Friday, June 15, 2007

pesanmu



Awan menarikan hatimu,
saling melambai putih di pelataran luas langit biru.
:Secarik pesan dari sudut sepi ruangmu.

Menguji lintasan lain untuk pulang
tapi kutemukan lagi sejuk tatapmu.
Sementara jarak makin samar menyusun keyakinan.

Adakah Kau panggil aku dalam sayup
menyisipkan petunjuk di sela lipatan waktu.
Seperti tak tega melepas kepergian.
Seperti menyampaikan pesan yang sama di hadapan:
Betapa tak berarti pencarian ini.
Betapa upaya menjauh darimu
hanya kesia-siaan bersahut sepi.

Tuesday, June 05, 2007

Peluru yang Tersemat di Dada

S
elesai membaca buku Band of Brothers (versi terjemahan Bahasa Indonesia), saya tergoda untuk menonton lagi film dengan judul yang sama tentang Easy Company tersebut.

Di film yang pernah diputar sebagai serial di jaringan televisi HBO itu ada satu episode ketika Lettu Winter, pimpinan komandan salah satu peleton dari Kompi E (Easy Company), tertembak betisnya. Peluru memang tidak datang langsung, melainkan pantulan dari tanah setelah seorang sniper Jerman mengincarnya di jalanan pedesaan Perancis yang berdebu di musim panas. Lalu malam harinya, operasi kecil dilakukan untuk mencungkil serpihan timah itu.

Episode itu biasa saja. Tak lebih istimewa dibandingkan episode lainnya. Namun operasi kecil itu membuat saya tercenung. Bukan karena ketegaran Lettu Winter menahan pedih atau kepiawaian tentara medis yang mampu bekerja dalam kondisi terbatas, melainkan karena saya tiba-tiba teringat dengan Choirul Anwar bin Sutrisno.

Umurnya 3 tahun, dan apa yang Anda bayangkan untuk bisa diderita ketika Anda berusia 3 tahun? Sakit cacar air? Atau mungkin demam berdarah? Atau patah kaki setelah jatuh karena tak mengindahkan larangan ortu untuk tidak manjat-manjat lemari buku? Atau kepala yang bocor terkena batu yang kita lempar sendiri ke langit dengan harapan batu itu akan berubah menjadi burung yang terbang tinggi? Mungkin banyak kejadian yang bisa dialami oleh bocah di usia itu. Tapi mungkin Anda tak pernah membayangkan bahwa saat berumur 3 tahun, Anda akan memiliki sebutir peluru di dalam tubuh Anda. Iya, sebutir peluru dari timah, yang saat ditembakkan akan sedikit lumer karena panas hingga bisa menembus lapisan kulit dan jaringan, bahkan membuat remuk tulang Anda. Peluru itu didapatkannya saat ia berada dalam pelukan ibunya yang telah tewas tertembak bersama beberapa warga desa Alas Tlogo, Pasuruan, pada tanggal 30 Mei 2007.

Choirul, seperti juga saya atau Anda saat usia seperti itu, mungkin sering bermain perang-perangan, atau dokter-dokteran dengan teman sebayanya. Tapi, entah apa salah bocah yang tampak kurus dan kurang gizi itu, sehingga harus merasakan sendiri peluru yang bahkan tentara pun tak semua pernah merasakannya, meski sudah berulang kali maju ke medan perang. Apa yang menari dalam pikiran dan angannya ketika ia harus berbaring sebagai pasien sungguhan dan harus diperiksa dokter sungguhan pula, bukan lagi main dokter-dokteran seperti kebiasaan kita di masa kecil. Maka ketika anak-anak lain seusianya sedang asyik menonton SpongeBob & SquarePant atau Sesame Street, dia harus menyaksikan darah segar muncrat dari tubuhnya. Bahkan ibunya pun tewas tersambar peluru, ketika ibu-ibu lainnya mungkin sedang menemani anak-anak mereka ke playgroups, atau menemani menonton film tentang dunia tumbuhan atau dunia ikan air tawar dengan DVD player dan home theater.

Coirul, meski mengerang kesakitan, memang belum menemui ajalnya. Tapi siapa yang tega mengatakan padanya bahwa ibunya sudah tak bisa lagi mengajaknya ke pasar, atau membawanya saat panen jagung yang karena kondisi tanah di Alas Tlogo hanya bisa ditanan setiap Januari samapi April sebelum digantikan singkong dan ubi jalar. Siapa dokter yang akan tega merobek dadanya yang tipis dengan pisau bedah lalu mencungkil sisa proyektil yang tertinggal di sana.

Barangkali jalan hidup kita tak bisa sama satu sama lain, tapi tentu saja Lettu Winter tertembak di Medan Perang Dunia II setelah ia memilih untuk berada di sana. Setelah menyiapkan bekal berupa mental dan fisik yang terbina sejak ia mendaftar sebagai personil pasukan terjun payung yang gagah perwira. Winter tentu tak ingin tertembak, tapi ia telah secara sadar dan sengaja memilih karir sebagai tentara yang salah satu resikonya memang tertembak. Sedangkan Choirul? Dia bahkan belum tahu cita-cita selain sebagai insinyur pertanian, atau dokter, atau presiden, atau menteri, atau bahkan tentara yang penampilannya gagah perkasa. Tapi jelas, dia tidak pernah sengaja untuk berada dalam kondisi yang punya resiko tertembak. Memang jalan hidup tak sepenuhnya ada di telapak tangan kita, tapi setiap pilihan punya resiko. Masalahnya, Choirul bahkan belum memilih. Bahkan dia belum sadar bahwa dalam hidupnya kelak, dia harus menentukan pilihan-pilihan. Lalu, apa rencana Tuhan terhadap dirinya?

Menggugat Tuhan memang pilihan yang berat, tapi kalau pilihan lain berarti berhadapan dengan barisan tentara berpeluru tajam atau teror yang harus dirasakan seumur hidup, maka pilihan menggugat Tuhan akan terasa ringan. Dan kebanyakan rakyat Indonesia, yang tak pernah memilih atau meminta menjadi rakyat indonesia saat lahirnya, memang hanya punya satu pilihan: mengadu pada Tuhan, saat pihak pengayom dan pelindung ternyata menjelma jadi ancaman mengerikan.

Lettu Winter hanya mengerang sedikit sambil mengumpat sniper Jerman saat tanah di depannya mengepulkan debu sebelum kakinya terkena pantulan peluru yang menyelinap di sela daging betisnya. Maka adakah yang akan mengerang untuk choirul atau membujuknya untuk diam dan menahan sakit tubuhnya? Peluru itu hingga hari ini belum diakeluarkan. Dan mungkin saja akan dibiarkan tertinggal di sana, selama tak mengganggu organ penting seperti jantung atau paru-paru. Namun tak ada yang bisa menjamin bahwa peluru itu tak akan meletus atau meledak lagi, karena selain peluru itu, mungkin ada hal lain yang tersemat di dadanya. Sesuatu yang mungkin sudah tertanam dalam banyak dada rakyat Indonesia lainnya. Dendam pada ketidakadilan, barangkali, tapi mungkin juga kepasrahan.

Allahu'alam.

Monday, June 04, 2007

Di Hulu Cimahi

Sungai ini
mengalirkan semacam tanya
untukmu: Adakah ia akan tiba
di muara, yang berbatas lautan luas
di hatimu.

Sungai ini
menyampaikan semacam rindu
buatmu: Adakah Kau sadari deras alirannya
yang bergegas, saat menatap genangan telaga
pada jernih matamu itu.

Sungai ini
menghanyutkan semacam ragu
karenamu: Adakah harus ia ingkari
ketika pencariannya selalu kembali
ke laut biru, pantulan langit tinggi
di hatimu.

catatan:
Cimahi adalah sebuah sungai yang ada di sebelah barat gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat