Wednesday, March 26, 2008

Dunianya Orang Pengecut

Udah liat ini ? Hihihi... lucu banget deh, tu orang...

Masa dia bilang, "Internet itu dunianya orang pengecut." Lah....

Tapi ada untungnya juga dunia ini ada orang kayak gitu. Soalnya kita jadi punya bahan buat tertawa, dan tertawa itu sehat. Yang tidak sehat itu kalau arogan, menganggap rendah orang lain, menghina orang lain, membodoh-bodohi orang lain, memperlakukan pasangan seperti memperlakukan penjahat kambuhan seraya mengaku sebagai orang relijius dan dekat dengan ulama-ulama.

Iya, gak?

Wednesday, March 19, 2008

Sarapan, euy...

Sejak masih kecil, saya selalu dibiasakan sarapan oleh orang tua saya. Makanya kebiasaan itu terus terbawa sampai saya duduk di bangku SMA. Lho... kok cuma SMA?

Iya, soalnya sewaktu kuliah, saya tinggal di dalam rumah kontrakan, bertujuh dengan kawan-kawan saya. Nah, urusan sarapan jadi urusan yang menyita waktu yang tidak sedikit. Mesti pergi ke warung atau memasak dulu. Memang sih, ad ajug atukang bubur kacang ijo atau bubur ayam yang lewat di depan rumah, tpai waktunya nggak pasti. Kadang pagi-pagi sekali, kadang jam 8 juga belum nongol, Maka kebiasaan sarapan tidak lagi jadi kebiasaan sewaktu saya kuliah. Saya sih, nggak tau secara persis, apa pentingnya sarapan bagi tubuh manusia. Cuma karena kebiasaan saja, maka kalau nggak sarapan, perut saya suka keroncongan. Hehehe... Tapi karena kondisi di rumah kontrakan itu, saya jadi nggak rutin lagi sarapan.

Setelah selesai kuliah dan kemudian menikah, sarapan di rumah hanya saya akukan di luar hari kerja saja. Sebab, kalau hari kerja, saya harus keluar rumah pagi-pagi sekali. Mau sarapan, kayaknya nggak sempat, gitu. Jadi saya berangkat pagi, kemudian sarapan di warung dekat kantor. Itu pun nggak selalu dilakukan. Kadang saya hanya mampir ke warung kopi dan menyeruput secangkir kopi sambil baca-baca koran pagi. Judulnya, ya tetap sarapan.

Sejauh ini sih, saya menjalaninya dengan perasaan biasa saja. Ya, tentu saja saya menikmatinya. (gimana nggak nikmat, lha wong masih banyak saudara-saudara kita yang jangankan sarapan, makan sehari sekali saja jarang!). Makanya, saya menjalaninya dengan nikmat.

Tapi paling nggak enak kalau setelah sarapan sebelum masuk kantor, lalu kita dipaksa "sarapan" lagi. Bukan berupa asupan makanan atau minuman bergizi, melainkan tumpukan tugas serta perintah sana sini yang kadang disertai dengan kata-kata yang nggak enak didengar telinga.

Bukannya nggak ikhlas bekerja atau menuruti perintah atasan, tapi 'kan perut saya sudha kenyang, jadi kalau ditambah "sarapan" yang nggak enak, yaaa.... perasaannya jadi nggak nikmat lagi, 'kan? Yang lebih mengherankan lagi bagi saya, kalau ada orang yang sarapan paginya bukan asupan makanan ataupun tugas yang menumpuk, melainkan sarapan berupa marah-marah dan protes sana-sini.

Ada lho... orang yang kayak gitu. Pagi-pagi udah marah-marah, sambil tunjuk hidung sana-sini. Yeah, apa enaknya sarapan begituan? Yang denger aja udah mual, apalagi kalau yang melakukan, ya? Heran saya....

Monday, March 17, 2008

Telpon Kantor

Sejak berganti mesin PBX (PABX), di kantorku, ada aturan baru dari bagian HRD & Umum. Sekarang, setiap akan menggunakan telepon, harus memasukkan kode tertentu terlebih dahulu. Kode (6 digit) ini berbeda untuk setiap pesawat telpon. Tujuannya jelas, yaitu untuk mengontrol penggunaan telpon agar hanya bisa digunakan oleh orang yang berhak saja. Jadi, saya hanya bisa menggunakan telepon di meja saya saja, tidak bisa menggunakan telpon yang ada di meja direktur, misalnya. (songong banget, mau pake telponnya direktur).

Dengan demikian, setiap orang bertanggung jawab terhadap telepon yang digunakan. Kalau tagihannya membengkak sampai melewati batas kewajaran (bisa diketahui dari program billing untuk mengetahui nomor tujuan yang telah di-dial dari ekstensi telepon tertentu), maka orang yang bersangkutan tidak bisa mengelak dan berkilah bahwa telponnya digunakan oleh orang lain. Sebab hanya dia yang tahu kode untuk menggunakan telpon tersebut. Akibatnya, nggak bisa lagi sembarangan telpon sana telpon sini sesuka hati. Kalau tagihannya melambung tinggi, bisa-bisa gaji dipotong. Hehehe...

Sayangnya metoda ini punya kekurangan. Terutama pada saat awal penerapannya. Banyak teman-teman yang lupa nomer kode untuk telponnya. Akibatnya, pinjam telpon tetangga jadi pilihan. Kalau sudah begitu, maka laporan billing menjadi tidak akurat lagi, sebab sebuah ekstensi telpon ternyata tidak digunakan oleh satu orang. Lucunya lagi, ada kawan saya yang lupa terus nomer kodenya. Maklum, bagi sebagian orang, tidak mudah menghafal deretan enam angka. Lalu ia sengaja sharing kode nomer telponnya itu ke orang lain agar ketika ia lupa, ia bisa menanyakan kepada orang lain.

Lha, saya juga termasuk yang tahu nomer kodenya. Maka, kalau suatu saat saya berniat jahat, bisa saja saya gunakan telponnya sepuasnya, kemudian beban tanggung jawab penggunaannya dibebankan kepada kawan saya itu.