Wednesday, April 22, 2009

Kebun (2)

Masih ada kebun lainnya. Ini kebun rahasia, karena tak ada orang lain dalam keluarga yang tahu keberadaan kebun itu (tiba-tiba aku ingat dengan The Secret Garden karya Frances Hodgson Burnett. Download aja di proyek gut**berg) ). Kebun itu terletak di sebuah tempat yang jauh dari rumah. Tentu, Kau pasti beranggapan bahwa 'jauh' itu satuan yang relatif. Berapa jauh kita melangkah, atau berapa jauh Kau sanggup pergi, adalah tipe pertanyaan yang jawabannya bisa memberi tafsiran yang beragam. Namun bisa disebutkan bahwa kebun itu jauh karena untuk mencapainya dibutuhkan waktu satu hari perjalanan dengan kendaraan. Bisa lebih cepat sih, kalau menggunakan pesawat terbang atau pakai transporter seperti yang ada di USS Enterprises milik Kapten Kirk dkk. di Star Trek. Tapi yang biasa dilakukan adalah perjalanan darat belasan jam. Oke, aku kira hal itu udah bisa menjelaskan kenapa kebun itu bisa dibilang jauh.

Masalahnya cuma satu: kebun itu masih dikuasai orang lain. Lho?! Iya, sebab orang lain itulah yang pertama kali menemukan kebun itu lalu merawatnya di dunia ini. Catat: di dunia ini. Padahal, akulah yang menemukannya pertama kali, jauh sebelum dia lahir. Bahkan sebelum aku sendiri lahir. Ya, sebab akulah memang pemilik sah dari kebun itu sejak masih di alam arwah. *sok tau mode & nggak mau kalah mode: on*

Tapi nggak papa. Keterpisahan kami itu tak akan lama (lagi-lagi, ukuran waktu adalah hal yang relatif). Setidaknya bila dibandingkan usia alam semesta ini, maka kepemilikan sementara itu tak akan lama. Kita akan segera mati, dan aku akan memiliki kebun itu. Selamanya.

Sekarang aku hanya bisa memandang kebun itu dari jauh. Mencium aromanya tiap kali angin menyusup di jendela dan membuat tirai berkibar-kibar. Kadang-kadang terbaca juga jejaknya dari ceceran tanah yang tersebar di berbagai tempat. Pasti ada orang lain yang ikut melihat ceceran tanah itu, tapi aku tak peduli. Karena suatu saat, aku akan bertemu dan rebah di tengah kebun itu.

Jakarta, 22 April 2009

Kalau Marah

Sebagaimana manusia lainnya, saya juga pernah marah. Tidak ada manusia yang tidak pernah marah. Semua pasti pernah marah. Tidak berarti saya ini pemarah, lho. Lagipula, marah juga diperlukan, asalkan ada alasan yang benar dan sesuai.

Persoalannya, kadang ada yang marahnya berlebihan dan tidak proporsional lagi. Hanya karena satu masalah, marahnya merembet hingga ke masalah-masalah lain.

Nah, supaya marahnya nggak kebablasan, ada berbagai cara yang bisa dipakai. Sebelum menumpahkan kemarahan bisa melakukan hal-hal sebagai berikut:

Kalau sedang berjalan, cobalah untuk berhenti
Kalau sedang berdiri, cobalah untuk duduk
Menarik napas beberapa kali
Menghitung dari 1 - 100, kalau perlu sampai 1.000
Cuci muka (untuk yang muslim, ambil air wudlu. kemarahan itu iblis, dan iblis itu terbuat dari api. maka usirlah marah denagn air wudlu)
Mennyetel musik kesukaan
Mengingat saat-saat kita sendiri melakukan kesalahan.
Hmmm.... mungkin ada cara-cara lain yang bisa dipakai. Kalau ada, boleh sharing di sini ;) .

Pada kenyataannya, sangat sulit mengendalikan kemarahan. Jangankan untuk cuci muka atau mendengarkan musik kesukaan, untuk menarik napas panjang saja sulit. Iya nggak? Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba.