Thursday, May 10, 2007

Seberapa Jauhkah Kita Telah Melangkah

Kakek dan nenek saya pernah bercerita, bahwa dulu setidaknya 35 hari sekali, mereka akan pergi ke kota Yogyakarta dengan berjalan kaki. Itu berarti lebih dari 60 km jauhnya. Mereka menempuh perjalanan sejauh itu untuk menjual hasil sawah dan ladang, ke pasar yang ada di Yogyakarta. Ya, itu adalah kesempatan setiap 35 hari sekali, ketika pasar begitu ramai dengan jenis dagangan tertentu saja. 35 hari adalah waktu pengulangan terdekat bagi kombinasi hari antara sistem penangalan nasional (tujuh hari seminggu) dengan sistem penanggalan jawa (lima hari sepekan). 35 hari adalah kelipatan persekutuan terkecil dari angka 5 dan 7.


Mereka memilih berjalan kaki bukan karena sok kuat atau sedang menjalankan semacam tirakat, melainkan karena tak ada pilihan lain. Mobil? Motor? Jaman kakek nenek saya, hal semacam itu hanya dipakai oleh pejabat negara. Sepeda? itu pun hanya dimiliki orang-orang kaya. Tapi itu kan dulu, semestinya, setelah sekian puluh tahun merdeka, bangsa kita tentunya tak lagi demikian.

Tak ada lagi cerita orang yang harus berjalan kaki sejauh 60 km hanya untuk menjual kelapa hasil kebunnya dan kemudian uangnya dipakai untuk membeli gula. Alat transportasi sudah begitu banyak dan mudah untuk dimiliki. Jangankan sepeda, untuk memperoleh sepeda motor kreditan pun, hanya diperlukan fotokopi ktp atau buku rekening bank, atau kuitansi pembayaran tagihan listrik bulanan, dan hal-hal yang tak terlalu menyulitkan lainnya. Pasarpun ada di mana-mana, tak perlu jalan kaki jauh hanya untuk memutar roda perekonomian keluarga. Segalanya mudah saat ini.

Tapi ternyata saya keliru. Pagi tadi, di dalam KRL tujuan Depok, saya mendengar tiga orang penumpang yang bercerita tentang pekerjaan mereka. Salah seorang diantaranya ternyata menyewakan sebuah Music Box, untuk menyebut sebuah kotak ukuran 20 cm x 20 cm x 30 cm yang terdiri dari sebuah speaker dan pemutar kaset. Kotak tersebut disewakan kepada siapa saja yang mau menggunakannya sebagai alat mencari nafkah. Dua orang diantaranya adalah kedua orang yang duduk di samping pemilik music box tadi.

Salah seorang penyewa bercerita, bahwa ia hanya sempat berjalan tiga rit (tiga kali perjalanan bolak-balik) KRL tujuan Kota - Bogor setiap harinya (kira-kira tiga jam tiap tripnya). Dan dari hasil tiga kali berjalan di atas kereta antara Stasiun Jakarta Kota - Bogor itu, dia hanya menenteng music box yang memutar lagu-lagu Rhoma Irama khusus untuk karaoke (tanpa suara vocalis, hanya musik). Selama tiga trip itu, ternyata penghasilannya tidak terlalu membuatku terkejut. Uang itu pun harus dipotong biaya sewa kotak, jasa keamanan KRL (baca: uang preman), sarapan dan makan siang serta rokok, dan juga uang jasa angkut kepada kondektur yang kadang-kadang juga meminta jatah. Sisanya, ternyata tak lebih dari Rp. 30.000. Tak perlu kita hitung berapa penghasilan per jamnya untuk sekadar mengetahui ada di tingkat kemakmuran yang mana dia berada.

Kalau dulu, di jaman revolusi fisik, kakek dan nenek saya harus berjalan enampuluh kilometer untuk menjual hasil sawah dan ladang yang tiap hari di cumbui sejak subuh hingga sore hari, lalu seorang penjual suara harus berjalan selama sembilan jam dalam kereta listrik Jakarta - Bogor hanya untuk mengantongi tigapuluhribu rupiah setiap harinya, maka sebenarnya, setelah puluhan tahun Republik Indonesia ini berdiri, seberapa jauhkah kita telah melangkah?

4 comments:

Anonymous said...

masih banyak yg susah di sekliling kita; ada banyak yang telah melangkah jauh ke depan, diantaranya lantaran perbaikan pendidikan; namun lebih banyak lagi yang berjalan di tempat, bahkan mundur ke belakang.

peringatan agar jangan terlalu sungkan merogoh saku mengambil receh untuk berbagi. agar hati ini tidak terlalu pedih melihat banyak orang melarat di negri yg buminya kaya namun telah banyak habis dikeruk keserakahan, akibat kemiskinan pikir yg berkepanjangan.

angin-berbisik said...

wah, prihatin bangbet yah mas kalau ingat zaman dulu, dulu eyang buyut saya aja, kalau naik haji pakainya kapal laut...wah naik haji bisa setaun itu :)

Putirenobaiak said...

kadang kita tak menyadari bahwa masih byk org yg menderita bahkan utk makanpun susah.

negeri ini mengerikan, kekayaan bumi dihabiskan segelintir orang2 yg tamak, yg lain hanya melihat saja sambil mengurut dada. namanya rakyat miskin/kecil

NiLA Obsidian said...

prihatin ....sedih.....tapi itu lah realitas yg ada di sekeliling kita bahkan banyak bgt yg lebih sengsara dr mereka.....

mungkin bukannya mau menutup mata tanpa ada action.....tp perjuangan merekalah yg patut kita tiru....
keprihatian mereka...dalam menghadapi hidup utk tetap tegar, berusaha dan insya allah berdoa....