Wednesday, May 06, 2009

Suryakencana, Apa Adanya

Aku kembali masuk tenda untuk tidur. Di luar memang masih gelap, dengan bintang-bintang tampak begitu dekat. Berkilauan, seperti mengejap pada mata yang masih terasa berat. Pagi itu Alun-alun Suryakencana menawarkan keheningan yang utuh. Menuntunku ke dalam dunia yang asing. Tentu saja asing bagi diriku yang tiap hari berkutat di kesibukan kerja di kota yang bising. Udara dingin langsung menyeruak masuk ke dalam tenda saat pintunya terbuka. Membuat siapa saja akan dihinggapi rasa malas untuk meninggalkan kenyamanan dalam lelap. Tapi ada kewajiban yang tak bisa ditunda dan telah memaksaku keluar tenda.

Tanggal 2 - 3 Mei 2009, aku kembali melakukan perjalanan dengan Astacala. "Hanya" ke gunung Gede, memang. Tempat yang telah aku sambangi entah berapa kali sejak tahun 1988. Tapi tetap saja ini sebuah gunung, yang merupakan bagian dari alam. Gunung dengan hutan, tanjakan, lembah, dan misteri yang tak pernah lepas dari tubuhnya. Kita bisa saja mengatakan sudah mendaki gunung ratusan kali. Namun tetap saja, saat melakukan pendakian, kita tak pernah bisa tahu dengan persis, apa yang ada di dalam kepekatan rimba. Kita tak mampu menebak dengan pasti apa yang menanti di akhir setiap tanjakan; di balik setiap tikungan; atau di sela batang-batang pepohonan, karena kita memang bukan apa-apa di hadapan alam.

Aku jadi teringat lagi dengan kata-kata Aconk di awal pendakian, bahwa dia belum lahir ketika aku pertama kali ke gunung Gede ini. Umur kami terpaut belasan tahun. Lebih dari satu dekade. Tapi tetap saja ini sebuah gunung, yang merupakan bagian dari alam. Alam tak pernah membedakan usia. Ia akan memberikan perlakuan yang sama, tak peduli apakah umur kita 21 tahun, 37 tahun, atau 71 tahun (Himawan Tedjomulyono lahir di Temanggung 12 September 1936, tercatat di MURI sebagai Pendaki Gunung tertua, 71 Tahun 3 Bulan saat mendaki Gunung Rinjani). Umur dan pengalaman akan sia-sia jika hanya untuk memanggul kesombongan menghadapi alam. Alam tetaplah sebuah misteri yang harus disikapi dengan jujur, termasuk kejujuran menyusun niat saat mencoba mengakrabinya.

Lalu apa tujuanku ikut mendaki gunung Gede kali ini? Sekedar hunting foto? Melemaskan otot-otot yang sudah kaku, mencoba lebih dekat lagi dalam mengenal adik-adik di Astacala, atau ada niat-niat lain? Apapun itu, kita sama sekali tak bisa berbohong kepada alam. Ia akan memberi apa yang kita niatkan. Kalau hanya sekadar jalan-jalan menikmati pemandangan alam, maka alam akan menyuguhkan keindahan yang memang kita inginkan. Karena alam selalu jujur dan tak pernah menyembunyikan apapun. Apa adanya.

Mungkin kondisi apa adanya itulah yang seringkali membuat manusia goyah. Sering manusia menipu diri sendiri, berusaha tampil dengan kondisi tertentu meski harus bersolek dan menutupi kekurangan. Padahal, itu beban yang akan memberatkan seumur hidup. Akibatnya, kepalsuan yang telah dipilih harus selalu dijaga dengan segenap kemampuan. Energi yang harusnya bisa dipakai untuk kegiatan yang lebih positif, malah habis dipakai untuk menambal kepalsuan-kepalsuan agar selalu utuh dan terlihat baik.

Di antara keindahan alun-alun Surya Kencana
yang batasnya memagar jiwa,
kepalsuanpun kehilangan makna.

Maka keindahan alam akan mengajarkan pada setiap manusia, bahwa 'apa adanya' adalah sebuah keindahan. Berkali-kali perjalanan, ratusan kilometer lintasan yang akui jalanai bersama Astacala, semakin mengukuhkan keyakinan tadi. Ingin rasanya berbagi dengan teman-teman yang dulu sering bermain bersama di alam ini. Mereka pasti punya pelajaran lain yang diserap dari alam dan mungkin bisa sama-sama bertukar pikiran dan membagi pengetahuan. Tapi di dalam tenda ini, sebelah kiriku adalah Petong, dan di kanan Aconk, yang kebetulan baru kali ini aku merasakan perjalanan bersama mereka. Di tenda lain ada Somad, Singo, Rifki, Adek, Gimbal, dan Astaka. Bukan Gepeng, bukan Ewok bukan Isnanto, atau Irphan, yang dulu sering menemaniku berguru di alam dan terjebak dalam limpahan keindahan dan Rahmatnya.

Pada akhirnya, Surya Kencana hanyalah alun-alun, yang keindahannya hanya sebingkai gambar
atau menjadi semacam guru yang tak pernah kehabisan ilmu untuk ditebar. Sama seperti tempat-tempat lain di bumi ini. Sama seperti indahnya tempat pelelangan ikan, atau lapak-lapak tempat pemulung menukarkan ratusan gelas plastik bekas menjadi beberapa bilangan rupiah. Semua bisa menjadi indah, manakala hati kita terbuka menerima keindahannya, dan menyerapnya menjadi sesuatu yang berguna bagi kita semua.

3 comments:

Anonymous said...

Aku sering lupa tujuanku naik gunung itu apa, yang bisa kurasakan itu cuma kehangatan hubungan antara aku dan temanku, dan hubunganku dengan alam yang sedang aku rasakan, baik itu dingin, panas, penat, pegal2.. semua itu jadi satu dan aku bisa menikmatinya...
Yang jelas senang bisa berbagi pengalaman dan cerita, karena itu salah satu tujuan aku ikut ke gede kemarin hehehe...
Oiya, numpang "ngerampok" fotonya ya buat dipasang di blog gw ya hehehe....
piss...

artja said...

silakan mau ambil fotonya. yang diposting di org ukuran 800x600. ada yang 1024, siy... kalau mau.

Samuel said...

bener banget