Perjalanan Menempuh Argopuro
Selasa, 31 September 1999
Pukul 05.00 kami sudah terjaga. Wajahku bentol-bentol penuh bekas gigitan nyamuk. Harus ke pasar untuk membeli beberapa logistik yang kurang. Tapi percuma bawa wied (yang bisa boso jowo) sebab kebanyakan pedagang di pasar hanya bisa bahasa madura. Hanya beberapa saja yang bisa bahasa Indonesia.
Selesai sarapan dan packing, kami berangkat ke pasar khewan, tempat angkot menuju Baderan biasa mangkal. Aku duduk depan, karena belum banyak penumpang yang datang. Maksudnya biar leluasa melihat pemandangan. Sekitar 1,5 jam, sampailah di Baderan, tepatnya di warung pak Bachri. Aku lapor dan isi buku tamu. Yang lain logistik, terutama air dalam jirigen. Masing-masing bawa jirigen lima liter. Weeeks!!!
Pukul 10.30 mulai perjalanan pendakian. Jalur desa di mana-mana selalu sama: membingungkan! Misalnya ketika sampai di pertigaan irigasi. Tadinya kukira jalurnya ke kanan. Ternyata langsung nanjak ke kiri. Hehehe. Naik gunung kok mau yang datar aja. Oh iya, sewaktu sampai di irigasi itu, ketiga cewek manis dalam tim sempat kaget, malu, dan langsung berbalik kanan. Sebab ternyata ada yang sedang mandi di sana. Wah, ngeliat apa aja neng?
Rencananya, perjalanan akan berhenti di HM 20 dan buka camp di sana. Itu berarti 2 kilometer horisontal. Medan yang dilalui hanyalah ladang-ladang penduduk. Panas. Karenanya sering berhenti untuk sekedar menarik nafas. Ketika ada tempat teduh, kami berhenti untuk makan siang. Hanya makan gorengan yang dibeli di warung, dan minum nutrisari palsu.
Pukul 16.00 kami baru tiba di HM 20. Astaga, lama sekali. Aku mulai berhitung lagi soal target-target dari tim ini. Tampaknya tim akan melakukan perjalanan dengan santai. Entah berapa bulan lagi kami sampai di puncak?
Walaupun doom sudah dibuka tapi tidak ada yang mau tidur di dalamnya. Semua memilih tidur di luar. "Mau ngitung bintang?" tanyaku yang sedikit dongkol karena tendaku tidak laku. Menu makan malam dengan sayur sop, tempe, tahu, kerupuk, dan dendeng sapi. Jam sembilan malam masih belum pada tidur. Suasana tak sepi-sepi amat. masih terdengar raungan motor dari baderan, walau hanya sayup-sayup.
Aku sama sekali tak punya gambaran tentang apa yang mereka pikirkan. Wied, Yeni, dan Elist. Bagi mereka, ini perjalanan pendakian jauh pertama. Apalagi hanya didampingi satu senior pendiam seperti aku. Mereka kelihatan sangat menikmati perjalanan. Sementara aku sendiri juga masih tak bisa melepaskan pikiranku dari sakitnya ibu beberapa bulan lalu, yang sempat membuatku frustasi.Maka malam itu aku lebih sering diam di depan api. Sementara mereka bertiga ngobrol sendiri, entah tentang apa. Sepertinya gosip soal anak-anak sekre seangkatan mereka. Aku coba pindah ke dalam tenda. Tapi karena gerah, aku keluar lagi. Lebih enak tidur di luar. Malam ini tak ada evaluasi perjalanan.
Selasa, 31 September 1999
Pukul 05.00 kami sudah terjaga. Wajahku bentol-bentol penuh bekas gigitan nyamuk. Harus ke pasar untuk membeli beberapa logistik yang kurang. Tapi percuma bawa wied (yang bisa boso jowo) sebab kebanyakan pedagang di pasar hanya bisa bahasa madura. Hanya beberapa saja yang bisa bahasa Indonesia.
Selesai sarapan dan packing, kami berangkat ke pasar khewan, tempat angkot menuju Baderan biasa mangkal. Aku duduk depan, karena belum banyak penumpang yang datang. Maksudnya biar leluasa melihat pemandangan. Sekitar 1,5 jam, sampailah di Baderan, tepatnya di warung pak Bachri. Aku lapor dan isi buku tamu. Yang lain logistik, terutama air dalam jirigen. Masing-masing bawa jirigen lima liter. Weeeks!!!
Pukul 10.30 mulai perjalanan pendakian. Jalur desa di mana-mana selalu sama: membingungkan! Misalnya ketika sampai di pertigaan irigasi. Tadinya kukira jalurnya ke kanan. Ternyata langsung nanjak ke kiri. Hehehe. Naik gunung kok mau yang datar aja. Oh iya, sewaktu sampai di irigasi itu, ketiga cewek manis dalam tim sempat kaget, malu, dan langsung berbalik kanan. Sebab ternyata ada yang sedang mandi di sana. Wah, ngeliat apa aja neng?
Rencananya, perjalanan akan berhenti di HM 20 dan buka camp di sana. Itu berarti 2 kilometer horisontal. Medan yang dilalui hanyalah ladang-ladang penduduk. Panas. Karenanya sering berhenti untuk sekedar menarik nafas. Ketika ada tempat teduh, kami berhenti untuk makan siang. Hanya makan gorengan yang dibeli di warung, dan minum nutrisari palsu.
Pukul 16.00 kami baru tiba di HM 20. Astaga, lama sekali. Aku mulai berhitung lagi soal target-target dari tim ini. Tampaknya tim akan melakukan perjalanan dengan santai. Entah berapa bulan lagi kami sampai di puncak?
Walaupun doom sudah dibuka tapi tidak ada yang mau tidur di dalamnya. Semua memilih tidur di luar. "Mau ngitung bintang?" tanyaku yang sedikit dongkol karena tendaku tidak laku. Menu makan malam dengan sayur sop, tempe, tahu, kerupuk, dan dendeng sapi. Jam sembilan malam masih belum pada tidur. Suasana tak sepi-sepi amat. masih terdengar raungan motor dari baderan, walau hanya sayup-sayup.
Aku sama sekali tak punya gambaran tentang apa yang mereka pikirkan. Wied, Yeni, dan Elist. Bagi mereka, ini perjalanan pendakian jauh pertama. Apalagi hanya didampingi satu senior pendiam seperti aku. Mereka kelihatan sangat menikmati perjalanan. Sementara aku sendiri juga masih tak bisa melepaskan pikiranku dari sakitnya ibu beberapa bulan lalu, yang sempat membuatku frustasi.Maka malam itu aku lebih sering diam di depan api. Sementara mereka bertiga ngobrol sendiri, entah tentang apa. Sepertinya gosip soal anak-anak sekre seangkatan mereka. Aku coba pindah ke dalam tenda. Tapi karena gerah, aku keluar lagi. Lebih enak tidur di luar. Malam ini tak ada evaluasi perjalanan.
No comments:
Post a Comment