Jum'at, 27 September 1999
Pagi
Inventarisir barang-barang yang akan dibawa. Aku sempatkan mengasah tramontina. Membersihkan Trangia (rantang buatan singapura). Mencari pinjaman Victorinox pada Germo. Memilih kompas dan protaktor. Menyiapkan carrier Rhino milik ewok. Memeriksa dan menjemur tenda, fly sheet, dan sleeping bag, serta mencari sepatu yang cukup nyaman. Di gudang ada banyak sepatu, tapi kebanyakan sepatu tentara. Wueks....
Tapi karena nggak ada pilihan, terpaksa dipake juga. Itung-itung kembali ke jaman susah. Untungnya kaki ini sudah cukup terbiasa dengan ceko. Bahkan dulu kuliahpun aku pakai sepatu berat ini. Maka kusemir saja sepasang yang masih bagus dan bias aku pakai dulu.
Siang
Aku pergi ke kota (begitulah kami di Dayeuh Kolot menyebut Bandung). Peta pesananku sudah dicetak. Aku memilih peta versi US - AMS ( US Army Map Service) skala 1:50.000 dengan harga Rp 4.000 per lembar, meskipun Direktorat Geologi punya versi sendiri dengan skala 1:25.000. Untuk peta Klakah, aku cuma pesan satu lembar. Tapi aku juga pesan gunung Arjuno dan Cicurug (Gunung Salak). Rencananya peta itu akan aku fotokopi. Kebetulan di belakang Geologi (jalan Suci) ada kios fotokopi yang besar.
Ternyata setelah ditanya, peta sebesar itu kalau difotokopi akan memerlukan biaya sebesar Rp 3.500. Tau gitu 'kan aku pesan di geologi aja, cuma selisih 500 perak. Dengan sedikit dongkol aku membayar Rp 14.000 untuk empat lembar fotokopian peta. Pas, sesuai dengan jumlah personel yang berangkat. Kalau mau pesan lagi, jadinya besok, sebab hari sudah siang, dan bapak yang ngurusin peta kayaknya lagi males.
Sore
Selesai fotokopi, aku nggak langsung pulang ke sekretariat. Mampir sebentar di pasar Jatayu untuk beli kaos kaki, beli ponco, serta melihat-lihat kompas bekas. Ada beberapa kompas "England" eks TNI AD yang menarik perhatian. Satuannya bukan mil, tapi derajat. Umurnya baru dua tahun, dan kondisinya masih gres. Aku tawar Rp 125.000, tapi nggak dikasih. Ditawari kompas dangdut limapuluh ribu perak (yang jarumnya nggak bisa diem sebelum subuh datang) tapi aku cuma ketawa aja. Lagipula, aku sudah punya England satu. Kalau dikasih, aku mau beli buat inventaris sekre. Sempat lihat pisau yang bentuknya aneh. Kata yang jual, itu kukri, pisau tradisional suku gurkha. Wah, kapan tentara inggris asal gurkha kehabisan bekal, hingga harus jual barang ke pasar loak ini? Aku nggak tanya, karena takut dituduh mau beli. Pisau begituan buat apa? mending dibeliin Tramontina.
Sampai di sekretariat, ternyata mereka yang belanja sudah pulang dengan barang-barang belanjaannya. Tinggal dibagi dan didistribusikan saja. Mereka nggak beli nutrisari, tapi belinya merk murahan. Juga nggak ada coca-cola. Lalu aku makan siang sama ewok dan oji di kantin. Oji sepertinya kecewa karena nggak boleh ikut. Tapi ewok menegaskan, bahwa semua anggota aktif sedang dibutuhkan tenaganya oleh sekretariat.
Malam
Sempat berunding sebentar dengan tim inti. Diputuskan untuk beli tiket di stasiun saja, menjelang keberangkatan. Nggak perlu pesan-pesan segala. Kereta kencana yang dipilih adalah Kahuripan. Harga tiketnya seharga lima gelas jus alpukat...murah banget. Udah kebayang deh, fasilitas dan kenyamanannya seperti apa.
Kemudian aku mengumpulkan data-data Argopuro. Kebanyakan dari laporan perjalanan sebelumnya. Juga dari fotokopian laporan oknum W (baca: Wanadri). Cukup banyak juga datanya. Tapi karena laporan mereka kurang baik secara struktur kronologis, maka aku berinisiatif untuk melakukan wawancara dengn kuya dan bejat.
Interview with vampire ini berlangsung di kantin, sambil makan ayam goreng bumbu pecelnya bulik dan kopi pahit tanpa gula (biar awet, nggak cepat habis). Bejat menjawab pertanyaan sambil mengangkat kaki dan menghisap dalam-dalam asap djarum coklatnya, sementara kuya sambil mengaduk air jeruk dan mengibas -ngibaskan tangan kirinya, mengusir sergapan asap dari mulut goanya bejat. Hasilnya seperti ini:
Laporan Perjalanan Astacala ke Argopuro (versi kuya dan bejat)
Jalur Baderan:
Probolinggo
|
naik bis jurusan banyuwangi / bondowoso 4 jam
|
Besuki
Ke kantor Polisi, Lapor, dan minta ijin menginap di musholla
|
1 - 1,5 jam naik angkot dari pasar khewan
|
Pos Jagawana (Warung Pak Bachri, Baderan)
|
Kebun dan Ladang Penduduk 2 jam
|
Batas hutan dan ladang (HM 20)
|
Hutan 1,5 jam
|
Mata Air 1 (HM 43)
|
Hutan 2,5 jam
|
Mata Air 2, Cemoro Lawang (HM 67)
Airnya sedikit. Kadang jadi sungai kering
|
Hutan cemara, pinggir jurang 1 jam
|
Alum-alun kecil (HM 98)
|
Savana 1 jam
|
Alun-alun besar, Sikasur (HM 168)
“Seperti di film The Legend of The Fall,” kata bejat, “Marlboro country.
Jangan buru-buru di sini. Ambil waktu dan foto sebanyak-banyaknya!”
Di sungai kolbu, banyak selada air.
“Surganya pendaki,” kata kuya
|
Savana dan ladang edelweis 3 jam
|
Cisentor (atau sisentor?)
Airnya deras, Mau mandi juga bisa.
|
2 jam
|
Rawa Embik
|
1 jam
|
Puncak Rengganis
Hawanya mistis
“Boleh juga nyajen, biar enteng jodoh,” lupa siapa yang ngomong gitu
|
1 jam
|
(Cisentor)
|
3 jam
|
Aing kenek
|
3 jam
|
Taman Kering
|
2 jam
|
Taman Hidup
“Jangan rame, nanti kabutnya turun,” kata kuya
|
2 jam
|
Bremi, Krucil
|
naik bis jurusan banyuwangi / bondowoso 4 jam
|
Besuki
Ke kantor Polisi, Lapor, dan minta ijin menginap di musholla
|
1 - 1,5 jam naik angkot dari pasar khewan
|
Pos Jagawana (Warung Pak Bachri, Baderan)
|
Kebun dan Ladang Penduduk 2 jam
|
Batas hutan dan ladang (HM 20)
|
Hutan 1,5 jam
|
Mata Air 1 (HM 43)
|
Hutan 2,5 jam
|
Mata Air 2, Cemoro Lawang (HM 67)
Airnya sedikit. Kadang jadi sungai kering
|
Hutan cemara, pinggir jurang 1 jam
|
Alum-alun kecil (HM 98)
|
Savana 1 jam
|
Alun-alun besar, Sikasur (HM 168)
“Seperti di film The Legend of The Fall,” kata bejat, “Marlboro country.
Jangan buru-buru di sini. Ambil waktu dan foto sebanyak-banyaknya!”
Di sungai kolbu, banyak selada air.
“Surganya pendaki,” kata kuya
|
Savana dan ladang edelweis 3 jam
|
Cisentor (atau sisentor?)
Airnya deras, Mau mandi juga bisa.
|
2 jam
|
Rawa Embik
|
1 jam
|
Puncak Rengganis
Hawanya mistis
“Boleh juga nyajen, biar enteng jodoh,” lupa siapa yang ngomong gitu
|
1 jam
|
(Cisentor)
|
3 jam
|
Aing kenek
|
3 jam
|
Taman Kering
|
2 jam
|
Taman Hidup
“Jangan rame, nanti kabutnya turun,” kata kuya
|
2 jam
|
Bremi, Krucil
Apakah data itu valid ?
Entahlah. Aku tidak recheck ke laporan cetak. Yang saat itu terpikirkan adalah angkutan menuju desa terakhir dan dari desa terakhir. Biasanya itulah yang bermasalah, bukan perjalanan di gunungnya. Lagipula waktunya mepet. Seharusnya tim inti yang sudah punya rencana sejak jauh hari, sudah punya inisiatif mengumpulkan data dan membuat prediksi waktu dengan ploting proyeksi garis kontur ke bidang sampingnya. Sehingga bisa terbaca jalur beserta kemiringan medan dan perkiraan waktu tempuhnya. Tapi ternyata peta pun mereka belum pesan. Mungkin itulah perlunya pendamping perjalanan bagi AM (Anggota Muda): supaya bisa mengevaluasi kesalahan-kesalahan mereka (baca: membego-begokan junior...)
Setelah mendapat data-data, aku serahkan keputusan perencanaan perjalanan kepada Trio Detektif dari Bojong Soang, Dayeuh Kolot. Lalu ketiganya, berdasarkan data di atas, menyusun rencana perjalanan sbb:
Malam ke-1 : Di kereta
Malam ke-2 : Di Besuki
Malam ke-3 : Camp I : Batas hutan dan ladang (HM 20)
Malam ke-4 : Camp II : Mata Air 2, Cemoro Lawang (HM 67)
Malam ke-5 : Camp III : Alun-alun besar, Sikasur (HM 168)
Malam ke-6 : Camp IV : Cisentor (atau sisentor?)
Malam ke-7 : Camp V : Cisentor (sebelum turun)
Malam ke-8 : Camp VI : Taman Hidup
Malam ke-9 : Di Bremi
Malam ke-10: Di kereta
Malam ke-11: Tidur di sekre / kosan
Apa rencana ini bisa terlaksana? Nggak tau. Yang penting kerja mereka sudah sesuai dengan SOP. Tanpa rencana sesuai SOP, mereka akan dibantai di sidang anggota muda nantinya. Dan kalau mereka dibantai, pasti senior pendampingnya akan kena tegur juga! Cilaka tigabelas kalau begitu.
No comments:
Post a Comment