Monday, April 30, 2007

WEB BLIND

A
da beberapa teman yang bertanya, kenapa blog ini tidak diupdate lagi sejak posting terakhir (tanggal 2 April 2007). Memang benar, saya lama tidak buka blog ini, apalagi update posting baru. Sebab sejak tanggal 3 April saya tidak berada dalam posisi yang mudah untuk mengakses internet. Selama dua minggu, saya ada di pelosok kabupaten Nagan Raya, propinsi Nangro Aceh Darussalam (bukan buat panen ganja lho!), yang jangankan untuk memperoleh akses internet, sinyal telpon selular saja "senin - kemis". Maka selama itu pula, saya seperti orang yang ketinggalan jaman, tak tahu kabar berita di dunia ini. Ini saya jalani, karena saya memang masih menjadi orang gajian yang harus siap disuruh pergi bertugas ke ujung dunia sekalipun. Selesai dari Nagan Raya, saya pergi lagi ke kota Sabang, Pulau Weh, samapi tanggal 27 April. Barulah di Sabang ini saya bisa mendapat akses internet. Tapi itupun terbatas, sebab di biro Sabang, kantornya tak punya akses internet yang tetap. Maka internet hanya bisa dimasuki dengan menggunakan fasilitas telkomnet instan (yang line telponnya hanya satu) atau lewat jalur GPRS dengan memanfaatkan ponsel saya sebagai modem (yang ternyata menguras habis pulsa ponsel saya).

Selama dua minggu mengalami "web blind" (hidup tanpa akses internet), saya hanya bisa mendapat informasi melalui televisi yang salurannya juga terbatas. Bahkan kalau cuaca buruk, televisi sama sekali tak menampilkan gambar apa-apa! Hari-hari saya lalui dengan "aneh". Ini karena biasanya, saya browsing di internet minimal dua jam sehari. Mulai dari baca berita, baca email, chatting, dan tentu saja blogwalking. Karena tak ada akses internet, maka waktu senggang saya gunakan untuk membaca buku (hobi utama saya). Sayangnya, untuk perjalanan kali ini, saya hanya menyiapkan membaca dua buku, yaitu Lord of The Ring serta Kisah 47 Ronin. Dua buku itu saya lahap dengan rakus, karena memang banyak waktu luang dan sedikit sarana hiburan lainnya. Akibatnya, dalam beberapa hari saja, buku itu sudah selesai terbaca. Lalu hari-hari selanjutnya saya lalui dengan resiko kejenuhan yang sangat besar: Tantangan kerja tak lagi menarik untuk dihadapi; informasi dunia luar tertutup sama sekali; dan hubungan telpon dengan dunia luar terputus tanpa ampun.

Nah, pernakah Anda mengalami kebutaan informasi dalam jangka waktu panjang, lebih dari dua minggu? Kalau hanya tiga atau empat hari, saya juga sering mengalami, karena setiap pergi ke gunung, saya tak mungkin bawa laptop (bukan karena apa-apa, melainkan karena nggak punya laptop). Tapi itupun tidak benar-benar tertutup, karena biasanya handphone saya masih bisa dipakai, meski di lokasi tertentu saja semacam puncak gunung atau di desa di kaki gunung. Paling-paling hambatannya hanya low bat HP saja. Ternyata hal yang demikian membuat saya terkejut juga pada awalnya. Bingung karena tak bisa menghubungi keluarga (terutama isteri tercinta, hehehe) baik lewat HP maupun lewat internet. Meskipun lama kelamaan terbiasa juga (hitung-hitung memupuk rasa rindu).

Lalu saya coba merenungkan soal ketersediaan informasi dan kaitannya dengan kebahagian hidup ini. Apakah akses informasi yang terbatas bisa membuat manusia menjadi tidak bahagia? Apakah orang yang kaya akan akses informasi akan lebih bahagia dibandingkan orang yang tak punya akses informasi apapun?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya mencoba mengenali lagi para orang tua saya, yaitu bapak, ibu, serta kakek-kakek dan nenek-nenek saya. Mereka sama sekali tak pernah mengakses internet (bahkan samapi sekarang). Orangtua saya juga hanya memakai ponsel sewaktu-waktu saja, itupun pinjaman dari anak-anaknya yang kadang dipakai untuk menghubungi famili lainnya. Apa lantas mereka mengalami kebingungan seperti saya? Rasa-rasanya sih tidak. Meski tanpa internet dan ponsel, mereka tetap terlihat bahagia. Memang mereka tetap butuh sarana komunikasi untuk saling berkirim kabar, dan itu biasanya dilakukan menggunakan surat (atau telegram kalau ada kabar penting dan mendesak) dan sebelum rumah kami dipasang telpon, sempat juga meminjam telpon tetangga untuk menerima kabar penting dari kampung, tapi itu benar-benar untuk kondisi darurat. Selebihnya, mereka tak menggunakan telpon, apalagi internet.

Lalu, kalau orang-orang tua kita bisa hidup nyaman dan bahagia tanpa internet atau ponsel, kenapa saya tidak bisa? Kenapa saya merasa bingung dan nggak tau mesti berbuat apa ketika akses informasi sama sekali terhenti? Barangkali karena kita (atau hanya saya saja?) memang manja. Terbiasa dibuai oleh melimpahnya fasilitas akses informasi tanpa batas, sehingga lupa bahwa kita tetap manusia yang saat dilahirkan dari rahim ibu, adalah manusia telanjang tanpa bekal fasilitas apa-apa. Kelupaan ini membuat kita menuntut ketersediaan fasilitas yang biasa kita nikmati, dan ketiadaan fasilitas tersebut membuat kita merasa tidak nyaman. Bukan saja tidak nyaman, bagi sebagian orang, ini membuat mereka tak bisa bekerja, bahkan merasa tersiksa.

Saya memang tak merasa tersiksa tanpa adanya sinyal ponsel dan sambungan internet, tapi saya memang sempat merasa "gamang". Tak tahu harus berbuat apa. Nonton televisi membosankan, baca buku sudah khatam, tidur-tiduran juga bikin badan terasa nggak enak. Untunglah hobi-hobi lain semacam jalan-jalan masih bisa saya lakukan. Maka alternatif itulah yang menjadi pilihan. Ini membuat ketergantungan saya sedikit terlupakan.

Tapi saya masih tak bisa menghitung, seberapa besar ketergantungan kita terhadap ketersediaan akses komunikasi dan informasi ini serta apakah ketergantungan ini tergantikan? Parameter ini pasti tak sama untuk setiap orang, apalagi dalam hal ketersediaan akses internet. Buat saya, jelas ketergantungan ini bisa digantikan, karena akses internet memang bukan kebutuhan primer buat saya. Tapi bagi sebagian orang, internet sudah seperti makanan yang harus ada setiap hari. Kalau ini yang terjadi, maka kita harus mempertanyakan lagi, untuk apakah teknologi dikreasi oleh manusia? Seharusnya, teknologi dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran, dan meningkatnya kualitas kehidupan manusia. Kalau ketiadaan taknologi membuat seorang manusia tak bisa "hidup", tentu saja ada yang salah dalam hidup orang tersebut.

Allahu'alam.

Monday, April 02, 2007

sampah


Ini terjadi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Teman-teman dari salah satu organisasi Pecinta Alam bermaksud mendaki gunung Semeru. Di awal perjalanan, petugas dari PHPA (Perlindungan Hutan Pelestarian Alam) di pos Jagawana sudah mengingatkan agar menjaga kebersihan di dalam kawasan Taman Nasional. Selesai dengar formalitas urusan administrasi, rombongan pun memulai perjalanan.

Sepanjang perjalanan selalu ditemui papan petunjuk arah yang disertai dengan peringatan untuk menjaga kebersihan. Bentuknya bermacam-macam, ada yang terbuat dari seng, ada juga yang berupa papan kayu. Uniknya, ada beberapa papan peringatan atau papan petunjuk jalan yang dibuat oleh organisasi-organisasi di luar instansi Departemen Kehutanan. Ini ditandai dengan label nama dari organisasi yang besangkutan. Misalnya saja seperti ini:

Iya, jadi peringatannya kecil saja, sedangkan identitasnya besar. Entah apa maksudnya. Ada juga papan-papan petunjuk yang mungkin maksudnya membantu, tapi terkadang malah bikin frustasi semacam ini:


Papan petunjuk itu memang membantu, tapi sebatas menunjukkan arah saja. Sedangkan tulisan 20 km-nya membuat yang membaca jadi agak frustasi. "Wah, 20 km!? Jauh amat sih, perasaan jalan udah jauh," biasanya seperti itu gerutuan yang keluar.

Perjalanan lancar saja. Semua berhasil menjejakkan kaki di puncak Semeru. Tak lupa, sesuai petunjuk dan himbauan, semua sampah dibawa, tidak ditinggalkan, apalagi dibuang di sembarang tempat. Ketika tiba Ranu Kumbolo, rombongan membuka tenda dekat dengan pondok yang ada di sana. Tak jauh dari situ, ada sebuah bak sampah yang terbuat dari tembok bata. Cukup besar ukurannya, dan tampak sedang digunakan untuk membakar sampah di sana.

Karena sampah yang dibawa rombongan cukup banyak, kurang lebih satu karung yang dibawa menggunakan trashbag besar ukuran 50 cm x 100 cm, maka rombongan memutuskan untuk membakar saja sampah-sampah itu di sana. Maksudnya supaya praktis saja, toh mereka tidak mengotori Taman Nasional. Lagi pula, tempat sampah besar itu tampaknya disediakan oleh pihak Taman Nasional. Selesai? Ternyata tidak. Saat tiba kembali di pos jagawana, petugas menanyakan sampah-sampah milik rombongan. "Lho, sudah dibakar, Pak. Di Bak sampah besar yang ada di Ranu Kumbolo," jawab seorang anggota rombongan.
"Tidak ada tempat sampah di sana," jawab petugas.
"Ada pak. Kami tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan di sepanjang jalan pun, kami memungut sampah yang berserakan. Memang tidak kami bawa ke sini, karena di Ranu Kumbolo sudah ada bak sampah yang bisa dipakai. "
Tapi petugas tak percaya. Dia tetap menganggap bahwa rombongan meninggalkan sampah-sampah di atas gunung, dan tidak mengikuti anjuran agar sampah tidak dibuang sembarangan. Dia bahkan mengancam rombongan untuk dipaksa kembali naik ke atas gunung dan membawa turun sampah-sampah yang ditinggalkan.

Setelah berunding sebentar, rombongan memutuskan untuk mengumpulkan sampah-sampah yang ada di sekitar pos jagawana. Juga botol-botol air mineral yang ada di dalam ransel, dikeluarkan. Isinya diminum, glegek-glegek, lalu botolnya dikumpulkan dalam trashbag. Lima menit kemudian, trashbag itu terlihat menggembung. Lalu diserahkan kepada petugas. Selamat? Iya, ternyata itu bisa dilakukan, walaupun petugas juga tahu bahwa sampah-sampah tadi adalah hasil pengumpulan di sekitar pos. Dan petugaspun tidak lagi galak seperti sebelumnya, dia sepertinya merasa sudah menjalankan tugasnya dengan baik: meminta sampah pada rombongan pendaki yang turun. Setelah sampah sudah diterima (dari mana pun asalnya) maka habislah perkara, para pendaki akan dipersilahkan lewat.

Itu tadi kasus di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Berbeda lagi kalau kita pergi ke tempat fasilitas umum, terlebih obyek wisata semacam Kebun Binatang atau Taman Hiburan seperti Taman Mini Indonesia Indah maupun Taman Impian Jaya Ancol. Di tempat seperti itu, selalu ditemui anjuran untuk memelihara atau menjaga kebersihan. Peringatan berupa gambar tempel atau tulisan di atas papan berisi himbauan "Jagalah Kebersihan" atau "Buanglah Sampah Pada Tempatnya" akan sering kita jumpai, berdampingan dengan bak atau tempat sampah.

Namun berdasarkan pengalaman, jika kita tak menindahkan anjuran atau himbauan itu, tidak akan ada sanksi hukum, meskipun (di wilayah DKI Jakarta) undang-undang yang mengatur soal membuang sampah sudah ada. Dan ancaman bagi pelanggar Perda no. 1 Tahun 2005 itu cukup menyeramkan, karena bisa dihukum kurungan maksimal empat bulan penjara, atau denda hingga 50 juta rupiah. Tapi jarang sekali sanksi itu ditegakkan. Paling-paling kalau Anda membuang sampah sembarangan, hanya akan ada orang yang memandang sinis, atau memungut sampah yang Anda buang tadi untuk diletakkan di tempat sampah.

Satu pertanyaan terselip, "Apakah interaksi orang Indonesia dengan peraturan hanya sebatas pada tahap pembuatannya saja, dan tidak sampai pada implementasi penegakkan aturan tersebut?" Postingan ini tidak bermaksud menunjuk pihak mana yang kurang disiplin. Ini hanya renungan saja. Mungkin perlu perumusan peraturan yang lebih baik dan sesuai dengan karakteristik orang Indonesia sendiri.