Wednesday, May 11, 2011

Astacala

Tak mau diatur. Barangkali itulah alasan beberapa mahasiswa STTTelkom angatan 1991 kemudian berkumpul dan membentuk organisasi sendiri dan bukannya bergabung dengan organisasi UKM bentukan petinggi kampus. Apalagi UKM-UKM yang ditawarkan tersebut belum ada yang mampu menampung hobi dan kesenangan beberapa mahasiswanya. Salah satunya adalah hobi dan kesenangan berkegiatan di alam terbuka.

Menempuh pendidikan di sekolah yang tak punya kakak kelas memang terasa aneh. Hal-hal yang harusnya bisa dipelajari atau diikuti dari kakak kelas tidaklah terjadi. Bukan saja dalam urusan kuliah seperti mencari referensi materi, ataupun tata tertib dan tradisi praktikum yang belum ada, tapi bahkan gaya hidup dan perilaku di kampus tak ada contohnya. Semua dari titik nol. Demikian juga kehidupan organisasi mahasiswa.

Pihak kampus, dalam hal ini pihak Puket III bidang kemahasiswaan, memang menawarkan beberapa UKM di bidang olah raga maupun kesenian. Tapi tidak ada UKM yang sifatnya bermain di dunia kepecintaalaman. Mahasiswa baru yang menyukai kegiatan alam terbuka, baik yang sejak masa SLTA sudah menyukainya, maupun yang baru belajar menyukainya, merasakan kebutuhan untuk berkumpul dan berorganisasi. Alasannya sederhana saja, dengan berkumpul kekuatan akan bertambah. Bisa saja kita pergi naik gunung sendiri, tapi kalau ada temannya, apalagi dalam jumlah banyak, maka banyak keuntungan yang bisa didapat. Meminjam barang, misalnya, atau ongkos sewa kendaraan yang bisa ditekan.

Maka ketika ide untuk duduk bersama dan berkumpul itu muncul dari saudara Yadi Supriadi, cukup banyak yang tertarik. Saya tak ingat jumlah persis hadirin saat itu, tapi dari kelas saya saja jumlahnya sudah belasan. Ide yang diusung: bikin organisasi pecinta alam. Itu saja. Bagaimana organisasi ini ke depannya, itu urusan nanti, yang penting ada wadah untuk menyatukan mahasiswa yang menyukai kegiatan alam terbuka.


Ada yang bertanya soal mimpi yang berseliweran? Saat itu tak banyak yang mau mengungkapkan mimpi-mimpi mereka tentang organisasi yang kemudian benama Astacala ini. Karena para Perintis Astacala memang orang-orang sederhana, sangat bersahaja (tapi kok narsis gini, ya? :p ).

Maka mimpipun tak begitu saja mencuat tinggi ke angkasa. Barangkali memang ada mimpi yang melambung tinggi, tapi tak terungkap saat itu. Bukankah berkumpul bersama orang-orang sehobi di tengah suasana kampus yang gersang, kemudian berkenalan, membentuk kepengurusan organisasi dari orang-orang yang baru dikenal beberapa jam saja, merundingkan nama, logo, AD/ART, dan lain sebagainya, itu sudah seperti mimpi yang terwujud? Kalaupun harus menyebut mimpi, kita ingin Astacala tumbuh besar, lebih besar dari organisasi maupun perkumpulan pecinta alam yang namanya sudah lama terdengar.

Namun soal mimpi ini, saya kira dia memliki kaki sendiri. Setelah Astacala bisa berdiri, punya "pakaian", maka mimpipun berjalan. Awalnya pasti sederhana, misalnya punya peralatan mendaki gunung yang meskipun dibeli dengan uang pribadi, tapi anggota lain boleh memakainya. Atau mimpi punya sepatu gunung, punya ransel, punya kernmantel dan carabinner, dan mimpi-mimpi sederhana lain yang terus berjalan seiring waktu. Tapi saya tak pernah lupa ide awal pendirian Astacala, yaitu sebagai wadah untuk mahasiswa yang senang berkegiatan di alam terbuka. Maka Astacala adalah juga organisasi pertama di lingkungan kampus STTTelkom yang inisiatif pendiriannya datang dari mahasiswa sendiri, bukan bentukan dari kampus. Kalau ditanya, kenapa tidak ikut saja di UKM yang sudah ada? Barangkali jawabnya karena anggota Astacala tak mau diatur kampus, selain karena kebutuhan berorganisasi yang belum tertampung tadi. Kalau mau sedikit arogan, anggota Astacala hanya mau diatur alam! Bukan diatur orang lain, apalagi diatur lingkungan sekecil kampus STT Telkom.