Friday, February 23, 2007

Gunung Semeru, Jawa Timur (3)


Sepuluh meter di hadapan tampaknya merupakan tempat paling tinggi yang bisa terlihat. Wah, sedikit lagi puncak. Langkah kakipun dipercepat. hati diliputi semangat. Tapi setelah melangkah sepuluh meter, nyatalah bahwa sepuluh meter di depan, masih ada tempat yang lebih tinggi lagi. Tampaknya tempat itulah yang menjadi tempat paling tinggi. Begitu seterusnya, sampai hal itu tak lagi terpikirkan, sampai aku sendiri malas untuk memikirkan. Biarlah, mau sepuluh meter lagi, atau sejuta meter lagi, aku tak peduli. Aku akan terus melangkah, melangkah, hingga hilang pedih peri (ditulis dengan ingatan kepada puisi Aku karya Cahiril Anwar).


Sesuai rencana, kami terjaga pukul 01.00 dini hari. Angin di luar tenda membuat pohon-pohon seolah berbisik, dan udara terasa dingin.

Segera kami siapkan diri. Sleeping bag digulung rapi. Sarapan disiapkan, meski hari belum pagi. Apa menu kali ini? Nasi sisa malam masih ada, dan kami menyantapnya dengan siraman mie rebus yang hangat. Tak ketinggalan Cereal untuk menambah energi. Perbekalan pun sudah siap dalam day pack. Ada dua minuman kaleng, larutan air asem, biskuit, kamera, survival kit, bendera, senter, dan barang-barang lain yang sekiranya diperlukan nanti.

Selesai sarapan dan merapikan tenda, kami mulai melangkah diantara cemara-cemara yang tumbuh di atas tanah berpasir. Melewati beberapa nisan untuk mengenang pendaki-pendaki yang pernah menemui ajalnya di sini, juga tenda-tenda pendaki lain yang tampaknya sedang mempersiapkan diri juga.

Sepuluh menit kemudian, kawasan berpasir yang lapang terhampar di hadapan. Tidak ada tumbuh-tumbuhan lagi di kiri kanan jalan. Hanya bidang miring yang menunggu untuk dijejaki. Dengan kemiringan lebih dari tigapuluh derajat, bahkan mungkin sampai empatpuluh lima derajat. Langit sangat cerah, sehingga tanpa alat bantu penerangan semacam senterpun, jalan tetap terlihat. Suara nafas yang memburu beradu dengan langkah kaki-kaki yang segera diliputi debu.

Tak ada yang berubah di sepanjang jalan ini. Masih sama seperti yang aku lewati beberapa tahun yang lalu. Sepi. Hanya terdengar deru nafas saja. Sebenarnya aku pergi berempat, tapi di jalan ini, kami terpisah. Aku berdua saja, bersama Lilis yang tampaknya cukup terkejut dengan medan mendaki yang harus dihadapi. Beberapa kali ia berhenti. Tangannya diletakkan di tanah berpasir di hadapannya. Tubuhnya membungkuk, dan dari suaranya, ia tampaknya berusaha mengatur nafas.

Medan menuju puncak Semeru ini memang unik. Berbatu dan berpasir. Sangat berpasir. Beberapa teman berkomentar, "Jalan satu langkah, merosot lagi dua langkah." Agak berlebihan memang, karena kalau seperti itu, berarti kita akan mundur, tidak maju-maju. Tapi kondisi jalannya memang menantang. Tak mudah menjejakkan kaki dengan mantap. Kalau diam berdiri, kemungkinan besar kita akan turun pelan-pelan karena pasirnya tak cukup kuat untuk menahan agar kita tetap berada di tempat semula. Tapi kalau kita cukup bugar, puncak Semeru akan bisa dicapai dari batas vegetasi dalam waktu 3 - 4 jam. Sebaliknya, perjalanan turun akan lebih mudah, meskipun harus ekstra hati-hati. Waktu yang dibutuhkan untuk turun tak akan lebih dari satu jam! Tapi pagi ini, aku harus mengiringi Lilis, agar ia tak ketinggalan. Aku tak berani meninggalkannya berjalan sendirian. Bisa-bisa ia balik kanan. Bayangkan saja, di suatu tempat bernama Cemoro Tunggal (ditandai dengan adanya sebatang pohon cemara yang tumbuh di tengah lintasan), ia sudah bertanya, "Kak, masih jauh nggak?" Padahal kalau diukur, itu baru sepuluh persen perjalanan. Maka aku sadar bahwa aku sedang menghadapi tantangan yang lebih dari sekedar tantangan alam berupa medan menanjak dengan lintasan berpasir. Jauh dari itu, aku harus mampu menemani Lilis agar ia sampai di puncak. Agar semangatnya tak surut. Terus menerus mengingatkan dirinya bahwa ia mampu mencapai puncak. Bahwa manusia memang diciptakan dengan kemampuan yang lebih dari pada yang bisa ia sadari sendiri. Dan itu ternyata tak mudah.

Sepanjang perjalanan, aku sengaja mengajak Lilis bicara saat ia beristirahat. Maksudnya agar ia melupakan sulitnya perjalanan ini. Sangat lambat pergerakan kami berdua. Hampir setiap sepuluh langkah ia berhenti istirahat. Maka aku usul padanya agar berjalan terus selama sepuluh menit, lalu istirahat satu menit. Tapi ia tak menjawab. "Kok mau sih, mendaki Semeru susah-susah gini?" tanyaku mencoba memecah sepi. "Mau membuktikan sesuatu, ya?" Tapi dia masih diam. Entah kenapa. Mungkin ia tak mendengar suaraku.
"Kok diem aja ditanyain?"
Tiba-tiba ia menjawab dengan suara tinggi, "Jangan tanya-tanya dong. Nafas aja susah, gimana mau menjawab."

Astaga, ternyata ia memang kesulitan. Medan mendaki ini membuatnya harus mengoptimalkan kemampuan paru-parunya, sehingga tak ada ruang lagi untuk bicara. Apalagi bicara ngalor ngidul.

Begitulah, aku mencoba menikmati perjalanan ini. Satu menit berjalan lalu dua menit istirahat. Lilis tampaknya mulai menyadari sulitnya medan yang dihadapi. Maka ia pun mulai "bisa" bicara dan ngobrol selama istirahat. Lagipula, berdiam diri atau duduk istirahat terlalu lama akan membuat tubuh kita akan kedinginan. Segala hal kita bicarakan. Mulai maalah kuliah hingga keluarga. Mulai masalah dunia, hingga masalah akhirat.

Menurut prediksi semula, puncak Semeru akan bisa dicapai sebelum langi terang. Mungkin dua kawanku sudah ada di atas sana ketika matahai pelan-pelan mulai menebar tirai jingga di ufuk timur. Tapi dengan caraku dan Lilis berjalan, aku perkirakan akan sampai di puncak setelah pukul 08.00. Agak lama juga kami beristirahat saat subuh ini. Mencoba memahami cara alam yang sedang mengajarkan hal-hal luar biasa ini. Lihatlah ke timur sana, ketika langit yang menjelma dari gelap menjadi semburat jingga. Memerah dengan ujung tak terjangkau. Ada gumpalan awan yang menyuguhkan pemandangan fantastis. Memantulkan cahaya matahari, seolah-olah menjadi duta yang mengabarkan pada alam semesa, bahwa matahari akan segera tiba. Kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Satu hal yang pasti, kami berdua terpesona. Takjub, dan juga heran, mengapa di alam yang keindahannya tak terkira ini, manusia bisa saling membunuh dengan cara dan alasan yang terkadang tak masuk akal, bahkan konyol. Betapa setelah alam begitu teduh dan damai, manusia masih saja saling bertikai.

Tentu saja aku juga sibuk menjepretkan kamera. mencoba merekam moment-moment rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah mendaki gunung tinggi dan bersedia kedinginan di pagi buta. Rahasia kelahiran hari yang mungkin saja menjanjikan hal-hal positif setelah malam menyelimuti kita. Kami berdua melarutkan diri di tengah alam. Menafsirkan sendiri makna hadirnya cahaya terang yang membuat gelap terusir pergi. Barangkali impian kami tak sama. Barangkali isi hati kami juga jauh berbeda. Tapi di hadapan keindahan semesta ini, di tengah-tengah kesadaran penuh akan keterbatasan manusia dengan fisik lemahnya, kami menjalin bahasa yang sama meski tak berwujud aksara. Seolah kesadaran metafisis kami yang bercakap-cakap dalam bahasa yang seragam. Bahasa keindahan.

"Ayo jalan lagi," ajakku setelah hampir tigapuluh menit istirahat. Maka kami kembali menapaki medan mendaki ini. Masih dengan irama yang sama, pelan tapi pasti. Namun kali ini dengan kesadaran yang berbeda. Lebih menyadari arti hadir kami dalam hidup ini. Menyadari bahwa perjalan penuh kesulitan ini bisa menjadi sarana belajar yang sangat efektif sebagai bekal dalam "kehidupan nyata" kami. Tentu saja tiap kali berhenti istirahat, aku masih sibuk membuka pembicaraan. Mencoba terus memanaskan hatinya agar tetap semangat. Meskipun tampaknya Lilis sudah sangat kelelahan. Wajahnya mulai tampak bosan.

"Udah deh, Kakak duluan. Aku mau istirahat dulu," ujarnya setelah dia terduduk dan aku tak juga mampu membuatnya bangkit untuk berjalan lagi.
"Nggak mau. Kalau kamu nggak jalan, aku juga nggak akan jalan," jawabku.
"Ya udah, jangan nyuruh-nyuruh elist buat jalan, kalau begitu."
Aku tak menjawab, karena sesungguhnya aku memintanya berjalan agak cepat karena khawatir. Aku khawatir jika kami tiba di puncak terlalu siang. Bahaya, karena arah angin akan mengarah ke utara - barat. Membawa gas yang konon pernah membunuh Soe Hok Gie di ketinggian sana. Aku tak mau hal itu terjadi pada kami. Aku sendiri cukup yakin, kalau Lilis akan mampu ke puncak. Masalahnya, jam berapa ia akan tiba? Sangat tidak enak kalau dia hanya beberapa langkah menjelang puncak, lalu disuruh berbalik turun karena hari terlanjur siang. Itu sebabnya aku berusaha membujuknya agar mengurangi waktu istirahat dan menambah pergerakan.

"Ayo, deh. Dikit lagi nih," bujukku.
"Ugh," jawabnya sambil berdiri dan menghadap ke arah puncak. Kakinya dilangkahkan dengan cepat. Ah, ini dia. Kami akan segera tiba. Semeru, here we come...

Tapi baru sepuluh meter, dia berhenti lagi dan membalikkan badan. Duduk lagi. Menghadap pemandangan di bawah yang memang mampu membuat pikiran segar dan melupakan kelelahan. Gunung Gupolo, yang kemarin siang tampak begitu tinggi, ternyata sudah terlewati puncaknya. Tampak sangat kecil dan "tidak ada apa-apanya" dibandingkan Semeru ini.

"Aduh, kenapa berhenti lagi," keluhku.
"Ya udah, nggak usah nungguin. Jalan aja sana. Cepetan!" katanya memberengut. Tampangnya tampak sebal, tangannya dikibaskan mengusirku.
"Hehehe," jawabku sambil nyengir.
"Lagian ngapain sih pake nunggu-nungu?" sengit.
"Dikit lagi nih."
"Biarin."
"Paling sepuluh meter."
"Sebel."
"Ayo jalan."

Begitulah sepanjang jalan. Aku membujuknya sebisaku. Aku tak pandai merayu, maka aku langsung saja mengajaknya dengan kata-kata, "Ayo jalan," atau "Dikit lagi sampe." Dan sepanjang jalan pula, Lilis menjawab dengan wajah jengkel. Tapi aku tak pernah bosan, karena inilah satu-satunya cara agar kami tak kesiangan.

Usaha kami berdua memang akhirnya berhasil. Segera setelah melewati jalan yang sempit, hampir seperti celah diantara batu-batu dan tanah berpasir, tibalah kami di kawasan puncak. Beberapa pendaki tampak sedang menikmati suasana di tempat tertinggi di tanah Jawa ini. Lilis sendiri, tanpa aku duga, langsung merebahkan dirinya. Membiarkan punggungnya beradu dengan punggung tertinggi Semeru. Wajahnya menyeringai menghadap langit. Ah, kenapa dia tak melonjak kegirangan, atau melangkah dengan riang dan ringan akrena telah berhasil mencapai puncak. Tampaknya, ia lebih bersyukur bahwa tubuhnya tak perlu lagi harus dipaksa mengatasi gravitasi dan menambah ketinggian. Kopet, (nama aslinya Rifki Abdul Hafid) hanya berkomentar pendek, "Abis bikin gudeg, ya! Kok lama amat?" yang segera dijawab Lilis dengan tampana masam. Aku lihat arloji, menunjukkan pukul 08.30. Jadi aku dan Lilis sudah berjalan bersama selama enam jam! Pantas saja kopet merasa bosan menunggu.

Setelah menghabiskan perbekalan dan berpose menghadap kamera, kami pun segera turun. Berbeda dengan saat mendaki, tantangan pada saat turun jug atak mudah: debu yang membuat mata perih dan nafas sesak. Kemiringan medan juga membuat kita seolah-olah terdorong ke bawah, sehingga membuat kaki terasa berat menahan tubuh jika berjalan pelan-pelan. Jarak dengan kawan di depan pun harus dijaga agar tak mendapat "limpahan debu" yang membuat wajah kita seperti disaput bedak.

Sebentar saja, kami sudah tiba di tenda. Masih aman, tak ada satu pun barang hilang. Tak berubah sejak thaun 1989, ketika aku kali pertama datang ke sini. Berbeda dengan Kerinci yang agak rawan, sebab kawan saya pernah kehilangan satu carrier bag penuh (ransel) ketika dia melakukan summit attack di Kerinci. Padahal, carriernya itu "bermerk" dengan harga yang lumayan mahal. Belum lagi Trangia dan perlengkapan pribadi lainnya. Kalau di Seeru ini, relatif aman. Tentu saja asalkan tidak kita letakkan barang-barang perlengkapan kita di tengah jalan yang akan mengesankan sebagai barang tak bertuan.

Hanya satu jam kami istirahat di tenda, karena kami harus mengejar waktu agar ssebelum malam sudah tiba di Ranu Kumbolo. Maka kami segera berkemas. Packing, dan segera berangkat lagi. Melewati Arcopodo, Kali Mati, Djambangan (atau Badjangan), Oro-oro Ombo, sebelum tiba di Danau yang mampu membuat siapapun yang melihatnya terikat rindu.

3 comments:

Anonymous said...

memang pas kita ndaki, puncak sepertinya keliatan sudah deket, tapi begitu dijalanin kok gak nyampe2.. sama seperti cerita diatas analoginya, keliatan tinggal 10 meter tapi gak nyampe2. :)

Yunisa said...

gambarnya bagus =)

Anonymous said...

Subhannallah.....bener2 pengen ke ranu pane, ranu kumbolo, kalimati, mahameru...kapan ya bisa ke sana?