Senin, 6 September 1999
Pagi ini nggak ada yang terlambat bangun. Maka jam 08.00 sudah bisa mulai sarapan. Jam 09.00, kami berger lagi, dengan target Taman Hidup. Wied kelihatan sudah bosan dengan hutan. Padahal baru seminggu. Sebelum berger, api kumatikan dengan bantuan golok tebas. Karena nggak bisa cepat, aku siram dengan air. Yang lain protes. Maka aku membuka ikat pinggang, pura-pura memelorotkan celana. Yang lain ngacir, sebab aku memang akan melakukan upacara adat: mematikan api dengan cara kencing di tumpukan unggun. Aku ngakak mendengar sumpah serapah mereka. Tapi karena hanya sendirian, baranya masih saja nyala. Maka aku kubur saja dengan tanah. Ternyata efektif.
Lima menit aku ketinggalan rombongan. Weh, cepet juga mereka jalan. Lintasan mulai turun terus, tapi mepet jurang. Aku beberapa kali berhenti. Mebiarkan mereka jalan di depan, kemudian berlari menusul. Kalau jalan terlalu pelan, dengkulku gemetar. Kuhitung-hitung, aku tujuh kali jatuh. Terpeleset, tapi nggak sampe masuk jurang.
Sepanjang jalan radio aku nyalakan. Di depanku Lilis, kadang mengikuti lagu dari radio yang siarannya sudah mulai bervariasi. "I can see clearly now, the rain has gone..." Hmm... suaranya merdu juga ...kalau dibandingkan dengan suara beruk di atas sana. Hehehe... Hutan mulai rapat, dan gelap.
Jam 13.00, sampailah kami di pertigaan taman hidup. Ketika melihat danau, anak-anak langsung teriak-teriak. Ajaib, ternyata yang dikatakan kuya benar: kabut akan turun di taman hidup kalau kita teriak-teriak. Tapi nggak lama, paling-paling setengah jam sudah terang lagi. Kau masak hun kue pake gula merah dan coklat tulip yang dicairkan. Tapi nggak laku. Masih kenyang? Mungkin rasanya memang nggak enak. Ketika diajukan usul untukbermalam lagi, nggak ada yang nyahut. Baguslah, aku juga agak merinding di sini. Mungkin karena kedinginan. Foto-foto di dermaga kayu. Kalau melihat tanah di sekitarnya, rasanya akan berubah jadi rawa di musim hujan. Dua jam di sini, kami berger lagi. Berjalan malas-malasan, menghabiskan film, dan lagi-lagi kesepian.
Jam 17.00, sampai di hutan damar. Terdengar deru motor. Mungkin ada yang sedang menggergaji pohon atau membelah kayu. Kulihat beberapa lokasi bekas penampungan kayu tebangan. Di ujung hutan damar, lagi-lagi anak-anak berhenti. Padahal ladang penduduk sudah kelihatan. Yeni tanya jam, aku bilang jam setengah enam Eh, dia nggak percaya! sialan. Aku berdiri, dan tanpa ba-bi-bu langsung lari menuju ladang. Biar rasa kemaleman di ladang, sumpahku. Nggak tahu, apa mereka nyusul atau nggak. Aku udah bosan. Di kebon kopi, aku papasan dengan sapi yang lagi makan di tengah jalan. Wah, kok nggak mau nyingkir dia? Aku agak-agak takut juga. Takut kalau ditaksir. Terpaksa aku jalan di pinggir. Tapi sapi itu mendekat. Wah, aku masuk ke ladang saja. Setelah aman, aku baru sadar kalau ada dua anak yang diam-diam memperhatikan aku. Mereka ketawa ngikik. Bisik-bisik dalam bahasa yang aku nggak ngerti. Brengsek. Tiba di warung pertama, aku beli semangka. Trik ajah, sebenarnya mau tanya lokasi rumah bu pudji. Ternyata nggak jauh lagi. "Dekat turunan," ujar ibu warung. Di dekat turunan, aku tanya lagi pada tiga anak kecil. Mereka mengantar ke rumah bu pudji. Hah, langsung ngasih limaribuan kepada bu pudji. Buat beli susu. Aku mandi di kantor polisi. Wangi, sebab keramas dan pake biore. Selesai mandi, sudah ada kopi susu. Masih panas. Aku ke dapur. Tanya ini itu pada pak pudji. Ternyata dulu beliau sering jadi porter buat orang-orang yang berburu ke sikasur. Banyak macan, katanya. Tapi karena macannya sudah mulai habis, maka yang banyak sekarang adalah rusa. Iya sih, aku liat beberapa rusa di sikasur. Mungkin banyak lagi di sekitarnya.
Jam 19.00, anak-anak belum sampai. Aku pamit pada bu pudji. Mau kemana? tanyanya. Tapi beliau marah, katanya: "WONG EDAN!!!" waktu aku bilang anak-anak masih di belakang, dan cewek semua. Aku cuma nyengir. Baru saja aku buka pintu, terdengar suara yeni. Haha, dia marah-marah. Yang lain memberengut. Cemberut. Apalagi tau kalau aku sudah mandi dan wangi. Mereka diantar seorang penduduk. Rupanya tersesat di kebon kopi. Sukurin loe...! Mereka nggak mandi malam ini. Cuma cuci muka. Karena rumah bu pudji sepi, tak ada pendaki lain, aku diminta bu pudji (yang masih marah-marah karena aku ninggalin anak-anak) utuk tidur di kamar depan. Wah, istana nih. Yang lain tidur sama bu pudji.
No comments:
Post a Comment