Jam 06.00 kami bangun karena mendengar suara-suara. Ternyata penduduk yang lewat. Ada tiga orang. Entah mau ke mana dan cari apa. Aku nggak sempat ngobrol. Hanya sapa basa basi. Nyawaku masih separuh yang kumpul.
Sarapan bubur kacang ijo sisa semalam. Aku minum kopi jahe. Lainnya yang doyan kopi nggak ada. Jadi cuma ada satu laki-laki di sini. Tapi waktu mereka bikin energan/susu, aku juga minta.
Jam 09.30 tepat, berger lagi dengan target Sikasur. Kondisi fisik sudah sepenuhnya On he Mount. Sudah nyaman untuk gerak dan terbiasa dengan beban berat. Tidak heran kalau beberapa menit kemudian, kami sudah tiba di HM 67, mata air kedua. Berhenti sebentar. Memperhatikan cemara-cemara yang besar-besar. Yang batangnya sebagian terbakar, tapi belum mati juga. Pemandangan mulai didominasi oleh cemara. Apa nama tempat ini? Cemoro Lawang? Letak tempat ini di punggungan yang curam. Ke kanan jurang, ke kiri jurang dengan sungai kecil. Tak lama datanglah anak-anak Jonggring Salaka ( IKIP Malang ya ?) Diputuskan untuk makan siang. Lapar, bro. Menunya hanya nasi + mie rebus + telor + krupuk. Lumayan buat ganjel perut. Biasanya aku nggak doyan indomie rebus kalau di gunung. (soalnya, di kosan udah keseringan. naik gunung 'kan saatnya perbaikan gizi). Sambil nunggu masakan mateng, aku dan Yeni ambil air di mata air sebelah kiri jalan. Airnya kecil dan agak kotor, tertutup sampah. Harus naik sedikit untuk mendapatkan yang lebih jernih. Yeni sempat terpeleset. "Kakiku sakit," akunya. Aku sempatkan untuk gosok gigi, cuci muka, dan cuci nesting. Waktu ke atas lagi (30 menit kemudian), anak jonggring bilang, "Ambil air atau ambil air ? Kok lama banget ?" Kami diam aja. Biar Tuhan aja yang tahu. Wied dan Elist
gantian ke bawah. Bawa handuk kecil. Mungkin mau cuci muka dan gosok gigi. Anak jonggring berangkat duluan sementara kami makan siang. Angin mulai terasa kencang di sini. Seperti hendak membawa bisikan daun-daun cemara ke tempat yang jauh.
Selesai makan, aku shalat. Lalu tidur-tiduran beralaskan matras tempat shalat. Sejuk sekali di sini. Niatnya tidur-tiduran sebentar sambil menunggu dayang-dayang cuci nesting, eh...malah terlelap beneran.
Jam 14.00 dibangunin untuk berger lagi. Aku mencium asap. Mungkin ada bagian hutan yang sedang terbakar. Kami jalan lagi dengan santai. Benar saja, kami menemukan area yang masih berasap. Panas, pasti api belum lama menjilat tempat ini. Mungkin juga hanya bara kecil yang merambat pelan-pelan diantara rerumputan. Sekitar 1,5 jam, kami melewati tempat terbuka dangan padang rumput sabana. Tapi di beberapa tempat hanya hitam, hangus terbakar. Alun-alun kecil juga hangus (HM 98). Kami sempatkan foto di tempat hangus itu. Anak-anak tampaknya mulai bosan melewati padang rumput. Itu-itu saja, tidak sampai-sampai. Hahaha, siapa bilang naik gunung nggak perlu perjuangan? Apakah edelweiss yang tumbuh hingga dua-tiga meter itu tak cukup membuat kalian merasa senang? Di suatu tempat, Elist sempat keliru mengambil jalan ke kanan. "Eh, kok ke sana? Jalannya yang ini," seruku sambil menunjuk arah kiri. Mungkin ke kanan juga ada jalan, tapi pasti jarang dilewati. Lha wong samar gitu kok. Beberapa kali kami lewati sabana, sampai akhirnya kami menemukan padang sabana yang teramat luas. Tampak ada jurang yang membelah, memisahkan kami dengan padang luas itu. Pondok kecil juga tampak menghias salah satu sudutnya. Inikah Sikasur yang kesohor itu ?
Sampai di sungai yang bertabur selada air, ketiga putri malu-maluin ini segera saja nyemplung. Main air sambil foto-fotoan. Kampungan banget sih? Sudah jam 17.00. Sebentar lagi pasti gelap. "Ayo naik!" Tapi mereka terlalu asyik main air. "masa kecil kurang bahagia," gumamku. Aku naik ke arah pondok mendahului mereka. Kalau terlanjur gelap, akan malas membangun camp.
Pondok Sikasur agak kotor, penuh tulisan-tulisan. Kondisinya, lihat fotonya saja ya? Hanya aku yang ada di sana. Mana anak Jonggring? Pasti bablas ke cisentor. Kubersihkan ruangan pondok dari sampah. Menggelar ponco dan flysheet sebagai alas. Udara mulai dingin. Pasti anak-anak lain akan kedinginan karena pakaian mereka memang basah setelah berkecipak di sungai Qolbu. Kukeluarkan logistik, dan mulai memasak air. Kopi susu di senja temaram begini pasti sedap.
Setengah jam berselang, anak-anak lain datang. Kedinginan. Sukurin loe! Siapa suruh berendam sore-sore?
Angin keras sekali menerpa pondok. Suaranya berkesiuran. Ada bilah papan pondok yang bisa diangkat. Mungkin untuk mengintai ? Tapi dari situ angin masuk, membuat badan tambah menggigil. Aku masak, karena yang lain masih sibuk berbenah. Mungkin ganti pakaian. Menu makan malam sayur asem, ikan asin, telor dadar, krupuk kecil-kecil, dendeng, dan susu jahe. Hmm... Sepertinya masak nasinya harus ditambah. Dalam keadaan dingin seperti ini, mereka pasti gragas, apa saja akan dihabiskan lewat mulut-mulut mereka. Aku masak sambil dengarkan radio. Tak banyak siaran yang bisa ditangkap. Aku cari di gelombang SW, dapat siaran BBC, tapi suaranya kresek-kresek dan naik turun.
Selesai makan, semua meringkel dalam sleeping bag. Aku duduk sambil menulis dan masak susu jahe. Suara orang menggigil mulai memenuhi ruangan. Kadang diselingi cekikikan. Entah apa yang mereka bincangkan. Mungkin mereka ngomongin aku ya?
Jam 23.00, mestinya semua sudha harus tidur. Kalau tidak, besok akan kepayahan. Tapi semua masih harus berjuang melawan udara yang menusuk tulang. Di luar pondok terdengar suara-suara. Sepertinya hewan penghuni sikasur. Ada banyak cerita syerem di tempat ini berkaitan dengan apa yang pernah terjadi di jaman Belanda dulu. Tapi biar saja. Kalaupun ada suara aneh, anggap saja suara angin. Sebab angin memang bertiup terlalu kencang, entah apa yang dibawanya hingga ia tampak begitu tergesa-gesa. Barangkali ia akan ke tempat yang jauh. Mungkin akan sampai di Bandung juga.
Tips: Jika memungkinkan, bukalah tenda dalam pondok sikasur. Sebab biarpun di dalam pondok, angin masih mampu menerobos dinding kayu, membuat siapapun di dalamnya menjadi kedinginan.
Sarapan bubur kacang ijo sisa semalam. Aku minum kopi jahe. Lainnya yang doyan kopi nggak ada. Jadi cuma ada satu laki-laki di sini. Tapi waktu mereka bikin energan/susu, aku juga minta.
Jam 09.30 tepat, berger lagi dengan target Sikasur. Kondisi fisik sudah sepenuhnya On he Mount. Sudah nyaman untuk gerak dan terbiasa dengan beban berat. Tidak heran kalau beberapa menit kemudian, kami sudah tiba di HM 67, mata air kedua. Berhenti sebentar. Memperhatikan cemara-cemara yang besar-besar. Yang batangnya sebagian terbakar, tapi belum mati juga. Pemandangan mulai didominasi oleh cemara. Apa nama tempat ini? Cemoro Lawang? Letak tempat ini di punggungan yang curam. Ke kanan jurang, ke kiri jurang dengan sungai kecil. Tak lama datanglah anak-anak Jonggring Salaka ( IKIP Malang ya ?) Diputuskan untuk makan siang. Lapar, bro. Menunya hanya nasi + mie rebus + telor + krupuk. Lumayan buat ganjel perut. Biasanya aku nggak doyan indomie rebus kalau di gunung. (soalnya, di kosan udah keseringan. naik gunung 'kan saatnya perbaikan gizi). Sambil nunggu masakan mateng, aku dan Yeni ambil air di mata air sebelah kiri jalan. Airnya kecil dan agak kotor, tertutup sampah. Harus naik sedikit untuk mendapatkan yang lebih jernih. Yeni sempat terpeleset. "Kakiku sakit," akunya. Aku sempatkan untuk gosok gigi, cuci muka, dan cuci nesting. Waktu ke atas lagi (30 menit kemudian), anak jonggring bilang, "Ambil air atau ambil air ? Kok lama banget ?" Kami diam aja. Biar Tuhan aja yang tahu. Wied dan Elist
gantian ke bawah. Bawa handuk kecil. Mungkin mau cuci muka dan gosok gigi. Anak jonggring berangkat duluan sementara kami makan siang. Angin mulai terasa kencang di sini. Seperti hendak membawa bisikan daun-daun cemara ke tempat yang jauh.
Selesai makan, aku shalat. Lalu tidur-tiduran beralaskan matras tempat shalat. Sejuk sekali di sini. Niatnya tidur-tiduran sebentar sambil menunggu dayang-dayang cuci nesting, eh...malah terlelap beneran.
Jam 14.00 dibangunin untuk berger lagi. Aku mencium asap. Mungkin ada bagian hutan yang sedang terbakar. Kami jalan lagi dengan santai. Benar saja, kami menemukan area yang masih berasap. Panas, pasti api belum lama menjilat tempat ini. Mungkin juga hanya bara kecil yang merambat pelan-pelan diantara rerumputan. Sekitar 1,5 jam, kami melewati tempat terbuka dangan padang rumput sabana. Tapi di beberapa tempat hanya hitam, hangus terbakar. Alun-alun kecil juga hangus (HM 98). Kami sempatkan foto di tempat hangus itu. Anak-anak tampaknya mulai bosan melewati padang rumput. Itu-itu saja, tidak sampai-sampai. Hahaha, siapa bilang naik gunung nggak perlu perjuangan? Apakah edelweiss yang tumbuh hingga dua-tiga meter itu tak cukup membuat kalian merasa senang? Di suatu tempat, Elist sempat keliru mengambil jalan ke kanan. "Eh, kok ke sana? Jalannya yang ini," seruku sambil menunjuk arah kiri. Mungkin ke kanan juga ada jalan, tapi pasti jarang dilewati. Lha wong samar gitu kok. Beberapa kali kami lewati sabana, sampai akhirnya kami menemukan padang sabana yang teramat luas. Tampak ada jurang yang membelah, memisahkan kami dengan padang luas itu. Pondok kecil juga tampak menghias salah satu sudutnya. Inikah Sikasur yang kesohor itu ?
Sampai di sungai yang bertabur selada air, ketiga putri malu-maluin ini segera saja nyemplung. Main air sambil foto-fotoan. Kampungan banget sih? Sudah jam 17.00. Sebentar lagi pasti gelap. "Ayo naik!" Tapi mereka terlalu asyik main air. "masa kecil kurang bahagia," gumamku. Aku naik ke arah pondok mendahului mereka. Kalau terlanjur gelap, akan malas membangun camp.
Pondok Sikasur agak kotor, penuh tulisan-tulisan. Kondisinya, lihat fotonya saja ya? Hanya aku yang ada di sana. Mana anak Jonggring? Pasti bablas ke cisentor. Kubersihkan ruangan pondok dari sampah. Menggelar ponco dan flysheet sebagai alas. Udara mulai dingin. Pasti anak-anak lain akan kedinginan karena pakaian mereka memang basah setelah berkecipak di sungai Qolbu. Kukeluarkan logistik, dan mulai memasak air. Kopi susu di senja temaram begini pasti sedap.
Setengah jam berselang, anak-anak lain datang. Kedinginan. Sukurin loe! Siapa suruh berendam sore-sore?
Angin keras sekali menerpa pondok. Suaranya berkesiuran. Ada bilah papan pondok yang bisa diangkat. Mungkin untuk mengintai ? Tapi dari situ angin masuk, membuat badan tambah menggigil. Aku masak, karena yang lain masih sibuk berbenah. Mungkin ganti pakaian. Menu makan malam sayur asem, ikan asin, telor dadar, krupuk kecil-kecil, dendeng, dan susu jahe. Hmm... Sepertinya masak nasinya harus ditambah. Dalam keadaan dingin seperti ini, mereka pasti gragas, apa saja akan dihabiskan lewat mulut-mulut mereka. Aku masak sambil dengarkan radio. Tak banyak siaran yang bisa ditangkap. Aku cari di gelombang SW, dapat siaran BBC, tapi suaranya kresek-kresek dan naik turun.
Selesai makan, semua meringkel dalam sleeping bag. Aku duduk sambil menulis dan masak susu jahe. Suara orang menggigil mulai memenuhi ruangan. Kadang diselingi cekikikan. Entah apa yang mereka bincangkan. Mungkin mereka ngomongin aku ya?
Jam 23.00, mestinya semua sudha harus tidur. Kalau tidak, besok akan kepayahan. Tapi semua masih harus berjuang melawan udara yang menusuk tulang. Di luar pondok terdengar suara-suara. Sepertinya hewan penghuni sikasur. Ada banyak cerita syerem di tempat ini berkaitan dengan apa yang pernah terjadi di jaman Belanda dulu. Tapi biar saja. Kalaupun ada suara aneh, anggap saja suara angin. Sebab angin memang bertiup terlalu kencang, entah apa yang dibawanya hingga ia tampak begitu tergesa-gesa. Barangkali ia akan ke tempat yang jauh. Mungkin akan sampai di Bandung juga.
Tips: Jika memungkinkan, bukalah tenda dalam pondok sikasur. Sebab biarpun di dalam pondok, angin masih mampu menerobos dinding kayu, membuat siapapun di dalamnya menjadi kedinginan.
No comments:
Post a Comment