Aku tiba di Jombang ketika adzan subuh berkumandang. Agak terlambat Bangunkarta kali ini, sebab biasanya jam tiga dini hari sudah masuk stasiun Jombang. Di teras musholla ada beberapa orang yang masih tidur. Hawa dingin subuh membuat mereka harus membungkus rapat tubuh mereka dengan sarung atau jaket.
Selesai subuh, aku berjalan ke perempatan. Menunggu bis tiga perempat jurusan Jombang - Malang (P.O. Puspa Indah ?) . Penumpang penuh, tapi aku dapat duduk. Harus, sebab bis ini akan menghabiskan 3,5 jam perjalanan melalui lintasan berkelok-kelok tajam. Membuat isi perut setiap penumpang seperti diaduk-aduk dan memberontak ingin keluar. Sebisa mungkin tidur, supaya tidak mabuk. Kalau berdiri, wah...aku pasti muntah.
Sampai di kos-kosan sudah jam delapan. Kuya sudah berangkat ke Argopuro bersama Doni, Momes, dan Singo. Secarik kertas kutemukan di meja. "Buat Kebluk : Nyusul, ya. Gue udah berangkat." Tertera tanggal hari kemarin di bawahnya, beserta nama Kuya.
Selesai mandi, aku pamit pada ibu kos. "Mau langsung ke Probolinggo, bu. Naik gunung Argopuro. Salam buat pak Raung," kataku sambil menyebut nama suaminya. Konon, nama itu memang diambil dari nama gunung Raung. Suaminya memang lahir di kaki gunung itu.
Nah, sekarang aku sendirian lagi, di dalam bis menuju Probolinggo. Logistik di dalam carrier berisi perlengkapan standar saja. Rencananya malam nanti akan menginap di desa Baderan. Besok pagi baru berangkat menyusul anak-anak. Malam nanti bulan purnama.
=====
Sudah hampir maghrib sewaktu aku tiba di warung pak Bachri. "Iya, kemarin ada yang naik bertiga. Perempuannya satu orang, memakai kerudung," jawab beliau ketika aku tanyakan pada lelaki yang pembawaannya gagah itu, seperti umumnya orang desa yang fisiknya memang luar biasa. Aku lihat di log pendaki, bawha nama ketiga temanku memang tercatat di sana.
"Apa malam ini ada tempat buat saya menginap, pak?" tanyaku agak ragu.
Tapi keraguanku sama sekali tak beralasan. Ada pos jagawana yang memang biasa dipakai pendaki yang kemalaman di desa ini. Lalu aku dikenalkan dengan seorang jagawana yang akan menjadi tuan rumah di tempatku menginap. Aku makan malam dengan telor asin dan sayur lodeh yang sudah dingin. Lumayan buat ganjal perut, yang sejak tadi siang hanya diisi kue dan cemilan-cemilan. Di Probolinggo, tepatnya di Randu Pangger, pertigaan tempatku menunggu bis ke Banyuwangi yang akan membawaku ke Besuki, aku hanya sempat makan roti. Lalu di Pasar Khewan, Besuki, hanya sempat mampir ke kantor polisi, lapor dan mencatatkan namaku di sana. Maka nasi dengan sayur lodeh dinginpun sudah sangat cukup untuk meredam gejolak entah apa di dalam perutku.
Selesai makan, aku langsung ke rumah dinas jagawana. Rumahnya diterangi lampu kuning, bukan neon yang putih benderang. jadi agak remang-remang. Mungkin hanya lampu 25 Watt. Aku disediakan satu kamar depan. Sepi, dan airnya sangat dingin saat aku mandi. Selesai isya, aku ngobrol sebentar dengan si jagawana. Rupanya dia seangkatan dengan gepeng di pendidikan kader konservasi lingkungan yang diadakan Mapensa, Faperta Universitas Jember, tahun 1994 lalu. Ah, dia masih ingat dengan gepeng, rupanya. Kami pun langsung akrab, terutama karena membicarakan watak-watak gepeng yang memang sering dianggap terlalu keras oleh sebagian orang. Tepat jam 10 malam, aku pamit masuk kamar. Tidur, sebab besok aku ingin berangkat pagi-pagi, menyusul teman-temanku yang mungkin sekarang sedang tidur di Alun-alun Besar Sikasur.
=====
Tepat jam 06.30, aku berjalan keluar pos, menuju warung pak Bachri. Sarapan dengan indomie rebus, nasi sepiring, dan bakwan gorng. Semuanya panas. Setengah jam kemudian, aku sudah bergerak menuju Sikasur.
Mungkin karena sendirian, maka jalanku agak cepat. Mungkin juga karena menyadari bahwa bekalku memang tidak kusiapkan untuk bermalam sendirian di jalur pendakian. Bisa saja memang, untuk bermalam dan buka bivak, tapi sangat tidak nyaman jika dibandingkan dengan tidur di dalam doom yang didirikan di dalam pondok pemburu sikasur.
Tempat mata air pertama (HM 43) dan kedua (HM 67) menjadi tempat istirahatku. Tidak trlalu lama, hanya sekitar 15 menit saja. Niat untuk masak indomie (lagi) di HM 67 kubatalkan, sebab hujan mulai turun. Kupikir, lebih baik jalan dengan ponco dari pada membuka bivak untuk masak dan membuatku jadi malas lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Alun-alun kecil kulewati di bawah siraman hujan yang cukup deras. Beberapa kali serombongan babi hutan membuatku terkejut saat berpapasan dengan mereka (atau aku yang membuat mereka terkejut?). Mungkin hujan deras membuat kehadiranku tak mereka sadari. Beberapa kali belokan membuatku terkecoh dan menyangka sudah hampir tiba di Alun-alun besar. Sampai kemudian aku melihat dua sosok sedang menuruni tening sungai kolbu. Sikasur! Alun-alun besar yang berhasil mengundangku untuk jauh-jauh datang dari Jakarta untuk mengunjunginya. Aku berteriak keras, saat kukenali bahwa mereka adalah Doni dan Singo yang tampaknya sedang mengambil selada air.
"Hei, kebluk ya?" pekik doni yang rupanya mengenali sosokku yang terbalut ponco gelap di keremangan cahaya jam empat sore yang disiram hujan.
Menit berikutnya,aku sudah di dalam pondok kayu yang tampak sempit karena tenda doom rhino biru hijau dibuka di dalamnya. "Kopi jahe, ya," sahutku ketika kuya mendekati kompor sambil mengankat jirigen air.
"Ini kompan bocor, punya lem nggak, Bluk?" tanya kuya.
Ketika kujawab hanya ada tensoplast di survival kit-ku, mereka segera mengaduk-aduk isinya. Singo menemukan permen karet, lalu memakannya diam-diam, diiringi senyum-senyum kuya yang sesekali melirikku.
"Hahaha. Bluk, permenloe dimakan si anung," lapornya.
"Eh, ini buat nambal kompan, Ya. Jangan sembarangan nuduh lu. Ini buat kepentingan tim," ujar Singo membela diri.
Ah, senang sekali bisa berada di tengah saudara-saudaraku sendiri. Tertawa terbahak-bahak ketika Doni meminum air cucian selada air, yang disangka air kopi. Atau nggodain Momes yang konon sedang kasmaran, entah pad asiapa. Mungkin babi-babi hutan yang belum laku seusai musim kawin ini.
karena aku baru tiba, maka mereka memutuskan untuk tinggal semalam lagi di sikasur. Berarti dua dari tiga malam pertama mereka, akan dihabiskan di Sikasur. Kuya mengalah untuk memberi tempat padaku di dalam doom, sementara dia tidur di luar doom. Aku tertidur sangat lelap, hingga suara ribut Singo keesokan harinya.
=====
Jam enam lewat! astaga, nyenyak sekali aku tidur. Entah apa yang diributkan Singo di luar. Semua sudah bangun. Kuya dan Doni di depan kompor. Momes tak terlihat, mungkin pergi ke air. Rupanya Singo berusaha mendekati seekor rusa yang bermain terlalu dekat dengan pondok. Tapi Singo merayapnya tanggung-tnaggung, hingga pantatnya masih menyembul sedikit. Rusa itu mungkin sadar bahwa pantat itu tak mungkin bergerak sendiri tanpa ada manusia yang membawanya. ketika rusa itu lari, Singo yang malang berusaha mengejar. Tapi dia terantuk sesuatu. Mungkin sisa akar, sebab dia mengusap-usap kepalanya sambil misuh-misuh. Hehehe, emang enak?
Setelah sarapan dan ambil foto, kami mulai bergerak dengan cisentor sebagai target antara, dan puncak rengganis sebagai target akhir hari ini. Kami sengaja memang, untuk tak bermalam di cisentor dan lebih memilih untuk menjadikan kawasan petilasan Dewi Rengganis untuk camp selanjutnya. "Cari suasana baru," ujar kuya yang sudah bolak-balik ke argopuro.
Perjalanan hingga cisentor dilakukan dalam tempo sedang. Kami tiba di cisentor ketika hujan mengguyur lagi gunung ini. Makan siang hanya dengan mie rebus saja. Sempat bertemu dengan dua orang pramuka asal Jember yang baru saja turun dari puncak dan bermaksud meneruskan perjalanan hingga Taman Hidup. Wah, mereka pasti berjalan dengan kecepatan tinggi. Sebab jarak Cisentor dengan Taman Hidup masih cukup jauh. Kalau kami, tak akan bisa mencapai Taman Hidup dalam waktu enam jam.
Pukul 14.00, kami lanjutkan lagi perjalanan. kali ini terbagi menjadi dua. Singo dan uya di depan, dengan target menyiapkan tempat camp sebelum malam. AKu, Doni, dan Momes di belakang. Ini lebih efektif, sebab bila harus bersama-sama dalam rombongan, bisa dipastikan akan kemalaman di jalan, dan akan bersusah payah mendirikan tenda, mencari kayu dan membuat api saat hari sudah gelap.
Ketika aku tiba di kawasan puncak Rengganis, tenda sudah berdiri dan api sudah menyala. Bahkan Singo sudah membuatkan minuman hangat. (enak juga jadi orang tua, begitu sampai camp, sudah ada pelayanan ekstra). Alhamdulillah, di puncak tidak hujan. Tapi akibatnya, suhu udara menjadi terasa lebih dingin. Malam kami lewati dengan makan kentang bakar. Tempe yang dibawa Kuya belum juga berhasil menjadi tempe. Dia sengaja membeli tempe yang belum sempurna proses peragiannya. "mungkin tempenya kedinginan, Kuy!!!" Singo dan kuya memilih tidur di luar doom, menghangatkan diri dekat api sekaligus menjaganya agar tidak padam. Alarm dipasang pukul 05.00, karena kami ingin melihat dan mengabadikan matahari terbit.
=====
Begitu mendegar alarm dari weker kecil milik Kuya, aku bergegas mengambil Minolta SRT101 buatan tahun 1971 yang sudah tak bisa beroperasi menggunakan lampu kilat. Kamera berat tu aku jining menuju puncak bersama Singo yang menemani. Tak lama Doni, Kuya, dan Momes menyusul. Kami semua menggigil.
Tapi ufuk timur tertutup aswan. Kami hanya melihat cahaya semburat jingga yang makin siang semakin terang dan putih. Tapi cukup membuat kami terkesima dengan suasana dramatis yang ditimbulkannya. Cita-cita kami untuk menginap dan melihat matahari terbit dari puncak Rengganis tercapai sudah. Tak ada lagi rasa penasaran.
Ketika hari mulai terang, Kami mulai mencabut beberapa "atribut" yang dipakukan ke pohon. Macam-macam isi tulisannya, tapi kebanyakan hanya menuliskan nama organisasi tertentu yang dicat di atas seng atau kayu. Juga ada beberapa bendera yang "merusak pemandangan" yang kami cabut. Hanya satu tanda saja yang tertinggal di sana, yaitu papan yang menunjukkan nama tempat dan ketinggian Puncak Rengganis.
Sekitar pukul 09.00, kami bergerak turun. Di persimpangan antara Puncak Rengganis, Puncak Argopuro, dan jalan menuju Cisentor, kami berhenti. Berjalan sedikit masuk ke jalan menuju puncak Argopuro, dan beristirahat di sana. Aku dan Momes berhasil terbujuk Kuya untuk mengikutinya berjalan menuju puncak. Doni dan Singo memilih menjaga Carrier.
Jalan menuju puncak Argopuro tidak sejelas jalan menuju puncak Rengganis. Mungkin ini bukan jalur normal yang biasa dipakai orang untuk menuju ke puncak Argopuro. Sepanjang jalan, Kuya menceritakan dugaannya bahwa Puncak Argopuro mungkin sebuah candi yang terkubur seperti Borobudur di masa lalu. Ini, katanya, bisa dilihat dari bentuknya yang simetris dan adanya beberapa lokasi datar setiap kali kami tiba di ketinggian tertentu. Bisa jadi Kuya benar. Memang, jalannya cukup curam, tapi setelah beberapa langkah, kami selalu menemui pijakan berupa batu-batu yang luas dan datar. Pohon-pohon jug tidak bisa tumbuh besar dan berdiri dengan jarak yang sangat renggang. Hanya semak-semak saja yang tumbuh rapat. Bahkan di lereng menuju puncak, kami menemukan patung berupa manusia yang duduk bersila, membelakangi puncak. Mungkin kalau meau mencari ke kiri atau ke kanan di dalam hutan, akan bisa ditemukan arca serupa.
Di puncak, suasananya agak "gimana gitu", sepi dan mistis. Di sebuah meja batu yang mungkin menjadi altar pemujaan, ada sisa-sisa sesajen. Di sampingnya, ada sebuah batu dengan ceruk yang sepertinya digunakan sebagaitempat menampung air. Tak lama kami bertiga di puncak ini. Kami turun melalui jalan yang berbeda dengan yang kami lalui saat mendaki tadi. Tampaknya, jalan turun inilah yang biasa dipergunakan orang. Ini bisa terlihat dari lebarnya jalan dan beberapa sampah plastik bekas bungkus permen yang kami temui. Beberapa pohon juga tampak dipasangi marka. Mungkin ada yang baru saja melakukan latihan SAR di sini. Cukup sering kami tersesat keluar dari jalur, dan beberapa kali menemui jalur yang curam, sebelum akhirnya bertemu dengan padang luas. Nyatalah, bahwa kami memang tak melewati jalan yang sama dengan jalan saat kami mendaki tadi. Sebab cukup jauh jug akami harus melintasi padang rumput, sebelum menemukan tempat Singo dan Doni menunggu.
Segera setelah mengambil beberapa gambar, kami melanjutkan perjalanan. Semula, target kami memang Taman Hidup. Maka kami pun turun dengan agak sedikit berlari. Tapi kenyataan berbicara lain. Setelah pukul 17.00, kami baru tiba di Aing Kenek. Sebuah lembah sempit tempat pertemuan dua bukit yang dialiri sungai yang cukup deras airnya. Hujan deras menyambut kami, seakan menahan kami agar tak meneruskan perjalanan. Maka kami putuskan untuk bermalam di tempat lembab ini.
Entah karena hujan atau karena tak cakap mencari kayu kering, maka api unggun baru bisa menyala setelah hari gelap. Padahal kami kedinginan dalam pakaian kuyup dan sudah berniat memasak bubur kacang ijo. Kalau memasak bubuk dengan trangia, akan memboroskan bahan bakar. Mungkin sekitar pukul 20.00, api baru menyala besar dan siap dipakai untuk membuat bubur kacang hijau. Tapi aku sudah terlanjur lelah, sehingga memutuskan masuk doom bersama momes, yang sepertinya juga kecapekan karena beban carriernya sepertinya paling berat (maklum adik bungsu).
=====
Esok paginya, kami kuatkan hati untuk mengenakan celana lapangan yang basah kuyup. Kami harus turun hingga Bremi, Krucil, sebeblum angkot terakhir berlalu. Malam ini, kami harus sudah tiba lagi di Malang. Maka perjalanan turun kali ini dilakukan dengan kecepatan tinggi. Hanya DOni yang berjalan agak lambat. Singo yang terjebak di belakang Doni, terpaksa harus menemaninya sampai tiba di Bremi nanti.
Di Taman hidup, aku, Kuya dan Momes sempat fot-foto. Kemudian diputuskan untuk langsung turun tanpa menunggu kedatangan Doni dan Singo di tempat itu. Sayangnya, kami lupa memberi tanda di persimpangan, sehingga Doni tak tahu kalau kami bertiga sudah tak ada di Taman Hidup.
Hasilnya, ketika sudah tiba di Bremi dan sedang duduk-duduk di warung, Doni tiba dengna muka masam. Dia langsung memesan Susu Soda dan sate kambing. Singo tertawa-tawa sambil menyalahkan kami yang meninggalkan mereka. Katanya, "Doni ngguondok banget pas sampe di Taman Hidup, dan nggak ada siapa-siapa lagi." Yah, kalau kami tadi menunggu di Taman Hidup. mungkin kami akan tertinggal angkot menuju jalan besar, dan rencana ke Malang malam ini bisa berantakan. Untung saja Doni cuma sedikit kesal. Setelah kenyang, di asudah bis atersenyum lagi.
Sengaja kami tak menyambangi rumah bu Pudji, tempat yang biasa kami singgahi saat turun dari Argopuro. Sebab kami memang tak ingin berlama-lama di sini. Kalau ke rumah bu Pudji dan tidak menginap di sana, rasanya tidak enak juga. Maka sekalian saja nggak usah ke sana.
Dengan seijin pemilik warung sekaligus pemilik rumah, kami mandi dan bersih-bersih di kamar mandi di samping rumah. Untuk mempersingkat waktu, kami menimba bergantian dan mandi berdua dalam satu kamar mandi. Kecuali Doni tentu saja. (kok nggak mau mandi bareng siy? nggak kompak neh!)
Dengan angdes kami menuju Jalan Raya Jember - Probolinggo. Naik bus ke Probolingga, lalu menyambung bus AKAS menuju Malang. Sekitar pukul 21.0, kami sudah makan di warung dekat dengan kos-kosannya macan. Sekali lagi kami pesan soda susu, yang seolah menjadi minuman wajib sehabis turun gunung. Dalam benak kami, terbayang kasur-kasur empuk di ranjang kos-kosan kami. Rasanya tak percaya, kalau siang tadi masih ada di dermaga di tepian danau Taman Hidup. Suatu saat, kami akn kembali ke sana.
No comments:
Post a Comment