Monday, January 22, 2007

Pulau We

Sejak kecil, kita sudah mendengar lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Tapi pernahkah Anda mengunjungi Sabang atau Merauke itu? Nah, tahun 2006 lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kota yang konon merupakan kota paling barat di Indonesia.

Untuk menyeberang dari Banda Aceh, bisa menggunakan KM Pulo Rondo dengan tujuan Balohan, Pulau We. Tiket ekonomi untuk kapal cepat ini seharga Rp. 60.000 dan pelayaran hanya menghabiskan satu jam saja. KM Pulo Rondo ini emang khusus untuk penumpang manusia. Jadi, kendaraan bermotor tak boleh naik! Kalau mau membawa motor atau mobil harus menggunakan kapal fery yang lain, dan bukan kapal cepat. Pelabuhan tujuannya juga lain, bukan di Balohan.

Nah, dari Balohan menuju kota Sabang, hanya setengah jam. Melewati jalan mulus beraspal dan melewati kawasan bandara milik Pangkalan TNI AU, kita akan segera tiba di kota Sabang.
Di kota ini, tak ada hotel atau penginapan kelas mewah. Yang hanya ada penginapan sekelas losmen. Kalau hanya untuk numpang tidur, lumayanlah. Harga sekamar bervariasi, mulai Rp. 50.000 hingga Rp. 200.000 per malam. Tapi untuk kenyamanan, lebih baik memilih bungalow di daerah wisata di tepi pantai, jangan di kota Sabang.

Tapi kalau memilih untuk menginap di kota Sabang, maka sebaiknya menyewa kendaraan roda empat untuk pelesir. Sebab angkutan umum memang tidak seramai di Jakarta. Pilihlah kendaraan yang anda sukai. Di Sabang ini akan bisa dijumpai berbagai jenis mobil yang bahkan di Jakarta pun tak bisa kita temukan. Contohnya saja Honda RAV. Nah, pernah dengar merk mobil itu? Di Jakarta tidak ada, bukan? Maklum saja, Sabang adalah pelabuhan bebas, sehingga mobil-mobil eks SIngapura dapat dengan mudah ditemukan. Tapi jangan salah, kendaraan-kendaraan itu hanya bisa dipakai di area pulau We saja, tidak boleh dibawa keluar.

Secara Administratif, Sabang adalah Kotamadya, dengan terdiri dari dua wilayah kecamatan saja. Sebeblumnya, pulau ini termasuk ke dalam wilayah kota Banda Aceh. Pulau We tak terlalu besar. Hanya dibutuhkan 3 jam saja menggunakan kendaraan roda empat untuk mengelilingi pulau ini. Jumlah penduduknya yang sedikit, membuat setiap pendatang yang berada di kota Sabang akan segera dikenali sebagai orang asing oleh penduduk Sabang.

Setelah mendapat penginapan dan kendaraan untuk keliling pulau, maka kita tinggal menentukan saja, mau pergi ke mana. Untuk wisata pantai, bisa ke pantai Iboih, pantai Tapak Gajah, Atau Pasir Hitam. Bisa juga menyewa perahu untuk pergi salah satu pulau yang ada di sekitar Pulau We. Jangan lupa untuk mengunjungi Tugu Nol Kilometer. Di titik itulah konon, terdapat titik nol kilometer Indonesia. Kalau mau sedikit report, bisa juga datang ke Dinas parwisata untuk meminta sertifikat yang menyatakan bahwa kita sudah pernah mengunjungi titik paling barat di Indonesia. Di tugu yang terletak di puncak bukit di tepi pantai itu, bisa juga terlihat pulau-pulau lain di sebelah barat. Bahkan kita bisa melihat kepulauan Andaman milik negara India.

Kalau sedang duduk merenung sambil menatap laut di pasir pantai, jangan kaget jika tiba-tiba di depan kita melintas kapal perang. Itu memang kapal milik TNI AL. Pangkalan mereka ada di dekat pelabuhan milik Pertamina. Juga perlu berhati-hati bila kita berenang di pantai-pantai yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia ini. Kalau terlalu jauh, salah-salah kita bisa terseret arus hingga ke Madagaskar! Iya, sebab memang pulau We ini langsung berhadapan dengan Samudera lepas.

Seperti juga pantai-pantai di tempat lain, pemandangan dari pantai-pantai di pulau ini juga indah. Apalagi saat berada di area Tugu Nol Kilometer ketika matahari terbenam. Wah, sangat dramatis suasananya. Hanya harap hati-hati kalau pergi berdua dengan pasangan Anda. Jangan lupa membawa salinan surat nikah. Sebab di wilayah NAD ini, tidak diperbolehkan berkhalwat dengan orang yang bukan mahromnya. Kalau tidak, polisi syariah akan mencokok Anda, dan Anda akan diadili lalu dicambuk sampai malu. Maka jangan heran kalau jarang sekali kita temui pasangan muda yang asyik masyuk di bawah pohon kelapa di tepi pantai. Kalaupun ada, pastilah suami isteri.

Oh iya, walaupun pantainya indah, tapi potensi wisata di pulau ini belum tergarap dengan baik. Selama di sana, saya hanya bertemu dengan turis asing dua kali. Mereka snorkling (nulisnya bener ga neh?) di pantai Iboih yang memang banyak karangnya. Tentu saja, mereka bebas menggunakan bikini, sebab polisi syariah tak pernah menangkap mereka (tanya kenapa?). Tapi karena sepinya itulah, pantai ini jadi nyaman untuk tempat menyendiri. Saya betah berjam-jam duduk memandang lautan, sambil mendengar debur ombak yang datang mengecup bibir pantai.

7 comments:

Anonymous said...

kalo saja aku tidak terlalu takut dengan kata itu... aku akan selalu menanti kesempatan untuk selalu kembali, tahukan kau apa kata itu --> yaitu rindu
ya, selalu merindukan untuk kembali k gunung

Anonymous said...

smoga suatu saat yang tidak terlalu lama nanti, kaki-kaki tua ini bisa menjejak tanah We, berkesemapatan memandang mentari terbit dan tenggelam sambil bersenandung rayuan pulau kelapa...

smoga damai terus berlaku. salam.

Anonymous said...

wah seru banget, lo kerja dimana sih kok bisa ke tempat2 beginian... sabang, merauke..argopuro?

Anonymous said...

post pictures doonnggg gue mau liat kota sabang itu kaya apa

Kristin said...

wuih kl berkunjung dari sabang merauke lom kesampean pak.... yg ada cmn sekitar daerah jawa-bali :D

Anonymous said...

wah gara gara si pacar, saya jadi ketagihan baca tulisan-tulisan disini. serasa baca novel petualangan. salam kenal ya, saya bukan anak gunung -karena takut ketinggian dan males hiking- tapi saya suka sama blognya :)

Anonymous said...

ingat sabang...aku ingat...tsunami!
aku sedang berlibur disana saat itu.n kota bawah lumayan hancur, mobil2 mewah berenang2 di laut...dan...MY GOD!
tapi memang sabang sangat indah! kunjungilah...:D