarkan data di atas, menyusun rencana perjalanan sbb:

Malam ke-1 : Di kereta
Malam ke-2 : Di Besuki
Malam ke-3 : Camp I : Batas hutan dan ladang (HM 20)
Malam ke-4 : Camp II : Mata Air 2, Cemoro Lawang (HM 67)
Malam ke-5 : Camp III : Alun-alun besar, Sikasur (HM 168)
Malam ke-6 : Camp IV : Cisentor (atau sisentor?)
Malam ke-7 : Camp V : Cisentor (sebelum turun)
Malam ke-8 : Camp VI : Taman Hidup
Malam ke-9 : Di Bremi
Malam ke-10: Di kereta
Malam ke-11: Tidur di sekre / kosan

Apa rencana ini bisa terlaksana? Nggak tau. Yang penting kerja mereka sudah sesuai dengan SOP. Tanpa rencana sesuai SOP, mereka akan dibantai di sidang anggota muda nantinya. Dan kalau mereka dibantai, pasti senior pendampingnya akan kena tegur juga! Cilaka tigabelas kalau begitu.

Argopuro 1999 - Bagian 1

Persiapan Menuju Argopuro
Kamis, 26 September 1999

Aku baru saja tiba dari Malang, ketika pa'e (Pak Ewok) menantangku, "Berani ke Argopuro, Bluk?" yang langsung kujawab "Siapa takut!"
Aku spontan saja menjawab, tapi aku agak kaget juga, sebab ternyata yang berangkat adalah angkatan TB. Semua belum pernah ke Argopuro, termasuk aku.

Setelah ada kepastian jumlah personil dan waktu keberangkatan, aku mulai menghitung kekuatan pasukan. Tim inti hanya terdiri dari tiga orang angkatan TB. Cewek semuanya (wah) : Wied, Yeni, dan Elist. Ketiganya cakep-cakep, tapi mudah-mudahan otaknya juga cakep. Aku yang berasal dari angkatan PR, terpilih sebagai pendamping. Maka jumlah personil yang berangkat menjadi empat orang. Kenthung bilang, " Kebluk , Loe jadi raja minyak, ya? Yang tiga ini dayang-sayang atau selir?" Weeks. Anak TB lainnya (semua ada 12 orang) ke mana ya?

Lalu aku mendatangi mereka yang sedang berdiskusi di teras belakang dekat kebun Astacala. Lokasi ini memang ideal untuk rapat: asri, segar, angin sepoi-sepoi, dan terutama dekat dengan kantin. Kalau butuh jus alpukat atau batagor, tinggal pesan aja sama pelayan kantin yang sedang mondar-mandir ngambilin piring/gelas di gedung I ini.

Ternyata mereka sudah punya daftar panjang logistik yang akan dibeli (pake list standar Astacala atau bikin ndiri tuh?). Aku baca-baca sebentar sebelum mengajukan usul agar beberapa item ditambahkan ke dalam daftar. Termasuk tuna pedas kalengan dari Ayam Brand. Belanjanya besok. Aku nggak mau ikut belanja. Tau beres aja. Lagipula aku mau ke Geologi (dulu bernama Direktorat Geologi, sekarang Badan Geologi, Departemen ESDM, di Jl. Diponegoro), mengambil peta Klakah yang kemarin sudah dipesan.

Aku sempat membaca sorot mata keraguan di mata charlie's angel ini (atau three stooges?) Kuanggap wajar saja, sebab aku kenal mereka baru beberapa hari saja. Aku kan nggak ikut ke lapangan sewaktu mereka menjalani Pendas (Pendidikan Dasar Astacala). Selama setahun keberadaan mereka di A, aku belum pernah pulang ke Bandung dan bertemu mereka. Dan sekarang aku harus jadi pengiring dari perjalanan wajib mereka. Apa mereka menolak keberadaanku? Sebodo amat. Senior punya kuasa. Badan Diklat sudah memutuskan kalau mereka tak bisa ditemani anggota aktif lainnya yang tenaganya sedang dibutuhkan sekre. Hanya aku saja Jendral yang sedang punya waktu luang. Hehehe...

Thursday, October 12, 2006

Hasrat

Aku hanya ingin tiba di titik senyap
yang membuatmu utuh dalam gerak.
Aku pun hanya ingin sampai di tengah sunyi
hingga sapamu larut menjernih hati.

Di lembar malam tanpa lampu, aku
masih mencari binar matamu.
Di langkah senja tanpa bunyi, aku
tetap berharap kau menemani.

Kalau suatu saat aku putuskan untuk berangkat,
mendaki puncak gunung tinggi,
menembus belantara hutan lebat,
atau menelusuri pantai sepi,
maka, aku hanya sedang mencoba menemukan sesuatu
yang mampu menghadirkan ingatan kepadamu
dan bisa kujadikan alasan
rindu.

2003