Selasa, 7 September 1999
Pagi-pagi aku sudah di dapur. Dapurnya hangat. Mungkin karena masaknya menggunakan perapian dengan bahan bakar kayu. Bukan kompor seperti di rumah kita. Aku betah di dapur, sebab bisa main api dengan kayu dan perapian. Mungkin kecenderungan manusia untuk senang main api, ya? (keponakanku saat berumur 4 tahun pernah membakar sofa kecil milik kakek-neneknya. Hehehe...
Jelas saja bapak-ibuku marah. Sekarang kursi itu tak bisa dipakai lagi. Tinggal kerangka kayunya saja yang tersisa. Sekarang dipakai utuk meja komputer adikku). Aku masak nasi, mie rebus, telor ceplok, dan menggoreng sisa-sisa kerupuk. Bu pudji beli susu lagi. (di mana siy, belinya?) Dia juga beli kerupuk lagi. Kalau gula dan semua sisa perbekalan, sudah aku oper pada dia. Sarapan, lalu packing dan menunggu yang lain bersih-bersih. Yeni sempat protes ketika tahu aku akan pake kaos A. Sebab dia ga mau ada orang lain yang nyamain dia yang tinggal punya satu kaos bersih: kaos A. Tapi aku cuek aja, biarpun resikonya akan dianggap sebagai rombongan dari panti asuhan. Yang lain bersih-bersih di kamar kecil milik kantor polsek krucil. Katanya gantian, sebab takut polisi-polisi itu iseng. Maka mekanismenya: satu orang masuk, dua orang jaga di luar sambil ngobrol dengan polisi-polisi. Wah, apa enaknya ngobrol di depan kamar kecil? Atau ngobrolnya sambil tutup hidung? Lagipula, apa polisi-polisi itu bernapsu untuk ngecengin mereka yang kucel-kucel itu? Aku sendiri tadi cuma mbasuh badan di pancuran belakang rumah bu pudji, dan nggak ada yang ngeliat tuh.
Sesudahnya aku menjalani ritual rutin di ruang tamu: nyeruput kopi dan nguping radio. Banyak foto dan slayer digantung di dinding. Ada juga peta usang. Lalu baca-baca log pendaki di buku besar yang sudah ada tiga buah. Kucari-cari nama anak-anak astacala yang pernah mengisinya. Ada juga ternyata. Ada tulisan tangan kuya. Ada juga yang nempelin foto-fotonya. Wah, narsis banget siy? Bosan dan pengap di dalam rumah, aku keluar. Liat-liat sekeliling. Ada tumpukan kayu bakar di samping rumah, yang ternyata bu pudji membelinya, tidak mencari sendiri.
Anak-anak lama sekali. Jam setengah sebelas baru pada selesai. Mungkin karena sekalian be-ol. Selesai packing, sudah hampir tengah hari. Foto-foto dengan bu pudji di depan rumah. Lalu pamitan sambil berjanji akan kembali lagi untuk menempelkan foto di buku log pendaki. Bu pudji mengatar sampai ke jalan raya. Nyetop angkutan colt, sambil berpesan padaku: Jangan ninggalin yang lainnya lagi!!!. Oke deh.
Turun angkutan langsung bingung: nyebrang apa enggak? Ada bus datang, setop saja, urusan belakangan. Aku tanya, "Surabaya?" kernetnya ngangguk. Tapi kok murah? cuma dua ribu perak? Ternyata di terminal kita disuruh turun. "Itu bis ke Surabaya, Mas!" seru kondektur tadi. Oh, ternyata harus pindah bus tho? Teringat pesan Gapung dulu, kita milih bis AKAS. Konon, ini PO yang menguasai Jawa Timur dsk. Bisnya biasa aja. Tapi ternyata memang nyaman: tidak ugal-ugalan seperti bis dari PO lainnya. Kondekturnya pakai seragam wearpack oranye. Kok jadi inget kernet metromini di Jakarta jaman baheula? Sepanjang jalan aku tidur. Ketika bangun bajuku basah, keringet. panas sekali bis ini? "Lain kali bawa pintu mobil, supaya kalau gerah, tinggal buka jendelanya!" Astaga, siapa yang bilang itu?
Sampai Bungurasih langsung nyari bis ke Gubeng. ternyata penuh. Anak-anak nggak mau, sebab "Nggak bisa naro carrier," katanya. Ya udah, naik bis berikutnya yang masih ngetem, kosong, dan pasti lama berangkatnya. Wied udah misah. Dia naik bis ke Madiun. Jangan lupa brem dan bumbu pecelnya ya wied!
Ternyata selain ngetem, bisnya muter-muter dulu sebelum lewat Gubeng. Kami turun di pertigaan. Jalan lagi sekitar seratus meter ke Stasiun. Wah, waktunya mepet nih. Jam 17.00 KA Mutiara ke Bandung berangkat. Tergopoh-gopoh kami berlari. Bayangan ketinggalan kereta Kahuripan kembali menari-nari di ruang ingatan. Ternyata kami masuk dari pintu belakang. Lewat pintu itu, tidak ada loket untuk kelas bisnis. Jadi harus nyebrang ke pintu satuya. Melewati beberapa jalur sepur. Keretanya masih ada. Aku tinggalkan carrier dengan anak-anak dekat kereta. Biar larinya cepat. Aku langsung ke loket. Lho, kok ngantri? ternyata aku salah loket. Itu loket Mutiara untuk pemesanan perjalanan besok dst. Bukan loket penjualan langsung. Padahal udah ngantri. Di loket penjualan langsung, aku tanya, "Masih kekejar keretanya, Bu?" Dijawab masih. Aku lari ke peron, ternyata keretanya hanya kelihatan buntutnya ajah. Anjrit . Lemas rasanya. Mosok sih, ketinggalan kereta lagi? Tapi begitulah. Aku temui Lilis dan Yeni yang kelihatan frustasi. Ah, sialan. "Keretanya udah jalan, kak." Orang-orang pada ngeliatin. Malu nih. "Padahal, tadi orang-orag udah nyuruh naik, kak," ujar Yeni,"Katanya biar ajah Masnya ditinggal. Nanti bayar di atas." Sialan. Untung aja mereka masih waras. Aku langsung tuker tiket. Berarti naik kereta berikutnya: Turangga. Berarti ongkosnya juga nambah. Emang udah nasib.
Kami duduk-duduk di bangku peron dengan pikiran melayang-layang. Nggak pernah kebayang sebelumnya kalau kami bakalan ketinggalan kereta lagi. Lilis ngajak ke musholla. Aku pergi beli coca-cola. Tapi nggak ada yang mau. Mereka maunya es krim, 'kali. Bosan di stasiun, kami nyari soto di depan stasiun. Sotonya enak, nasinya banyak. setelah kenyang, balik lagi ke stasiun. Turangga berangkat tepat waktu. Aku duduk di tengah gerbong dengan seorang penumpang lain. Lis dan Yen di kursi bagian depan. Penumpang di sebelahku menawarkan Orange Juice. Aku mengangguk, sambil bilang bahwa adik-adikku dua orang, duduk di kursi no. 1A dan 1B. "Oke, sekalian aja dipesenin," katanya. Dia orang Freeport yang mau pulang ke Jogja. Kami ngobrol soal tailing freeport yang ternyata masih banyak kandungan emasnya. Setelah dia turun, aku tidur. Karena AC-nya terlalu dingin, aku pakai sweater Camel Trhopy. Baca do'a sebelum tidur. Bandung, we're coming.
No comments:
Post a Comment