Monday, October 16, 2006

Argopuro 1999 - Bagian 3

Perjalanan Menuju Argopuro

Sabtu, 28 September 1999

Pagi

Sarapan dengan nasi goreng di kantin. Rasanya nggak enak, hambar. Sepertinya perbandingan antara nasi dan bumbunya tidak proporsional. Tapi karena lapar, kuhabiskan juga. Selesai sarapan, sempat menemani bejat berkebun. Dia sedang menggali lubang ukuran satu meter kali satu meter kali satu meter. Katanya mau tanam duku.... Kebun Astacala memang heterogen. Aku ikut nyangkul, tapi baru sebentar saja sudah basah semua pakaianku dengan peluh. Aku nonton lagi ajah. Ternyata jadi petani itu cuapek ya?


Aku duduk dekat pohon bougenvilee, di pinggir kolam. Sambil menonton bejat yang menjelma menjadi petani. Sambil menunggu kamar mandi kosong dan memenuhi panggilan alam (baca: BAB alias e'o)

Menjelang Siang

Jalani hidup
Tenang, tengang, tenanglah
seperti karang
sebab persolan
bagai gelombang
tenanglah tenang
tenanglah kawan.

Tak pernah malas
Persoalan yang datang
hantam kita
dan kita tak mungkin
untuk menghindar
semuanya
sudah suratan.

Lagu iwan fals itu, seperti biasa mengiringi aku packing. Seperti anak-anak PR lainnya bila sedang packing, mereka akan memutar keras-keras lagu itu. Sengaja aku keraskan volumenya dan packing di tengah-tengah ruangan gedung I. Aku gelar ponco, dan semua barang aku tumpahkan di atasnya. Biar semua orang bangun tidur dan melihatku, lalu iri dengan perjalanan kami. Benar saja, Ewok, Ulil, Balok, Bejat, Kenthung, dll ikut menonton kesibukanku. "Wah, lu bikin gua ngiler, bluk," ujar ulil. "Ini buka di sini aja. nih," seru balok sambil menimang Nata de Coco. Hehe, itu menu spesial yang hanya boleh dibuka di puncak.

Maka aku packing dengan mata awas. Bukan karena khawatir pada pencoleng, melainkan karena ada kebiasaan: hasil packingan kita akan "diberi hadiah" berupa tambahan muatan. Barangnya bisa macam-macam. Pernah ada yang carriernya diberi barbel kecil seberat sekilo! Kadang ada juga piala kecil, atau patung-patungan. Masih untung kalau cuma dikasih batu, bisa dibuang di mana saja. Yang repot kalau dibawakan barang-barang inventaris sekre seperti setrikaan, jam dinding, atau vandel dan piala dari pihak ketiga. Sebab harus dibawa utuh kembali ke Bandung. Meskipun aku cukup yakin, tak ada yang berani ngisengin carriernya senior. Selesai packing, aku mandi lagi.

Sore

Aku tidur di ruang tidur sekre, tapi kemudian ketiga kurcaci dari negri ajaib datang. Mereka tanya, "Berangkat jam berapa?" Ya ampun. Ternyata mereka belum packing. Aku jawab dengan suara keras, "Jam 7 malam kita sudah harus pergi dari sini. Berangkat dari sekre. Jangan lupa bawa seragam, slayer, dan do’a dari ibu bapakmu!" seruku mengingatkan mereka untuk minta ijin pada orangtua. Lalu aku tidur lagi di kursi panjang ruang kerja sekretariat.

Malam

Setelah shalat maghrib dan makan malam, kami berempat berangkat. Di sekre cuma ada pa’e, kebo (yang harusnya lagi gladi, tapi kayaknya bolos) dan bejat (pengangguran kalau malam). Dari sekre kami jalan kaki ke pintu gerbang. Karena nggak ada becak, kami jalan lagi sampai jembatan. Lumayan jauh, sekilo. Malam lumayan terang. Separuh bulan terlambat terbit, dan kami naik dua becak di bawah siraman sinar redupnya. Beriringan dua becak menyusuri Jl. Radio. Di becak depan, ada wied dan elist. Sisanya di becak belakang.

Lima menit berselang, konvoi tiba di Jl. Moh. Toha. Karena carrier sebesar kambing kami letakkan di depan kaki kami, maka buntalan itulah yang harus turun terlebih dulu. Saat tukang becak kami menurunkan carrier itulah, terjadi sesuatu dengan becak yang di depan. Roda belakangnya terangkat tinggi, dan terdengar pekik seruan nyaring dari wied dan elist. Suara gedebuk juga terdengar. Pasti dari carrier yang terhempas ke aspal. Astaga, muatannya terlalu berat rupanya. Ketika tukang becak meninggalkan pos sadelnya, becak langsung nungging. Aku segera lompat meraih bagian belakang becak, berusaha menjaga keseimbangan. Agak jengkel juga aku dengan tukang becak yang tergesa-gesa meninggalkan posnya, tanpa memperhitungkan keseimbangan kendaraan. Tapi sesudahnya: Hahahaha…. Kami tertawa sepanjang jalan menuju stasiun kereta.

Sayangnya, keceriaan sepanjang perjalanan di angkot tidak berlanjut hingga stasiun. Menjelang tiba di stasiun, angkot kami sempat berhenti dekat jembatan. Di atas jembatan itulah kemudian lewat kereta yang berderum keras. Kami sempat bercanda, “Jangan-jangan itu Kahuripan?” Kembali kami semua tertawa membayangkan kemungkinan ketinggalan kereta.

Dan setelah tiba di depan stasiun, kami melongo. Pintu besi menuju ruang utama stasiun sedang ditutup. Loket sudah gelap. Ternyata perjalanan kami harus selesai sampai di situ. Perjalanan batal. Kami ketinggalan kereta. Padahal udah bela-belain keluar kampus tidak jalan kaki seperti biasa, melainkan naik becak…eh, ternyata masih ketinggalan kereta juga. Padahal, kami masih sempat dengar suara lokomotifnya yang menderum berat. Setelah tanya sana tanya sini, maka diketahui bahwa jadwal keretanya on time. Sesuatu yang langka di Indonesia. Juga kenyataan bahwa keretanya penuh. Jadi kuputuskan untuk beli tiket dulu besok pagi. Maunya sih, beli/pesan sekarang. Tapi nggak bisa, sebab loket sudah tutup. Maka kami balik kanan. Tapi aku nggak mau pulang ke sekeretariat: malu. Aku langsung saja ke kos-kosan.

Di kosan aku sendirian. Makan mie dokdok, nulis, terus tidur di kamar belakang (kamarnya almarhum joko).

No comments: