Wednesday, May 23, 2007

Sanggabuana, Ciremai, Jawa barat


Jam empat pagi aku sudah berdiri di sini. Sanggabuana, begitu orang-orang menyebutnya. Jaraknya sekitar tigapuluh menit menjelang puncak Ciremai. Sebuah tempat yang relatif datar meski tak terlalu luas. Seolah disediakan untuk menjadi teras bagi tempat istirahat pendaki di tengah terjalnya jalur pendakian menuju puncak gunung Ciremai. Meski tak luas, tapi masih cukup untuk mendirikan tenda kapasitas empat orang. Di sekitar, semak Cantigi dan Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) rapat memagar.

Beberapa orang sudah bergerak menuju puncak. Lainnya masih ada dalam perjalanan menuju tempatku berdiri. Tapi sebentar lagi pagi, dan mereka mungkin akan terus menuju puncak untuk merasakan sensasi matahari terbit di sana. Jarang sekali yang sengaja berdiri di sini, di sanggabuana, untuk menunggu matahari terbit. Kebanyakan orang akan lebih senang melihatnya di puncak. Kecuali terpaksa, entah karena tak bisa mencapai puncak sebelum matahari terbit, atau memang tak kuat lagi melanjutkan pendakian ke sana.

"Berger?" tanya itu mengajakku bergerak ke puncak. Aku hanya menggeleng. Maka kawanku itu berlalu perlahan. Tapak-tapaknya diiringi debu-debu yang beterbangan. Dalam kegelapan dini hari, tubuhnya seolah bayang-bayang hitam yang sedang membelah tipisnya udara di ketinggian tempat ini. Bayangan yang tampak makin jauh dan tinggi, pertanda lereng sudah mulai dirambah dan undakan telah mulai didaki.

Lalu yang lain segera menyusul, melewatiku yang masih berdiri di tepi jalan setapak yang menghadap langsung ke jurang. Ajakan dan teguran kutanggapi seadanya saja. Biarlah aku diam di sini, di Sangga buwana yang sepi. Mungkin akan ke puncak dan bibir kawah setelah agak terang nanti.Lagipula aku sudah beberapa kali menjejakkan kaki di puncak Ciremai dan menyaksikan kelahiran hari baru di sana. Saat ini aku ingin merasakan sensasi melihat terbitnya matahari dari Sanggabuana. Senter telah lama kumatikan. Aku duduk di tepi jurang, menatap lurus ke arah Timur. Suara angin terdengar memainkan daun-daun, mengajaknya menari menyambut matahari, barangkali. Dalam gelap dan sepi begini, suara-suara alam terdengar lain dari yang biasanya, terdengar lebih kaya dan menyusup dalam jiwa.

Memang, aku sengaja memilih tempat ini untuk mengintip matahari terbit. Pemandangannya lebih dramatis, setidaknya menurutku, karena ada sebuah pohon yang tumbuh menyendiri dan tampak menonjol di area ini. Keberadaannya bisa menjadi bingkai alami saat Kau membuat foto. Sedangkan di puncak, meski dengan pandangan yang lebih luas, sulit sekali mencari subjek pengiring bagi matahari kemerahan yang sedang terbit. Tentu pemandangannya tetap indah. Ah, tapi apakah keindahan itu? Sesuatu yang membuat hati senang saat kita melihatnya? Ataukah sesuatu yang bisa diabadikan dalam foto lalu mengisi daftar stock foto yang bisa dijual atau disewakan lalu uangnya dihabiskan untuk memuaskan hasrat diri akan kesenangan? Ataukah sesuatu yang bisa dikenang bersamamu, ketika hari-hari sibuk seolah tak memberi kesempatan bagi kita untuk sekadar merenungkan kebesaran sang Pencipta dan mengingatkan kita lagi bahwa kelak segalanya akan kembali padaNya?

Sekarang cahaya di cakrawala Timur yang gelap mulai berubah warna. Semula biru gelap, seperti warna pakaian satpam di Blok M Mall Jakarta. Lalu biru gelap tadi seolah naik ke atas, berganti ungu, lalu merah, dan menjadi jingga terang. Ah, Kaukah itu, yang menitipkan senyum pada mentari, merajut tirai jingga di jendela langit pagi, ketika angin merangkai udara, dan resah membingkai rasa.

Atraksi memukau itu kunikmati sendiri, di tengah sepi yang mengepung dan semak cantigi yang mengurung. Bola api raksasa bernama matahari itu terus bergeser, menguak kegelapan diantara bayangan gunung Slamet yang bagaikan lipatan roti tawar persegi di atas cake besar bernama bumi. Itu matahari yang sama seperti yang terbenam petang kemarin. Bukankah begitu? Meski kita tak tahu, apakah itu benar-benar matahari yang kemarin. Mungkinkah ketika malam, matahari itu bertukar tempat dengan matahari yang lain, lalu pagi ini matahari yang terbit bukanlah matahari yang terbenam kemarin? Tapi tidak, itu memang matahari yang kemarin terbenam. Dan ia akan terbenam lagi sore nanti, utnuk terbit lagi esok pagi. Begitu seterusnya. Berapa lamakah kita harus hidup, untuk memahami betapa masa selalu berganti dan manusia hanya sekadar kilasan dalam lintasan waktu yang amat panjang? Sejarah manusia tak lebih tua dari debu yang mengotori sepatu, tapi seringkali manusia berpolah seolah-olah ialah yang paling berkuasa di alam raya ini. Padahal sejarah cantigi merah hijau lebih punya arti dalam masa dibandingkan umur manusia yang tak sebebrapa ini. Apalagi dibandingkan dengan matahari.

Kini tanah mulai terang. Daun-daun cantigi yang semula terlihat serupa semua di dalam gelap, kini mulai jelas perbedaan warnanya: hijau, kuning, dan merah. Lapisan kapas putih bunga-bunga Edelweis Jawa mulai tampak, menyelimuti batang-batang kecoklatannya. Rumput-rumput dan ujung daun-daun mulai berkilauan, melahirkan pantulan cahaya matahari yang lahir dari rahim ribuan embun. Ah, kapankah embun itu singgah di pucuk-pucuk dedaunan itu? Pasti dia tiba diam-diam di tengah malam, mengajarkan pada semua manusia yang melihatnya bahwa sebagai bagian dari alam, dia tak melakukan apa-apa selain menjalankan apa yang sudah digariskan alam.

Dan seperti juga di puncak argopuro, maka di sini
di ketinggian tempat ini
aku hanyalah sebutir embun
yang sedang mencari
setangkai puisi.

Tapi dalam hidup ini, apakah puisi itu? Barangkali hidup kita inilah puisi itu sendiri, yang hanya setangkai dibandingkan pohon besar peradaban manusia. Hidup yang hanya seranting dalam taman besar ciptaan tuhan. Hidup yang tak akan menjadi puisi, ketika kita tak mampu menyadari asal-usul kita sendiri.

Allahu'alam

15 comments:

Cempluk Story said...

jalan jalan trus ni mas..oleh oleh buat cempluk mana mas ??heheh

Bambang Aroengbinang said...

Mahabesar Sang Pencipta; kapan2 aku diinfoin bung kalau mo jalan lagi ke sana; siapa tahu bisa ikutan.

namanya saja sudah menggetarkan; apalagi kalau sudah mencium wangi bunganya dan merasakan semilir angin gunungnya. weh.....

purwa said...

hhmmmm..... nama t4 nya hampir sama dengan nama t4 pave ku lho.
Sanggabuana yang satu di atas gunung sanggabuana yang satunya lagi di lembah yang indah nian. ;)

mel@ said...

eh... kalo disana... masih bisa minta oleh2 kan?... :D

artja said...

@cempluk hehe, ntar kalo ke surabaya, ta' bawain oleh2 deh

@aroengbinang jalan sama mas aroengbinang? wah, saya pasti minder. modal saya cuma Minolta srT101, kelahiran 1970... hihihi...

@purwa sanggabuana... gagah memang nama itu...

@mel@ oleh2 ...? berani-beraninya minta oleh2...? oke deh, ntar aku anterin ke bandung

Vie said...

Keindahan bukan saja membuat hati senang, tapi juga membuat kita puas. Keindahan yang diabadikan itu hanyalah komplimen (pelengkap). Tanpa diabadikan juga sudah diabadikan dihati dan ingatan kita. Serius amat nih... One more thing, matahari di Sanggabuana sama gak ya dengan matahari di Toronto?! (bingung aku&^%$#*@>)

GJ said...

setiap orang memeliki cara untuk dapat menemukan keindahanNya. dan salah satu yang paling "asyik" itu ya naik gunung.hi...mauuuuu...ajak2 ya kalau ke gunung lagi. InsyaAllah aku akan merepotkan, soalnya gak pernah siy.hehehe...jadi kata asyik itu masih dalam khayalan.

angin-berbisik said...

nice place mas :)

Putirenobaiak said...

kamu menuliskannya dengan indah, seolah yg baca (aku) ikut dlm perjalanan menakjubkan ini.

btw, kamu kerja dimana sih, enak bgt bisa jln2 trs ke hutan. *ngiri mode on*

Hannie said...

huaaahhh.... dah lama nih gw ga naek gunung. huhuhu... asyik banget yah bisa jalan2 molo... :)

Suparta 'kakek' A Lea said...

mampir atuh kalo naik ke ciremai lagi...

Suparta 'kakek' A Lea said...

kalo naik ciremai lagi mampir dong ke rumah gue...kan abis naik ciremai bisa nyantai dulu melepas lelah,rumah gue pas didepan gedung perundingan linggarjati di base camp Extreme Adventure Guide..kan kalo banyak kenalan bisa nambah temen dan kalo naik ciremai lagi kita bisa bareng...

Anonymous said...

hehehe....jadi ingat tempo dulu...Ciremai nan ngangeni....mantap mas! serasa ada disana lagi ketika membaca tulisanmu. btw, 2007 masih naik gunung????...Luar Biasa!!!!!!!!!!

Kicky said...

Begitu indah ciptaan Allah dan kita sebagai manusia harus bersyukur masih bisa marasakan indahnya ciptaan Allah.

Oh ya minta informasinya kalo mau jalan2 kesana mas siapa tahu kalo ada waktu pingin ikutan juga.
Berangkat rame-ramekan lebih seru...

faiz said...

bagrondnya agak mengganggu gan, jadi tulisannya kurang jelas..