Wednesday, February 14, 2007

Gunung Semeru, Jawa Timur (2)


Ada sebuah anekdot. Konon, di Australia, sebuah majalah mengadakan kuis bagi pembacanya. Diajukanlah satu pertanyaan: "Apa yang Anda lakukan setelah bangun tidur?" Berbagai jawaban datang ke meja redaksi. Ada yang menjawab olah raga, mandi, sarapan, atau ke pasar. Tapi dari sekian jawaban yang masuk, ternyata jawaban yang membuat juri memilihnya sebagai juara adalah jawaban dari seorang pembaca berkebangsaan Indonesia. Mau tahu jawabannya? Dia menjawab dengan kalimat, "Hal yang saya lakukan setelah bangun dari tidur adalah istirahat."


Wah, luar biasa, bukan? Cerita itu teringat lagi saat aku terjaga lalu keluar tenda. Saat itu danau tertutup kabut. Suasananya sungguh indah, karena kabut itu melayang di atas permukaan danau. Semilir angin yang datang mengantarkan hawa yang luar biasa sejuk. Rasa sejuk yang berlebihan itu membuatku ingin kembali ke dalam kantung tidurku yang hangat. Ngapain? istirahat, tentu saja. Hehehe...

Tapi karena harus memenuhi panggilan alam (baca: buang hajat), aku memutuskan untuk tidak tidur lagi. Sebentar lagi pasti terang, dan kabut yang mengalun di atas danau akan tersaput angin, atau terusir oleh cahaya pagi. Maka aku menelusuri padang rumput yang basah. Mengusir butiran embun dari ujung-ujung daun dan bunga padang. Ini memang bagian paling aku suka dari perjalanan melintasi rimba belantara di Indonesia. Berjalan pelan melintasi padang rumput atau tepian hutan, mengamati alam yang mulai terjaga diiringi bunyi-bunyian khas aneka satwa yang juga mulai terjaga. Entah burung apa bertengger di cemara di atas kepalaku, tapi suaranya yang kecil dan riang membuat suasana hati menjadi senang.

Sekembalinya ke tenda, sarapan sedang dipersiapkan. Aroma kopi bubuk yang bertemu air panas menyeruak ke sekitar tenda. Dan aku mencium bau nasi yang sedang ditanak. Sebentar lagi sarapan akan siap. Kulihat lilis sedang meracik sesuatu di mangkuk kecil. Mungkin dia sedang menyiapkan telur dadar. Ah, betapa hidup itu sangat indah di tengah suasana alam yang memesona ini. Rasanya aneh juga membayangkan manusia bisa bertikai satu sama lain, padahal Sang Pencipta telah memberikan anugrah berupa bumi yang cantik dan memukau keindahannya ini.

Jam delapan tepat, kami bergerak menuju tanjakan mesra, yang menghubungkan danau Ranu Kumbolo dengan padang rumput Oro-Oro Ombo. Kenapa disebut tanjakan mesra? Entahlah, tapi tanjakan ini memang sangat menantang. Tak terlalu curam, tapi cukup panjang. Penduduk lokal akan dengan mudah melintasinya tanpa perlu berhenti untuk sekedar beristirahat dan menarik nafas. Tapi kebanyakan pendaki yang memanggul beban sekitar 25 kg di punggungnya, akan berhenti untuk menarik nafas dan mengatur langkah. Tak terkecuali aku. yang harus berhenti dua kali untuk meluruskan kaki dan melonggarkan dada dengan menghirupnya kuat-kuat. Tanjakan ini juga bisa terlihat di foto yang ada di bawah ini.

Setelah menyelesaikan tanjakan mesra, maka hamparan padang rumput luas segera menyambut. Dikelilingi bukit-bikit di kanan dan kirinya, padang ini terlihat begitu luas. Ada dua jalan, yaitu dengan langsung menuruni bukit tempat menyeberang dari Ranu Kumbolo, atau dengan menelusuri jalan setapak di lereng bukit di sebelah kiri. Tapi kedua jalan ini nantinya bertemu juga. Hanya saja, jalan di kiri lebih landai, karena turun perlahan-lahan. Aku menunggu agak lama sebelum turun ke padang ini. Supaya bisa mengambil foto ketika Lilis berjalan menyusuri jalan setapak di tengah lembah yang membelah padan grumput ini. Butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk melintasi padang rumput ini. Kalau terlalu siang melintasinya, pasti akan kepanasan.

Selepas Oro-oro Ombo, hutan langsung menyergap dengan semak-semak yang tumbuh rapat meskipun pohon-pohonnya tak terlalu lebat. Jalan setapak memaksa ktia naik turun bukit dengan pemandangan yang tak anyak variasi. Di sepanjang perjalanan, banyak ciplukan yang tumbuh dan bisa dicicipi dengan aman.

Sekitar tengah hari, hutan dengan pohon-pohon tinggi tadi akan melepas kita dan tibalah kita di sebuah area yang sering disebut dengan nama Jambangan (di peta tertulis dengan nama Badjangan). Cukup luas dan datar, dengan pohon edelweis yang tumbuh mengelilinginya. Biasanya para pendaki akan istirahat di sini. Memang cukup nyaman berleha-leha sambil makan siang dan menikmati semilir angin. Apalagi pemandangannya memang menakjubkan, karena puncak Semeru yang berpasir sudah bisa terlihat dari sini. Kita bisa menikmati keindahannya saat menyemburkan gumpalan awan kelabu yang limpahannya akan mengarah ke selatan atau barat, tergantung arah angin yang berhembus. Di sini kita merasa seolah-olah sudah sangat dekat dengan ouncak dan sedang berada di tempat yang cukup tinggi. Kelak terbukti, dari puncak Semeru, area ini ternyata tidak terlalu tinggi.

Bebera apel manalagi kami santap sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kali Mati. Sebenarnya ke arah Barat pun ada jalan setapak. Konon mengarah ke sebuah mata air. Tapi aku sendiri belum pernah melintasinya. Kata teman-teman sih, lokasinya angker. Tapi menurutku, angkernya karena jalannya memang sulit dan jarang dilewati, sehingga agak tersamar dan mudah membuat orang tersesat bila tak waspada.

Mulai jalan ini, tanah yang kita injak sudah bercampur pasir. Sehingga akan membuat sepatu maupun celana kita tampak lusuh berdebu. Terlebih lagi jika ada yang berlari, maka debu-debu akansegera beterbangan dan memaksa kita menutup hidung dan mulut. Meskipun demikian, sepanjang jalan kita akan disuguhi dengan pemandangan indah. Jalan menuju Kali Mati adalah lintasan berupa lembah yang diapit oleh dua bukit besar. Di sebelah kanan kita adalah Arcopodo, yang berujung di puncak Mahameru. Sedankan sebelah kiri adalah gunung Badjangan. Jalur sepanjang kurang lebih dua kilometer ini akan mengantar kita ke sebuah pertigaan dengan salah satu jalannya berupa bekas sebuah sungai yang berbatu-batu. Inilah Kali Mati dan kita akan segera mendaki lagi, melintasi hutan hingga batas vegetasi. Lalu jalan satunya ke mana? Entahlah, aku sendiri belum pernah melewati pertigaan ini dengan mengambil jalan lurus ke Timur yang tampaknya menurun itu. Tapi sepintas bisa kulihat bahwa jalan itu mengarah ke hutan di punggungan yang curam.

Tahap berikutnya adalah melalui Arcopodo. Jalan berbatu dan mendaki. Sungguh tak enak jalan di sini. Di sebelah kiri kita adalah jurang dengan lebar 15 meter dan kedalaman bervariasi mulai 5 hingga 20 meter. Terlihat indah memang, tapi itu adalah jalur batu yang di masa lalu tampaknya sering terjadi longsor. Atau menjadi lintasan aliran lahar?

Pohon-pohon mulai jarang di sini, dan didominasi oleh jenis cemara. Debu masih beterbangan setiap kali kaki melangkah. Ini membuat dahaga lekas mampir di kerongkongan (atau tenggorokan? apa bedanya sih?). Seharusnya sebelum gelap kita sudah sampai di batas vegetasi. Sebab akan sulit mencari tempat berkemah di sana. Tapi kondisi Lilis yang tampaknya kepayahan cukup sulit untuk diajak berpacu mengejar waktu. Maka aku menemaninya berjalan di belakang sementara yang lain bergerak cepat mencari lokasi camping. (sebenarnya aku sendiri agak payah kalau harus berlari, hehehe...). Oh iya, kalau sedang musim pendakian, area camping akan jadi rebutan. Semua ingin posisi yang pas di dekat batas vegetasi. Tidak terlalu jauh, agar summit attack tak terlalu lama, tapi juga tak terlalu dekat, menghindari angin dingin di area terbuka. Makanya harus cepat-cepat mendapatkannya.

Nah, hari sudah gelap, ketika aku dan Lilis pelan-pelan berjalan menyusul dua kawan kami. Ada juga pendaki yang sudha membuka tenda meski masih jauh dari batas vegetasi. Sepi, mungkin sudah sejak siang tadi mereka tiba dan sekarang sedang istirahat mengumpulkan tenaga untuk esok hari. Di sebelah Barat langit masih menyisakan warna tembaga. Matahari telah lama pergi, dan aku terpesona lagi. Sungguh menakjubkan melihat senja dari sela-sela pohon cemara dan semak yang tumbuh mengitari.

Sekitar pukul tujuh, aku sudah ada di lokasi camping. Tidak terlalu dekat dengan batas hutan, karena di sana sudah ramai dihuni beberapa rombongan pendaki. Tapi juga tak terlalu jauh, sehingga kami perkirakan bahwa pendakian ke puncak tinggal sekitar 3 hingga 4 jam lagi. Tenda sudah berdiri, dan aku sudah lapar lagi. Malam ini tak banyak kegiatan yang dilakukan selain masak dan makan malam. Selesai mengisi perut, kami segera memasuki kantung tidur. Tak lupa jam weker diatur agar bisa terjaga sekitar pukul satu dini hari. Karena kantung tidur yang dibawa Lilis tak sesuai dengan ukuran tubuhnya, maka aku bertukar tempat dengannya. Aku menggunakan kantung tidurnya, dan sebaliknya. Kebetulan kantung tidurku cukup sesuai dengan ukuran tubuhnya. (sekarang kantung tidur merk verdon berwarna biru dengan lapisan dalam oranye ( orange ) itu sudah dihibahkan untuk sekretariat Astacala ). Sempat juga bercanda meledek cewek satu-satunya di rombongan kami ini. Dia sempat mengatakan bahwa ini mungkin pendakian terakhirnya. Setelah ini, dia akan menjadi perempuan "normal" yang tinggal diam di rumah dan tidak melakukan hal-hal yang ke-tomboy-tomboyan lagi. Ah, apa harus seperti itu? Menjadi perempuan (muslimah) yang baik buka berarti harus diam saja di rumah 'kan? Atau dilarang melakukan aktivitas outdoor sport seperti mendaki gunung, 'kan? Lagipula, pakaian seorang muslimah yang baik tak seharusnya jadi penghalang aktifitas. Bukan begitu? Waktu menunjukkan pukul sembilan, tapi udara tak lagi sedingin kemarin malam. Hangat dan suasana ceria. Besok pagi, insya Allah kami akan segera menjejakkan kaki di tempat tertinggi di tanah Jawa ini.

bersambung.....

7 comments:

Cempluk Story said...

hmm.. i am like adventure..kayak nay seru n asik deh daki gunung..salam kenal mas artja :)

Iman Brotoseno said...

jadi ingat jaman kuliah naik gunung,..uhh pengen lagi, .salah satu cara mencintai Tuhan, dengan mencintai alam ciptaanNya

Anonymous said...

mas artja, denger ceritanya jadi kangen sama alam nih, aku dulu juga suka naik gunung dan ikut mapala di kampus, dari esema sampe kuliah tingkat 3, setelah itu mulai jarang. Pernah ke gunung dempo di sumsel gak? kalo belom cobain deh, gunung dempo itu no. 2 tertinggi di sumatera setelah g. kerinci di jambi.

Putirenobaiak said...

mampirlah du hutanku (ngaku2 neh)

www.gajahsumatra.org/tangkahan

u'll find the real adventure

Unknown said...

waaaaaah....bener2 petualang sejati neeh hehe...saluut [peace]

Neesha said...

mas,aku tunggu cerita petualangan selanjutnya!
wuihh..ckk..ckk..
salam kenal yah!:D

Trian Hendro A. said...

kapan jalan2 lagi mas? ikutan boleh? :)