Rabu, 1 September 1999
Bangun agak malas-malasan. Badan masih terasa pegal. Maklum, hari pertama biasanya baru penyesuaian. Dari pengalaman, perasaan ini akan hilang saat menginjak hari kedua dan seterusnya. Sepi. Lainnya masih tidur. Dasar kebluk. Padahal selama ini aku yang dipanggil dengan nama kebluk.
Masak air, bikin kopi, ngemil kacang sukro sambil nguping radio transistor empat band milik sekre dan punggung bersandar pada pohon besar. Hmm... siapa bilang hidup itu susah? Ketika sedang goreng telor, yang lain segera bangun. Mungkin wangi telor dadarlah yang merenggut mereka dari alam mimpi. Katanya, kalau mau lihat wajah asli seseorang, lihatlah saat mereka bangun tidur. Tapi mereka sudah tak canggung lagi. Mungkin karena sudah tiga hari berturut-turut melihat tampangku setiap kali bangun tidur. Langsung sarapan. Nasi + tumis kacang + telor dadar. Langsung packing, karena jam 08.00 kami sepakat untuk berger (maksudnya bergerak).
Jam 08.00 berger dengan target HM 43, tempat yang menurut laporan Kuya adalah mata air di sisi kanan jalan setapak. Kuya bilang, 1,5 jam. Tapi dengan kartini-kartini ini, aku nggak yakin kita sampai sana sebelum jam 11.00. Mungkin sekitar waktu dzuhur. Perjalanan memang santai sekali. "Menikmati pemandangan," kata mereka. Iyalah.
Sepanjang jalan, terdengar suara lutung berteriak-teriak dan bergelayutan di ketinggian rumah mereka. Jalan tak terlalu menanjak. Setiap setengah jam berhenti untuk meluruskan kaki. Dan tiap jam berhenti untuk minum. Aku jalan sambil ngemil permen tango. Canda tawa mereka selalu terdengar. Kadang aku seperti orang bego, kalau mereka ngomongin hal-hal yang aku nggak ngerti. Harap maklum, aku sudah setahun lebih nggak ke Bandung dan Astacala. Waktu datang, sudah punya adik baru. Baru kenal beberapa hari, sudah diminta merndampingi ke Argopuro ini. Maka beginilah jadinya.
Jam 12.15, kami tiba di HM 43 (HM itu Hekto Meter ya?). Akhirnya! HM 43 tak terlalu ideal untuk buka tenda dan camping. Terlalu terbuka, karena berada di gigir punggungan. Jadi hanya istirahat saja sebentar di sini. "Ambil air apa nggak, kak?" Kupikir air masih cukup. Toh nanti di HM 67 juga ada mata air lagi. Tapi, "Boleh deh," jawabku. Maka Wied dan Elist turun mengambil air dengan dua botol aqua besar."Apa menu siang ini?" tanyaku. Tampaknya mereka malas untuk masak. Mungkin capek. Maka siang ini kami hanya makan mie rebus pake ranjau (cabe rawit). Enak juga makan mie hangat di tengah udara sejuk begitu. Tapi aku dua kali menggigit ranjau.
Jam 13.20, setelah badan mulai kedinginan, (baju basah keringetan) kami berger lagi. Targetnya HM 67 (sungai kecil dan temporary di kanan jalan). jalur masih melewati punggungan dengan hutan makin lebat dan cemara di kanan dan kiri tepi jurang. Ternyata siang ini pergerakan semakin melambat. Beberapa kali berhenti lama. Kadang sekali berhenti sampai 30 menit! Astaga, benar-benar piknik mereka ini. Tapi aku nggak bisa protes, sebabi ini memang perjalanan mereka. Aku hanya pendamping. Urusan target waktu dan tempat, tak boleh aku usik, kecuali kepepet. Maka aku ikuti saja irama mereka. Mencoba memahami karakter mereka satu per satu. Belajar menjadi kakak yang sabar bagi adik-adiknya.
Jam 16.00 adalah standard Astacala untuk berhenti dan bikin camp di perjalanan jauh. Tapi kali ini tak bisa begitu. Sebab kami sepakat untuk camping di HM 67. Nah, akibat lambatnya perjalanan, hingga jam 16.00 ini kami masih di tengah hutan. Semak-semak lebat diantara cemara menjadi pemandangan membosankan dalam situasi seperti ini. Maka ketika jam tanganku menunjuk jam lima sore, aku ambil alih komando. Kuminta pasukan berhenti. Carrier diletakkan saja. Lalu Elist maju beberap menit, mencari tempat datar yang nyaman ntuk camp. "Ada," katanya setelah kembali. Maka kami camp di sana. Lokasinya memang datar, sekitar HM 62 - 63. Tapi terlalu sempit, maka harus nebas rumput dan semak. "Mau buka doom, nggak?" tanyaku. Ternyata nggak ada yang jawab. Buka sajalah, pikirku. Lagipula, ini di jalur pendakian. Kalau tidur di udara terbuka, bisa bahaya kalau ada apa-apa. Wied dan Yeni kuminta boka doom. Elist masak, dan aku meratakan tempat untuk pasang flysheet, sekaligus cari kayu.
Jam 20.00 masakan sudah siap. aku masak capcay, elist goreng krupuk dan ikan asin yang sudah dibumbui. Enak juga. Aku minta dendeng. Tapi ternyata dendeng untuk jatah besok malam. Wah, kok aku nggak dilibatkan dalam penentuan menu makan di perjalanan? Nasinya kurang. Untung saja cewek-cewek makannya nggak nambah. Yeni mau bikin bubur kacang ijo. "Asal airnya cukup," kataku mengingatkan. Cukup cerah malam ini. Kayu bakar melimpah, begitu juga air, meskipun kami belum tiba di HM 67 dan belum menambah persediaan air. Trangia hanya dipakai untuk goreng dan masak air minum. Bikin teh, kopi jahe, dan susu jahe. Masak lainnya pakai kayu bakar.
Selesai makan kami evaluasi perjalanan hari ini: target HM 67 tak tercapai, sebab kita terlalu santai. Lalu ngobrol dan becanda-becanda lagi. Sambil menunggu bubur kacang ijo mateng. Berbeda dengan malam pertama, malam ini tubuh-tubuh kami sudah lebih bisa beradaptasi. Pegal dan capek memang masih ada. Tapi tak terlalu terasa seperti kemarin malam. Jam 22.00 mulai ngantuk. Yeni masih nungguin kacang ijonya. Rupanya belum matang. Paling jam sebelas, pikirku. Aku mencoba tidur. Meringkel di tengah dekat api. Nggak lama dibangunin, buat makan bubur kacang ijo. "Wah, jahenya terlalu banyak. Ini burjo pake jahe, atau air jahe pake kacang ijo?" Tapi perut mulai berontak. Kekenyangan nih. Jam 23.00 sudah tidur semua.
Bangun agak malas-malasan. Badan masih terasa pegal. Maklum, hari pertama biasanya baru penyesuaian. Dari pengalaman, perasaan ini akan hilang saat menginjak hari kedua dan seterusnya. Sepi. Lainnya masih tidur. Dasar kebluk. Padahal selama ini aku yang dipanggil dengan nama kebluk.
Masak air, bikin kopi, ngemil kacang sukro sambil nguping radio transistor empat band milik sekre dan punggung bersandar pada pohon besar. Hmm... siapa bilang hidup itu susah? Ketika sedang goreng telor, yang lain segera bangun. Mungkin wangi telor dadarlah yang merenggut mereka dari alam mimpi. Katanya, kalau mau lihat wajah asli seseorang, lihatlah saat mereka bangun tidur. Tapi mereka sudah tak canggung lagi. Mungkin karena sudah tiga hari berturut-turut melihat tampangku setiap kali bangun tidur. Langsung sarapan. Nasi + tumis kacang + telor dadar. Langsung packing, karena jam 08.00 kami sepakat untuk berger (maksudnya bergerak).
Jam 08.00 berger dengan target HM 43, tempat yang menurut laporan Kuya adalah mata air di sisi kanan jalan setapak. Kuya bilang, 1,5 jam. Tapi dengan kartini-kartini ini, aku nggak yakin kita sampai sana sebelum jam 11.00. Mungkin sekitar waktu dzuhur. Perjalanan memang santai sekali. "Menikmati pemandangan," kata mereka. Iyalah.
Sepanjang jalan, terdengar suara lutung berteriak-teriak dan bergelayutan di ketinggian rumah mereka. Jalan tak terlalu menanjak. Setiap setengah jam berhenti untuk meluruskan kaki. Dan tiap jam berhenti untuk minum. Aku jalan sambil ngemil permen tango. Canda tawa mereka selalu terdengar. Kadang aku seperti orang bego, kalau mereka ngomongin hal-hal yang aku nggak ngerti. Harap maklum, aku sudah setahun lebih nggak ke Bandung dan Astacala. Waktu datang, sudah punya adik baru. Baru kenal beberapa hari, sudah diminta merndampingi ke Argopuro ini. Maka beginilah jadinya.
Jam 12.15, kami tiba di HM 43 (HM itu Hekto Meter ya?). Akhirnya! HM 43 tak terlalu ideal untuk buka tenda dan camping. Terlalu terbuka, karena berada di gigir punggungan. Jadi hanya istirahat saja sebentar di sini. "Ambil air apa nggak, kak?" Kupikir air masih cukup. Toh nanti di HM 67 juga ada mata air lagi. Tapi, "Boleh deh," jawabku. Maka Wied dan Elist turun mengambil air dengan dua botol aqua besar."Apa menu siang ini?" tanyaku. Tampaknya mereka malas untuk masak. Mungkin capek. Maka siang ini kami hanya makan mie rebus pake ranjau (cabe rawit). Enak juga makan mie hangat di tengah udara sejuk begitu. Tapi aku dua kali menggigit ranjau.
Jam 13.20, setelah badan mulai kedinginan, (baju basah keringetan) kami berger lagi. Targetnya HM 67 (sungai kecil dan temporary di kanan jalan). jalur masih melewati punggungan dengan hutan makin lebat dan cemara di kanan dan kiri tepi jurang. Ternyata siang ini pergerakan semakin melambat. Beberapa kali berhenti lama. Kadang sekali berhenti sampai 30 menit! Astaga, benar-benar piknik mereka ini. Tapi aku nggak bisa protes, sebabi ini memang perjalanan mereka. Aku hanya pendamping. Urusan target waktu dan tempat, tak boleh aku usik, kecuali kepepet. Maka aku ikuti saja irama mereka. Mencoba memahami karakter mereka satu per satu. Belajar menjadi kakak yang sabar bagi adik-adiknya.
Jam 16.00 adalah standard Astacala untuk berhenti dan bikin camp di perjalanan jauh. Tapi kali ini tak bisa begitu. Sebab kami sepakat untuk camping di HM 67. Nah, akibat lambatnya perjalanan, hingga jam 16.00 ini kami masih di tengah hutan. Semak-semak lebat diantara cemara menjadi pemandangan membosankan dalam situasi seperti ini. Maka ketika jam tanganku menunjuk jam lima sore, aku ambil alih komando. Kuminta pasukan berhenti. Carrier diletakkan saja. Lalu Elist maju beberap menit, mencari tempat datar yang nyaman ntuk camp. "Ada," katanya setelah kembali. Maka kami camp di sana. Lokasinya memang datar, sekitar HM 62 - 63. Tapi terlalu sempit, maka harus nebas rumput dan semak. "Mau buka doom, nggak?" tanyaku. Ternyata nggak ada yang jawab. Buka sajalah, pikirku. Lagipula, ini di jalur pendakian. Kalau tidur di udara terbuka, bisa bahaya kalau ada apa-apa. Wied dan Yeni kuminta boka doom. Elist masak, dan aku meratakan tempat untuk pasang flysheet, sekaligus cari kayu.
Jam 20.00 masakan sudah siap. aku masak capcay, elist goreng krupuk dan ikan asin yang sudah dibumbui. Enak juga. Aku minta dendeng. Tapi ternyata dendeng untuk jatah besok malam. Wah, kok aku nggak dilibatkan dalam penentuan menu makan di perjalanan? Nasinya kurang. Untung saja cewek-cewek makannya nggak nambah. Yeni mau bikin bubur kacang ijo. "Asal airnya cukup," kataku mengingatkan. Cukup cerah malam ini. Kayu bakar melimpah, begitu juga air, meskipun kami belum tiba di HM 67 dan belum menambah persediaan air. Trangia hanya dipakai untuk goreng dan masak air minum. Bikin teh, kopi jahe, dan susu jahe. Masak lainnya pakai kayu bakar.
Selesai makan kami evaluasi perjalanan hari ini: target HM 67 tak tercapai, sebab kita terlalu santai. Lalu ngobrol dan becanda-becanda lagi. Sambil menunggu bubur kacang ijo mateng. Berbeda dengan malam pertama, malam ini tubuh-tubuh kami sudah lebih bisa beradaptasi. Pegal dan capek memang masih ada. Tapi tak terlalu terasa seperti kemarin malam. Jam 22.00 mulai ngantuk. Yeni masih nungguin kacang ijonya. Rupanya belum matang. Paling jam sebelas, pikirku. Aku mencoba tidur. Meringkel di tengah dekat api. Nggak lama dibangunin, buat makan bubur kacang ijo. "Wah, jahenya terlalu banyak. Ini burjo pake jahe, atau air jahe pake kacang ijo?" Tapi perut mulai berontak. Kekenyangan nih. Jam 23.00 sudah tidur semua.
No comments:
Post a Comment