Tuesday, February 27, 2007

Maling

Seberapa sering Anda memakai software bajakan? Tiap hari? Sebulan sekali? Atau Anda selalu memakai Software dengan lisensi berbayar yang sudah Anda lunasi harganya? Saya tergelitik untuk mengajukan pertanyaan ini karena ternyata, banyak sekali teman-teman saya yang masih menggunakan software bajakan ini. Saya sih, nggak terlalu memersoalkan moral mereka yang menggunakan barang curian. Yang saya persoalkan, sebagai maling, teman-teman saya itu ternyata belum jadi maling yang canggih, karena ternyata mereka tak mampu mengoperasikan barang curiannya itu dengan optimal.

Ini saya simpulkan dari pengalaman saya saat bekerja sebagai IT Staff yang bertugas sebagai Computer Help Desk di kantor. Setiap hari, ada saja panggilan untuk saya. Problemnya macam-macam, mulai dari hardware hingga software. Kalau masalah hardware, saya bisa maklum karena tidak semua orang tertarik untuk ngoprek komputer. Tapi kalau software, terutama aplikasi office, nah, saya sama sekali nggak habis pikir.

Bayangkan saja kondisinya seperti ini:

Ada seorang yang ingin punya mobil mewah. Dia punya kemampuan untuk membelinya di dealer resmi. Dia juga sudah ditawari untuk menggunakan mobil lain yang meskipun bukan mobil mewah, tapi sudah bisa mengakomodasi keperluannya terhadap kendaraan. Tapi, dia tidak memilih untuk membeli mobil mewah itu di dealer resmi. Juga menampik tawaran mobil lain yang tidak mewah tadi. Dia, malah menggunakan mobil mewah tadi, tanpa mau membayarnya sesuai dengan harga resmi. Selesai? Belum. Karena ternyata, dia tidak bisa mengemudi dengan baik. Dia hanya sekedar bisa maju-mundur saja. Jangankan menggunakan segala fasilitas yang disediakan dalam mobil mewah itu, lha jalannya saja hanya bisa gigi satu!

Nah, di kantor juga begitu. Ada orang yang sangat fanatik menggunakan Microsoft Office. Tapi dia tak mau membelinya sesuai dengan lisensi. Maka, jadilah dia menggunakan software bajakan. Parahnya lagi, dia tidak bisa menggunakan software canggih itu sampai ke fitur-fitur terkecilnya. Paling-paling cuma dipakai untuk mengetik saja, lalu mencetaknya di printer. Sudah, itu saja. Dia sama sekali tak mau atau tak punya niat untuk mengoptimalkan hasil curiannya itu, misalnya saja, tak tahu cara menggunakan fasilitas function di Microsoft Excel. Atau tak tahu cara memanfaatkan Style Heading di Microsoft Word untuk mempermudah navigasi naskah atau dokumen yang berukuran besar dengan puluhan atau bahkan ratusan halaman.

Ini 'kan sebuah ironi. Seperti pencuri mobil, tapi nggak bisa nyupir. Seharusnya, kalau sudah nyuri, ya jadilah pencuri yang canggih, yang tahu betul bagaimana memanfaatkan hasil curiannya. Atau kalau tidak mau dibilang ndeso, ya mulailah beralih ke software aplikasi gratisan. Jangan lagi berkilah, "Wah, susah kalau harus belajar lagi dari nol." Lho, memangnya sekarang sudah ada di nilai 10 ? Kalau menggunakan software bajakan nilainya masih 3 atau 2, ya nggak usah fanatik gitu dong! Kenapa tidak mau membuka wawasan dengna mempelajari penggunaan software gratisan yang saat ini sudah sangat mudah penggunaannya. Apa mereka nggak tahu, bagaimana susahnya bikin software sekelas Microsoft Office itu? Lalu seenaknya saja menggunakannya tanpa emrasa perlu membayarnya? Kalau memang tidak mampu buat beli, ya pakailah software gratisan.

Friday, February 23, 2007

Gunung Semeru, Jawa Timur (3)


Sepuluh meter di hadapan tampaknya merupakan tempat paling tinggi yang bisa terlihat. Wah, sedikit lagi puncak. Langkah kakipun dipercepat. hati diliputi semangat. Tapi setelah melangkah sepuluh meter, nyatalah bahwa sepuluh meter di depan, masih ada tempat yang lebih tinggi lagi. Tampaknya tempat itulah yang menjadi tempat paling tinggi. Begitu seterusnya, sampai hal itu tak lagi terpikirkan, sampai aku sendiri malas untuk memikirkan. Biarlah, mau sepuluh meter lagi, atau sejuta meter lagi, aku tak peduli. Aku akan terus melangkah, melangkah, hingga hilang pedih peri (ditulis dengan ingatan kepada puisi Aku karya Cahiril Anwar).


Sesuai rencana, kami terjaga pukul 01.00 dini hari. Angin di luar tenda membuat pohon-pohon seolah berbisik, dan udara terasa dingin.

Segera kami siapkan diri. Sleeping bag digulung rapi. Sarapan disiapkan, meski hari belum pagi. Apa menu kali ini? Nasi sisa malam masih ada, dan kami menyantapnya dengan siraman mie rebus yang hangat. Tak ketinggalan Cereal untuk menambah energi. Perbekalan pun sudah siap dalam day pack. Ada dua minuman kaleng, larutan air asem, biskuit, kamera, survival kit, bendera, senter, dan barang-barang lain yang sekiranya diperlukan nanti.

Selesai sarapan dan merapikan tenda, kami mulai melangkah diantara cemara-cemara yang tumbuh di atas tanah berpasir. Melewati beberapa nisan untuk mengenang pendaki-pendaki yang pernah menemui ajalnya di sini, juga tenda-tenda pendaki lain yang tampaknya sedang mempersiapkan diri juga.

Sepuluh menit kemudian, kawasan berpasir yang lapang terhampar di hadapan. Tidak ada tumbuh-tumbuhan lagi di kiri kanan jalan. Hanya bidang miring yang menunggu untuk dijejaki. Dengan kemiringan lebih dari tigapuluh derajat, bahkan mungkin sampai empatpuluh lima derajat. Langit sangat cerah, sehingga tanpa alat bantu penerangan semacam senterpun, jalan tetap terlihat. Suara nafas yang memburu beradu dengan langkah kaki-kaki yang segera diliputi debu.

Tak ada yang berubah di sepanjang jalan ini. Masih sama seperti yang aku lewati beberapa tahun yang lalu. Sepi. Hanya terdengar deru nafas saja. Sebenarnya aku pergi berempat, tapi di jalan ini, kami terpisah. Aku berdua saja, bersama Lilis yang tampaknya cukup terkejut dengan medan mendaki yang harus dihadapi. Beberapa kali ia berhenti. Tangannya diletakkan di tanah berpasir di hadapannya. Tubuhnya membungkuk, dan dari suaranya, ia tampaknya berusaha mengatur nafas.

Medan menuju puncak Semeru ini memang unik. Berbatu dan berpasir. Sangat berpasir. Beberapa teman berkomentar, "Jalan satu langkah, merosot lagi dua langkah." Agak berlebihan memang, karena kalau seperti itu, berarti kita akan mundur, tidak maju-maju. Tapi kondisi jalannya memang menantang. Tak mudah menjejakkan kaki dengan mantap. Kalau diam berdiri, kemungkinan besar kita akan turun pelan-pelan karena pasirnya tak cukup kuat untuk menahan agar kita tetap berada di tempat semula. Tapi kalau kita cukup bugar, puncak Semeru akan bisa dicapai dari batas vegetasi dalam waktu 3 - 4 jam. Sebaliknya, perjalanan turun akan lebih mudah, meskipun harus ekstra hati-hati. Waktu yang dibutuhkan untuk turun tak akan lebih dari satu jam! Tapi pagi ini, aku harus mengiringi Lilis, agar ia tak ketinggalan. Aku tak berani meninggalkannya berjalan sendirian. Bisa-bisa ia balik kanan. Bayangkan saja, di suatu tempat bernama Cemoro Tunggal (ditandai dengan adanya sebatang pohon cemara yang tumbuh di tengah lintasan), ia sudah bertanya, "Kak, masih jauh nggak?" Padahal kalau diukur, itu baru sepuluh persen perjalanan. Maka aku sadar bahwa aku sedang menghadapi tantangan yang lebih dari sekedar tantangan alam berupa medan menanjak dengan lintasan berpasir. Jauh dari itu, aku harus mampu menemani Lilis agar ia sampai di puncak. Agar semangatnya tak surut. Terus menerus mengingatkan dirinya bahwa ia mampu mencapai puncak. Bahwa manusia memang diciptakan dengan kemampuan yang lebih dari pada yang bisa ia sadari sendiri. Dan itu ternyata tak mudah.

Sepanjang perjalanan, aku sengaja mengajak Lilis bicara saat ia beristirahat. Maksudnya agar ia melupakan sulitnya perjalanan ini. Sangat lambat pergerakan kami berdua. Hampir setiap sepuluh langkah ia berhenti istirahat. Maka aku usul padanya agar berjalan terus selama sepuluh menit, lalu istirahat satu menit. Tapi ia tak menjawab. "Kok mau sih, mendaki Semeru susah-susah gini?" tanyaku mencoba memecah sepi. "Mau membuktikan sesuatu, ya?" Tapi dia masih diam. Entah kenapa. Mungkin ia tak mendengar suaraku.
"Kok diem aja ditanyain?"
Tiba-tiba ia menjawab dengan suara tinggi, "Jangan tanya-tanya dong. Nafas aja susah, gimana mau menjawab."

Astaga, ternyata ia memang kesulitan. Medan mendaki ini membuatnya harus mengoptimalkan kemampuan paru-parunya, sehingga tak ada ruang lagi untuk bicara. Apalagi bicara ngalor ngidul.

Begitulah, aku mencoba menikmati perjalanan ini. Satu menit berjalan lalu dua menit istirahat. Lilis tampaknya mulai menyadari sulitnya medan yang dihadapi. Maka ia pun mulai "bisa" bicara dan ngobrol selama istirahat. Lagipula, berdiam diri atau duduk istirahat terlalu lama akan membuat tubuh kita akan kedinginan. Segala hal kita bicarakan. Mulai maalah kuliah hingga keluarga. Mulai masalah dunia, hingga masalah akhirat.

Menurut prediksi semula, puncak Semeru akan bisa dicapai sebelum langi terang. Mungkin dua kawanku sudah ada di atas sana ketika matahai pelan-pelan mulai menebar tirai jingga di ufuk timur. Tapi dengan caraku dan Lilis berjalan, aku perkirakan akan sampai di puncak setelah pukul 08.00. Agak lama juga kami beristirahat saat subuh ini. Mencoba memahami cara alam yang sedang mengajarkan hal-hal luar biasa ini. Lihatlah ke timur sana, ketika langit yang menjelma dari gelap menjadi semburat jingga. Memerah dengan ujung tak terjangkau. Ada gumpalan awan yang menyuguhkan pemandangan fantastis. Memantulkan cahaya matahari, seolah-olah menjadi duta yang mengabarkan pada alam semesa, bahwa matahari akan segera tiba. Kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Satu hal yang pasti, kami berdua terpesona. Takjub, dan juga heran, mengapa di alam yang keindahannya tak terkira ini, manusia bisa saling membunuh dengan cara dan alasan yang terkadang tak masuk akal, bahkan konyol. Betapa setelah alam begitu teduh dan damai, manusia masih saja saling bertikai.

Tentu saja aku juga sibuk menjepretkan kamera. mencoba merekam moment-moment rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah mendaki gunung tinggi dan bersedia kedinginan di pagi buta. Rahasia kelahiran hari yang mungkin saja menjanjikan hal-hal positif setelah malam menyelimuti kita. Kami berdua melarutkan diri di tengah alam. Menafsirkan sendiri makna hadirnya cahaya terang yang membuat gelap terusir pergi. Barangkali impian kami tak sama. Barangkali isi hati kami juga jauh berbeda. Tapi di hadapan keindahan semesta ini, di tengah-tengah kesadaran penuh akan keterbatasan manusia dengan fisik lemahnya, kami menjalin bahasa yang sama meski tak berwujud aksara. Seolah kesadaran metafisis kami yang bercakap-cakap dalam bahasa yang seragam. Bahasa keindahan.

"Ayo jalan lagi," ajakku setelah hampir tigapuluh menit istirahat. Maka kami kembali menapaki medan mendaki ini. Masih dengan irama yang sama, pelan tapi pasti. Namun kali ini dengan kesadaran yang berbeda. Lebih menyadari arti hadir kami dalam hidup ini. Menyadari bahwa perjalan penuh kesulitan ini bisa menjadi sarana belajar yang sangat efektif sebagai bekal dalam "kehidupan nyata" kami. Tentu saja tiap kali berhenti istirahat, aku masih sibuk membuka pembicaraan. Mencoba terus memanaskan hatinya agar tetap semangat. Meskipun tampaknya Lilis sudah sangat kelelahan. Wajahnya mulai tampak bosan.

"Udah deh, Kakak duluan. Aku mau istirahat dulu," ujarnya setelah dia terduduk dan aku tak juga mampu membuatnya bangkit untuk berjalan lagi.
"Nggak mau. Kalau kamu nggak jalan, aku juga nggak akan jalan," jawabku.
"Ya udah, jangan nyuruh-nyuruh elist buat jalan, kalau begitu."
Aku tak menjawab, karena sesungguhnya aku memintanya berjalan agak cepat karena khawatir. Aku khawatir jika kami tiba di puncak terlalu siang. Bahaya, karena arah angin akan mengarah ke utara - barat. Membawa gas yang konon pernah membunuh Soe Hok Gie di ketinggian sana. Aku tak mau hal itu terjadi pada kami. Aku sendiri cukup yakin, kalau Lilis akan mampu ke puncak. Masalahnya, jam berapa ia akan tiba? Sangat tidak enak kalau dia hanya beberapa langkah menjelang puncak, lalu disuruh berbalik turun karena hari terlanjur siang. Itu sebabnya aku berusaha membujuknya agar mengurangi waktu istirahat dan menambah pergerakan.

"Ayo, deh. Dikit lagi nih," bujukku.
"Ugh," jawabnya sambil berdiri dan menghadap ke arah puncak. Kakinya dilangkahkan dengan cepat. Ah, ini dia. Kami akan segera tiba. Semeru, here we come...

Tapi baru sepuluh meter, dia berhenti lagi dan membalikkan badan. Duduk lagi. Menghadap pemandangan di bawah yang memang mampu membuat pikiran segar dan melupakan kelelahan. Gunung Gupolo, yang kemarin siang tampak begitu tinggi, ternyata sudah terlewati puncaknya. Tampak sangat kecil dan "tidak ada apa-apanya" dibandingkan Semeru ini.

"Aduh, kenapa berhenti lagi," keluhku.
"Ya udah, nggak usah nungguin. Jalan aja sana. Cepetan!" katanya memberengut. Tampangnya tampak sebal, tangannya dikibaskan mengusirku.
"Hehehe," jawabku sambil nyengir.
"Lagian ngapain sih pake nunggu-nungu?" sengit.
"Dikit lagi nih."
"Biarin."
"Paling sepuluh meter."
"Sebel."
"Ayo jalan."

Begitulah sepanjang jalan. Aku membujuknya sebisaku. Aku tak pandai merayu, maka aku langsung saja mengajaknya dengan kata-kata, "Ayo jalan," atau "Dikit lagi sampe." Dan sepanjang jalan pula, Lilis menjawab dengan wajah jengkel. Tapi aku tak pernah bosan, karena inilah satu-satunya cara agar kami tak kesiangan.

Usaha kami berdua memang akhirnya berhasil. Segera setelah melewati jalan yang sempit, hampir seperti celah diantara batu-batu dan tanah berpasir, tibalah kami di kawasan puncak. Beberapa pendaki tampak sedang menikmati suasana di tempat tertinggi di tanah Jawa ini. Lilis sendiri, tanpa aku duga, langsung merebahkan dirinya. Membiarkan punggungnya beradu dengan punggung tertinggi Semeru. Wajahnya menyeringai menghadap langit. Ah, kenapa dia tak melonjak kegirangan, atau melangkah dengan riang dan ringan akrena telah berhasil mencapai puncak. Tampaknya, ia lebih bersyukur bahwa tubuhnya tak perlu lagi harus dipaksa mengatasi gravitasi dan menambah ketinggian. Kopet, (nama aslinya Rifki Abdul Hafid) hanya berkomentar pendek, "Abis bikin gudeg, ya! Kok lama amat?" yang segera dijawab Lilis dengan tampana masam. Aku lihat arloji, menunjukkan pukul 08.30. Jadi aku dan Lilis sudah berjalan bersama selama enam jam! Pantas saja kopet merasa bosan menunggu.

Setelah menghabiskan perbekalan dan berpose menghadap kamera, kami pun segera turun. Berbeda dengan saat mendaki, tantangan pada saat turun jug atak mudah: debu yang membuat mata perih dan nafas sesak. Kemiringan medan juga membuat kita seolah-olah terdorong ke bawah, sehingga membuat kaki terasa berat menahan tubuh jika berjalan pelan-pelan. Jarak dengan kawan di depan pun harus dijaga agar tak mendapat "limpahan debu" yang membuat wajah kita seperti disaput bedak.

Sebentar saja, kami sudah tiba di tenda. Masih aman, tak ada satu pun barang hilang. Tak berubah sejak thaun 1989, ketika aku kali pertama datang ke sini. Berbeda dengan Kerinci yang agak rawan, sebab kawan saya pernah kehilangan satu carrier bag penuh (ransel) ketika dia melakukan summit attack di Kerinci. Padahal, carriernya itu "bermerk" dengan harga yang lumayan mahal. Belum lagi Trangia dan perlengkapan pribadi lainnya. Kalau di Seeru ini, relatif aman. Tentu saja asalkan tidak kita letakkan barang-barang perlengkapan kita di tengah jalan yang akan mengesankan sebagai barang tak bertuan.

Hanya satu jam kami istirahat di tenda, karena kami harus mengejar waktu agar ssebelum malam sudah tiba di Ranu Kumbolo. Maka kami segera berkemas. Packing, dan segera berangkat lagi. Melewati Arcopodo, Kali Mati, Djambangan (atau Badjangan), Oro-oro Ombo, sebelum tiba di Danau yang mampu membuat siapapun yang melihatnya terikat rindu.

Wednesday, February 14, 2007

Gunung Semeru, Jawa Timur (2)


Ada sebuah anekdot. Konon, di Australia, sebuah majalah mengadakan kuis bagi pembacanya. Diajukanlah satu pertanyaan: "Apa yang Anda lakukan setelah bangun tidur?" Berbagai jawaban datang ke meja redaksi. Ada yang menjawab olah raga, mandi, sarapan, atau ke pasar. Tapi dari sekian jawaban yang masuk, ternyata jawaban yang membuat juri memilihnya sebagai juara adalah jawaban dari seorang pembaca berkebangsaan Indonesia. Mau tahu jawabannya? Dia menjawab dengan kalimat, "Hal yang saya lakukan setelah bangun dari tidur adalah istirahat."


Wah, luar biasa, bukan? Cerita itu teringat lagi saat aku terjaga lalu keluar tenda. Saat itu danau tertutup kabut. Suasananya sungguh indah, karena kabut itu melayang di atas permukaan danau. Semilir angin yang datang mengantarkan hawa yang luar biasa sejuk. Rasa sejuk yang berlebihan itu membuatku ingin kembali ke dalam kantung tidurku yang hangat. Ngapain? istirahat, tentu saja. Hehehe...

Tapi karena harus memenuhi panggilan alam (baca: buang hajat), aku memutuskan untuk tidak tidur lagi. Sebentar lagi pasti terang, dan kabut yang mengalun di atas danau akan tersaput angin, atau terusir oleh cahaya pagi. Maka aku menelusuri padang rumput yang basah. Mengusir butiran embun dari ujung-ujung daun dan bunga padang. Ini memang bagian paling aku suka dari perjalanan melintasi rimba belantara di Indonesia. Berjalan pelan melintasi padang rumput atau tepian hutan, mengamati alam yang mulai terjaga diiringi bunyi-bunyian khas aneka satwa yang juga mulai terjaga. Entah burung apa bertengger di cemara di atas kepalaku, tapi suaranya yang kecil dan riang membuat suasana hati menjadi senang.

Sekembalinya ke tenda, sarapan sedang dipersiapkan. Aroma kopi bubuk yang bertemu air panas menyeruak ke sekitar tenda. Dan aku mencium bau nasi yang sedang ditanak. Sebentar lagi sarapan akan siap. Kulihat lilis sedang meracik sesuatu di mangkuk kecil. Mungkin dia sedang menyiapkan telur dadar. Ah, betapa hidup itu sangat indah di tengah suasana alam yang memesona ini. Rasanya aneh juga membayangkan manusia bisa bertikai satu sama lain, padahal Sang Pencipta telah memberikan anugrah berupa bumi yang cantik dan memukau keindahannya ini.

Jam delapan tepat, kami bergerak menuju tanjakan mesra, yang menghubungkan danau Ranu Kumbolo dengan padang rumput Oro-Oro Ombo. Kenapa disebut tanjakan mesra? Entahlah, tapi tanjakan ini memang sangat menantang. Tak terlalu curam, tapi cukup panjang. Penduduk lokal akan dengan mudah melintasinya tanpa perlu berhenti untuk sekedar beristirahat dan menarik nafas. Tapi kebanyakan pendaki yang memanggul beban sekitar 25 kg di punggungnya, akan berhenti untuk menarik nafas dan mengatur langkah. Tak terkecuali aku. yang harus berhenti dua kali untuk meluruskan kaki dan melonggarkan dada dengan menghirupnya kuat-kuat. Tanjakan ini juga bisa terlihat di foto yang ada di bawah ini.

Setelah menyelesaikan tanjakan mesra, maka hamparan padang rumput luas segera menyambut. Dikelilingi bukit-bikit di kanan dan kirinya, padang ini terlihat begitu luas. Ada dua jalan, yaitu dengan langsung menuruni bukit tempat menyeberang dari Ranu Kumbolo, atau dengan menelusuri jalan setapak di lereng bukit di sebelah kiri. Tapi kedua jalan ini nantinya bertemu juga. Hanya saja, jalan di kiri lebih landai, karena turun perlahan-lahan. Aku menunggu agak lama sebelum turun ke padang ini. Supaya bisa mengambil foto ketika Lilis berjalan menyusuri jalan setapak di tengah lembah yang membelah padan grumput ini. Butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk melintasi padang rumput ini. Kalau terlalu siang melintasinya, pasti akan kepanasan.

Selepas Oro-oro Ombo, hutan langsung menyergap dengan semak-semak yang tumbuh rapat meskipun pohon-pohonnya tak terlalu lebat. Jalan setapak memaksa ktia naik turun bukit dengan pemandangan yang tak anyak variasi. Di sepanjang perjalanan, banyak ciplukan yang tumbuh dan bisa dicicipi dengan aman.

Sekitar tengah hari, hutan dengan pohon-pohon tinggi tadi akan melepas kita dan tibalah kita di sebuah area yang sering disebut dengan nama Jambangan (di peta tertulis dengan nama Badjangan). Cukup luas dan datar, dengan pohon edelweis yang tumbuh mengelilinginya. Biasanya para pendaki akan istirahat di sini. Memang cukup nyaman berleha-leha sambil makan siang dan menikmati semilir angin. Apalagi pemandangannya memang menakjubkan, karena puncak Semeru yang berpasir sudah bisa terlihat dari sini. Kita bisa menikmati keindahannya saat menyemburkan gumpalan awan kelabu yang limpahannya akan mengarah ke selatan atau barat, tergantung arah angin yang berhembus. Di sini kita merasa seolah-olah sudah sangat dekat dengan ouncak dan sedang berada di tempat yang cukup tinggi. Kelak terbukti, dari puncak Semeru, area ini ternyata tidak terlalu tinggi.

Bebera apel manalagi kami santap sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kali Mati. Sebenarnya ke arah Barat pun ada jalan setapak. Konon mengarah ke sebuah mata air. Tapi aku sendiri belum pernah melintasinya. Kata teman-teman sih, lokasinya angker. Tapi menurutku, angkernya karena jalannya memang sulit dan jarang dilewati, sehingga agak tersamar dan mudah membuat orang tersesat bila tak waspada.

Mulai jalan ini, tanah yang kita injak sudah bercampur pasir. Sehingga akan membuat sepatu maupun celana kita tampak lusuh berdebu. Terlebih lagi jika ada yang berlari, maka debu-debu akansegera beterbangan dan memaksa kita menutup hidung dan mulut. Meskipun demikian, sepanjang jalan kita akan disuguhi dengan pemandangan indah. Jalan menuju Kali Mati adalah lintasan berupa lembah yang diapit oleh dua bukit besar. Di sebelah kanan kita adalah Arcopodo, yang berujung di puncak Mahameru. Sedankan sebelah kiri adalah gunung Badjangan. Jalur sepanjang kurang lebih dua kilometer ini akan mengantar kita ke sebuah pertigaan dengan salah satu jalannya berupa bekas sebuah sungai yang berbatu-batu. Inilah Kali Mati dan kita akan segera mendaki lagi, melintasi hutan hingga batas vegetasi. Lalu jalan satunya ke mana? Entahlah, aku sendiri belum pernah melewati pertigaan ini dengan mengambil jalan lurus ke Timur yang tampaknya menurun itu. Tapi sepintas bisa kulihat bahwa jalan itu mengarah ke hutan di punggungan yang curam.

Tahap berikutnya adalah melalui Arcopodo. Jalan berbatu dan mendaki. Sungguh tak enak jalan di sini. Di sebelah kiri kita adalah jurang dengan lebar 15 meter dan kedalaman bervariasi mulai 5 hingga 20 meter. Terlihat indah memang, tapi itu adalah jalur batu yang di masa lalu tampaknya sering terjadi longsor. Atau menjadi lintasan aliran lahar?

Pohon-pohon mulai jarang di sini, dan didominasi oleh jenis cemara. Debu masih beterbangan setiap kali kaki melangkah. Ini membuat dahaga lekas mampir di kerongkongan (atau tenggorokan? apa bedanya sih?). Seharusnya sebelum gelap kita sudah sampai di batas vegetasi. Sebab akan sulit mencari tempat berkemah di sana. Tapi kondisi Lilis yang tampaknya kepayahan cukup sulit untuk diajak berpacu mengejar waktu. Maka aku menemaninya berjalan di belakang sementara yang lain bergerak cepat mencari lokasi camping. (sebenarnya aku sendiri agak payah kalau harus berlari, hehehe...). Oh iya, kalau sedang musim pendakian, area camping akan jadi rebutan. Semua ingin posisi yang pas di dekat batas vegetasi. Tidak terlalu jauh, agar summit attack tak terlalu lama, tapi juga tak terlalu dekat, menghindari angin dingin di area terbuka. Makanya harus cepat-cepat mendapatkannya.

Nah, hari sudah gelap, ketika aku dan Lilis pelan-pelan berjalan menyusul dua kawan kami. Ada juga pendaki yang sudha membuka tenda meski masih jauh dari batas vegetasi. Sepi, mungkin sudah sejak siang tadi mereka tiba dan sekarang sedang istirahat mengumpulkan tenaga untuk esok hari. Di sebelah Barat langit masih menyisakan warna tembaga. Matahari telah lama pergi, dan aku terpesona lagi. Sungguh menakjubkan melihat senja dari sela-sela pohon cemara dan semak yang tumbuh mengitari.

Sekitar pukul tujuh, aku sudah ada di lokasi camping. Tidak terlalu dekat dengan batas hutan, karena di sana sudah ramai dihuni beberapa rombongan pendaki. Tapi juga tak terlalu jauh, sehingga kami perkirakan bahwa pendakian ke puncak tinggal sekitar 3 hingga 4 jam lagi. Tenda sudah berdiri, dan aku sudah lapar lagi. Malam ini tak banyak kegiatan yang dilakukan selain masak dan makan malam. Selesai mengisi perut, kami segera memasuki kantung tidur. Tak lupa jam weker diatur agar bisa terjaga sekitar pukul satu dini hari. Karena kantung tidur yang dibawa Lilis tak sesuai dengan ukuran tubuhnya, maka aku bertukar tempat dengannya. Aku menggunakan kantung tidurnya, dan sebaliknya. Kebetulan kantung tidurku cukup sesuai dengan ukuran tubuhnya. (sekarang kantung tidur merk verdon berwarna biru dengan lapisan dalam oranye ( orange ) itu sudah dihibahkan untuk sekretariat Astacala ). Sempat juga bercanda meledek cewek satu-satunya di rombongan kami ini. Dia sempat mengatakan bahwa ini mungkin pendakian terakhirnya. Setelah ini, dia akan menjadi perempuan "normal" yang tinggal diam di rumah dan tidak melakukan hal-hal yang ke-tomboy-tomboyan lagi. Ah, apa harus seperti itu? Menjadi perempuan (muslimah) yang baik buka berarti harus diam saja di rumah 'kan? Atau dilarang melakukan aktivitas outdoor sport seperti mendaki gunung, 'kan? Lagipula, pakaian seorang muslimah yang baik tak seharusnya jadi penghalang aktifitas. Bukan begitu? Waktu menunjukkan pukul sembilan, tapi udara tak lagi sedingin kemarin malam. Hangat dan suasana ceria. Besok pagi, insya Allah kami akan segera menjejakkan kaki di tempat tertinggi di tanah Jawa ini.

bersambung.....