Penulis: Jostein Gaarder
Tebal: 242 halaman
Penerbit: Mizan
Cetakan: 1
Tahun Terbit: 2005
Sebagai makhluk hidup yang punya keterbatasan umur, setiap manusia normal yang berpikirian sehat akan berusaha meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, terutama keluarganya sendiri. Ada yang meninggalkan warisan berupa harta yang tak akan habis selama tujuh turunan. Ada juga yang mewariskan bekal ilmu pengetahuan dengan bantuan pendidikan yang setinggi-tingginya. Sebab riwayat hidup manusia memang punya keterbatasan dalam hal waktu dan ruang.
Keterbatasan itu pula yang membuat manusia selalu bertanya tentang asal usul dan akhir kehidupan. Benarkah hanya saat ini saja kita hidup? Ataukah kita sebelumnya pernah hidup di alam lain? Atau benarkah saat kita mati nanti, riwayat kita memang benar-benar berakhir sampai di situ saja? Pertanyaan-pertanyaan serupa masih terus menggelitik alam pikiran manusia. Tentu saja, jawabannya kadang absurd. Jangankan untuk mengetahui kenyataan di luar hidup kita saat ini, bahkan mengetahui posisi kita dalam alam semesta yang luas ini pun kita belum mampu. Bukankah kita hanya bagian kecil saja dari semesta luas yang batasnya pun belum pernah terdeteksi?
Begitu juga Jaan Olav, seorang dokter yang sedang mengidap penyakit yang membuatnya tak bisa hidup berumur panjang. Sebagai dokter, tak sulit baginya untuk mengetahui bahwa sakit yang dideritanya sangat parah dan ia hanya punya kesempatan hidup enam bulan saja. Maka selama enam bulan terakhir dalam hidupnya, ia menuliskan surat untuk Georg Roed, anaknya yang masih 3,5 tahun. Kesedihan terbesarnya adalah menyadari bahwa ia tak akan melihat anaknya tumbuh besar. Ia tahu, kalau hanya harta benda yang diwariskan, maka itu semua tak akan berumur panjang. Maka ia wariskan pandangannya mengenai kehidupan ini pada anaknya lewat sebuah surat panjang.
Itu bukan surat biasa. Itu adalah kisah hidup Jan Olav sendiri, lengkap dengan pergulatan pikiran dan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Jan Olav, yang terperangkap dalam tubuh manusia, lemah dan tak mampu menentang datangnya kematian, mungkn sedikit protes pada kehidupan ini. Kalau pada akhirnya kita hanya mati, adakah kita perlu melanjutkan kehidupan? Pertanyaan itu dijawab dengan menulis surat untuk Georg anaknya yang saat itu belum dewasa.
Tapi tidak seperti surat wasiat biasa, ia malah menuliskan kisah tentang Gadis Jeruk, sebuah julukan bagi seorang gadis yang terlihat kali pertama saat membawa sekantung jeruk. Pertemuan pertama Jan Olav dengan Gadis Jeruk di sebuah trem membuka petualangan yang seru dan memikat dan mendominasi seluruh penuturan di buku ini. Sebagai kisah romantis, gaya penulisan buku ini mampu menjalin tema besar yang biasa diusung Jostein G dengan rapi. Pertanyaan-pertanyaan tentang Teleskop Hubble sekilas hanya sebagai pelengkap dan seolah kebetulan. Tapi bukankah kebetulan dalam kisah fiksi adalah kesengajaan yang dibuat oleh pengarang? Maka keberadaan teleskop raksasa yang diharapkan mampu mengetahui asal-usul jagat raya bukanlah hiasan pelengkap belaka. Namun merupakan instrumen yang sengaja dipasang untuk menggiring pembaca agar sampai pada tema besar yang dibawa Gardner.
Secara keseluruhan, kisah perburuan Gadis Jeruk oleh Jan Olav, yang disusun menjadi surat dan terbaca setelah belasan tahun kemudian, sangatlah memikat. Kita bisa saja membacanya hanya sebagai kisah romantis sepasang kekasih, tanpa harus terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis dari penulis. Terbukti, beberapa pembaca, dilihat dari review dan tinjauan buku yang ditulis di berbagai media, hanya membacanya sebatas kisah asmara romantis saja. Padahal, kandungan buku ini cukup berat. Tapi kepiawaian Jastein membungkus tema besar ini menjadikan buku ini terasa tipis bagi pembaca yang penasaran dengan akhir kisah asmara Jan Olav dengan Gadis Jeruk.
1 comment:
berat...berat...
Post a Comment