Senin, 30 September 1999
Dini hari
Aku terbangun saat kereta memasuki Kroya. Turun ke peron stasiun. Pegal di dalam kereta terus. Suasana stasiun sepi. Hanya ada beberapa kereta dan petugas stasiun. Pedagang belum ramai. Lima menit, aku balik lagi ke gerbongku. Yeni. Wied, dan Elist masih terlelap. Mimpi apa mereka, ya? Kereta bergerak lagi. Aku tidur lagi.
Pagi
Jam enam kurang, kereta masuk lempuyangan. Aku celingukan. Penumpang di sampingku menawarkan rotinya lagi. Adik-adikku masih tidur. Tapi tiga penumpang di depan mereka bersiap untuk turun. Meninggalkan kursi kosong. Aku pindah kesana. Pura-pura tidur. Benar saja, ketika kereta berhenti, Elist terjaga. Dan dia heboh melihat aku dengan nyamannya tidur di kursi, sementara mereka berdesak-desakkan bertiga.
"Eeeh! Nggak sopan nih! Enak-enakan di situ, kita aja kesempitan" seruan entah dari siapa. Hahaha. Mereka menyangka aku sudah lama tidur di sana.
Aku melongok keluar jendela. Di sepur sebelah Kahuripan, ada kereta dengan beberapa penumpang yang mulai mengisi gerbong-gerbongnya. Ternyata itu Sri Tanjung. Jurusan Banyuwangi. Berangkat (kalo gk keliru) jam 07.00.
"Apa pindah di sini aja?" usulku agar pindah saat itu juga ke kereta Sri Tanjung.
"Masih lama nggak?"
"Kayaknya jam tujuh," jawabku.
"Nanti aja deh. Kita ikut Kahuripan sampe Madiun. Trus makan dan istirahat sebentar di stasiun, sambil nunggu Sri Tanjung," usul yang lain. Penumpang di sampingku ikut provokasi supaya kami turun di Madiun. Aku merasa dia pingin ditemenin aja. Dia memang tujuan ke Madiun.
"Yang lain gimana?" tanyaku.
Ternyata mayoritas memilih Madiun sebagai tempat transit.
Jam 10.00 tiba di Madiun. Nyari nasi pecel + peyek. Rencananya buat makan siang di kereta. Ini kampungnya Wied. Ibu dan neneknya ada di Madiun, meskipun semasa kecil wied pernah di Jakarta.
"Madiun kok gini amat, Wied. Sepi."
"Kalau di kotanya ya ramai. Ini 'kan cuma stasiun kereta doang," jawab Wied.
Kami beli tiket sampai Probolinggo. Lalu menunggu di peron stasiun. Menunggu Sri Tanjung datang. Ternyata Sri Tanjung jalannya lelet. Jam 12.00 baru masuk Madiun.
Siang
Wah, tampaknya keputusan untuk transit di Madiun ini keliru. Sebab ternyata, keretanya penuh. Memang masih ada ruang di lorong-lorongnya, tapi semua kursi sudah penuh. Terpaksa carrier diletakkan di tengah-tengah lorong gerbong sebab tak ada ruang di tempat menaruh barang di atas kursi penumpang. Memang akan mengganggu lalu lintas penumpang lain. Tapi ini lebih baik daripada di persambungan yang tidak jelas keamanannya. Kami duduk di atas carrier kami. Sesekali menyingkirkan kaki ketika ada penumpang lain yang lewat. Awalnya cukup nyaman, tapi lama kelamaan kami kepanasan. Beberapa kali tukang asinan dan rujak asongan menggoda kami, tapi kami nggak berani makan sembarangan. Ini belum sampai di gunung, jangan sakit perut terlalu dini. Maka kami cuma nonton asongan mondar-mandir sambil kipas-kipas. Setengah jam kereta jalan, aku putuskan untuk makan siang. Nasi pecel yang tadi beli di madiun.
Di Surabaya, ternyata keretanya ke Stasiun Semut (?). Wah, ini kereta memang menjadi lebih lapang karena penumpang banyak turun, tapi suasana panasnya makin nggak ketulungan. Surabaya memang lebih panas daripada Jakarta. Apalagi bagi yang tebiasa di Bandung. Cukup lama kereta berhenti di Surabaya, sebelum akhirnya berangkat lagi.
Sore
Pukul 17.30 tiba di Probolinggo. What a trip! Sayup azan maghrib terdengar menyejukkan. Langit mulai temaram. Kami naik becak ke pertigaan Randu Pangger (?). Becaknya unik : atapnya tidak ditutup. Pilihan ini diambil agar kami tak terlalu lama menunggu di terminal bis, karena biasanya bis-bis suka ngetem. Maka kami menunggu di pertigaan pinggir jalan, dekat pos polisi. Aku sempat mengajak ngobrol dua polisi di sana. Untuk amannya saja, sebab aku membawa tiga cewek yang baru kukenal beberapa hari, di tempat yang sama sekali asing bagiku. Kalau ada orang iseng, paling tidak tak akan dilakukan di depan polisi-polisi ini.
Malam
Tak lama, bis AKAS jurusan Banyuwangi berhenti di depan kami. Carrier masuk bagasi. Penumpang sekitar tigaperempat kapasitas kursi. Aku duduk dekat jendela, supaya bisa melihat pemandangan dengan leluasa. Tapi percuma, sebab malam terlalu gelap. Hanya pembangkit listrik Paiton saja yang cahayanya terang benderang dan membuat takjub karena tampak bagai instalasi asing di tengah kegelapan pantai Situbondo.
Pukul 21.00 tiba di Besuki. Kami minta diturunkan di depan kantor Polsek Sumber Malang, Besuki. Di seberang jalan ada gedung besar, dengan tiang-tiang yang juga besar, tapi tak ada cahaya lampu. Apa gedung peninggalan Belanda ini markas polisi? Ternyata bukan. Kantor Polisi ada di sebelah kanannya. Ada seorang penjaga. Kami lapor, menunjukkan surat jalan dari Astacala, dan minta ijin untuk menginap di sana. Tanya juga soal prosedur pelaporan pendakian. Tak lupa juga minta ditunjukkan letak kamar mandi. Polisi menjawab semuanya, meminta kami meninggalkan ID Card, mencatat nama kami, lalu menunjukkan letak kamar kecil, serta musholla yang malam itu menjadi hotel buat kami.
Karena lapar, diputuskan untuk makan terlebih dulu. Carrier dititipkan pada pak polisi yang nggak pake seragam itu, yang kemudian menunjukkan arah pasar.
Di pasar orang-orang bicara dalam bahasa yang tak kami mengerti. Kami merasa asing, dan tiba-tiba teingat dengan Sting, ...i'm an alien, i'm a legal alien, i'm en english man in new york... Makan apa kami? Apa ada malam-malam begini yang masih jual makanan? Ternyata ada, Rawon. Penjualnya orang madura. Apakah itu ada rawon madura? Mestinya begitu. Untung penjualnya bisa bahasa indonesia. Kami sepakat bahwa rawonnya enak. (apa karena kami lapar?) Segar rasanya. Murah harganya. Hanya nasinya kurang sedikit lagi.
Sekembalinya ke pos polsek, sudah ada dua orang lagi selain petugas tadi. Polisi jugakah? Mereka nggak pakai seragam. Tampangnya seperti pesuruh saja. Lusuh. Ngobrol sebentar, lalu pamit untuk bersih-bersih dan istirahat. Wah, ternyata kamar mandinya dekat ruang tahanan di halaman belakang yang gelap. Ada tangan terjulur dari balik tirai besi ketika aku lewat di sana. Seorang tahanan minta rokok. Aku diam saja. Kepada yang lain lalu kuingatkan agar jangan ke kiri kalau ingin ke kamar mandi.
Ternyata di musholla banyak sekali nyamuk. Mungkin karena lampunya tidak menyala. Aku sudah coba menghidupkan lampu, tapi bohlamnya mungkin sudah putus. Semula aku hanya berselimutkan sarung. Karena dikerubutin nyamuk, maka sleeping bag kugelar, walau menjadi sedikit gerah.
Dini hari
Aku terbangun saat kereta memasuki Kroya. Turun ke peron stasiun. Pegal di dalam kereta terus. Suasana stasiun sepi. Hanya ada beberapa kereta dan petugas stasiun. Pedagang belum ramai. Lima menit, aku balik lagi ke gerbongku. Yeni. Wied, dan Elist masih terlelap. Mimpi apa mereka, ya? Kereta bergerak lagi. Aku tidur lagi.
Pagi
Jam enam kurang, kereta masuk lempuyangan. Aku celingukan. Penumpang di sampingku menawarkan rotinya lagi. Adik-adikku masih tidur. Tapi tiga penumpang di depan mereka bersiap untuk turun. Meninggalkan kursi kosong. Aku pindah kesana. Pura-pura tidur. Benar saja, ketika kereta berhenti, Elist terjaga. Dan dia heboh melihat aku dengan nyamannya tidur di kursi, sementara mereka berdesak-desakkan bertiga.
"Eeeh! Nggak sopan nih! Enak-enakan di situ, kita aja kesempitan" seruan entah dari siapa. Hahaha. Mereka menyangka aku sudah lama tidur di sana.
Aku melongok keluar jendela. Di sepur sebelah Kahuripan, ada kereta dengan beberapa penumpang yang mulai mengisi gerbong-gerbongnya. Ternyata itu Sri Tanjung. Jurusan Banyuwangi. Berangkat (kalo gk keliru) jam 07.00.
"Apa pindah di sini aja?" usulku agar pindah saat itu juga ke kereta Sri Tanjung.
"Masih lama nggak?"
"Kayaknya jam tujuh," jawabku.
"Nanti aja deh. Kita ikut Kahuripan sampe Madiun. Trus makan dan istirahat sebentar di stasiun, sambil nunggu Sri Tanjung," usul yang lain. Penumpang di sampingku ikut provokasi supaya kami turun di Madiun. Aku merasa dia pingin ditemenin aja. Dia memang tujuan ke Madiun.
"Yang lain gimana?" tanyaku.
Ternyata mayoritas memilih Madiun sebagai tempat transit.
Jam 10.00 tiba di Madiun. Nyari nasi pecel + peyek. Rencananya buat makan siang di kereta. Ini kampungnya Wied. Ibu dan neneknya ada di Madiun, meskipun semasa kecil wied pernah di Jakarta.
"Madiun kok gini amat, Wied. Sepi."
"Kalau di kotanya ya ramai. Ini 'kan cuma stasiun kereta doang," jawab Wied.
Kami beli tiket sampai Probolinggo. Lalu menunggu di peron stasiun. Menunggu Sri Tanjung datang. Ternyata Sri Tanjung jalannya lelet. Jam 12.00 baru masuk Madiun.
Siang
Wah, tampaknya keputusan untuk transit di Madiun ini keliru. Sebab ternyata, keretanya penuh. Memang masih ada ruang di lorong-lorongnya, tapi semua kursi sudah penuh. Terpaksa carrier diletakkan di tengah-tengah lorong gerbong sebab tak ada ruang di tempat menaruh barang di atas kursi penumpang. Memang akan mengganggu lalu lintas penumpang lain. Tapi ini lebih baik daripada di persambungan yang tidak jelas keamanannya. Kami duduk di atas carrier kami. Sesekali menyingkirkan kaki ketika ada penumpang lain yang lewat. Awalnya cukup nyaman, tapi lama kelamaan kami kepanasan. Beberapa kali tukang asinan dan rujak asongan menggoda kami, tapi kami nggak berani makan sembarangan. Ini belum sampai di gunung, jangan sakit perut terlalu dini. Maka kami cuma nonton asongan mondar-mandir sambil kipas-kipas. Setengah jam kereta jalan, aku putuskan untuk makan siang. Nasi pecel yang tadi beli di madiun.
Di Surabaya, ternyata keretanya ke Stasiun Semut (?). Wah, ini kereta memang menjadi lebih lapang karena penumpang banyak turun, tapi suasana panasnya makin nggak ketulungan. Surabaya memang lebih panas daripada Jakarta. Apalagi bagi yang tebiasa di Bandung. Cukup lama kereta berhenti di Surabaya, sebelum akhirnya berangkat lagi.
Sore
Pukul 17.30 tiba di Probolinggo. What a trip! Sayup azan maghrib terdengar menyejukkan. Langit mulai temaram. Kami naik becak ke pertigaan Randu Pangger (?). Becaknya unik : atapnya tidak ditutup. Pilihan ini diambil agar kami tak terlalu lama menunggu di terminal bis, karena biasanya bis-bis suka ngetem. Maka kami menunggu di pertigaan pinggir jalan, dekat pos polisi. Aku sempat mengajak ngobrol dua polisi di sana. Untuk amannya saja, sebab aku membawa tiga cewek yang baru kukenal beberapa hari, di tempat yang sama sekali asing bagiku. Kalau ada orang iseng, paling tidak tak akan dilakukan di depan polisi-polisi ini.
Malam
Tak lama, bis AKAS jurusan Banyuwangi berhenti di depan kami. Carrier masuk bagasi. Penumpang sekitar tigaperempat kapasitas kursi. Aku duduk dekat jendela, supaya bisa melihat pemandangan dengan leluasa. Tapi percuma, sebab malam terlalu gelap. Hanya pembangkit listrik Paiton saja yang cahayanya terang benderang dan membuat takjub karena tampak bagai instalasi asing di tengah kegelapan pantai Situbondo.
Pukul 21.00 tiba di Besuki. Kami minta diturunkan di depan kantor Polsek Sumber Malang, Besuki. Di seberang jalan ada gedung besar, dengan tiang-tiang yang juga besar, tapi tak ada cahaya lampu. Apa gedung peninggalan Belanda ini markas polisi? Ternyata bukan. Kantor Polisi ada di sebelah kanannya. Ada seorang penjaga. Kami lapor, menunjukkan surat jalan dari Astacala, dan minta ijin untuk menginap di sana. Tanya juga soal prosedur pelaporan pendakian. Tak lupa juga minta ditunjukkan letak kamar mandi. Polisi menjawab semuanya, meminta kami meninggalkan ID Card, mencatat nama kami, lalu menunjukkan letak kamar kecil, serta musholla yang malam itu menjadi hotel buat kami.
Karena lapar, diputuskan untuk makan terlebih dulu. Carrier dititipkan pada pak polisi yang nggak pake seragam itu, yang kemudian menunjukkan arah pasar.
Di pasar orang-orang bicara dalam bahasa yang tak kami mengerti. Kami merasa asing, dan tiba-tiba teingat dengan Sting, ...i'm an alien, i'm a legal alien, i'm en english man in new york... Makan apa kami? Apa ada malam-malam begini yang masih jual makanan? Ternyata ada, Rawon. Penjualnya orang madura. Apakah itu ada rawon madura? Mestinya begitu. Untung penjualnya bisa bahasa indonesia. Kami sepakat bahwa rawonnya enak. (apa karena kami lapar?) Segar rasanya. Murah harganya. Hanya nasinya kurang sedikit lagi.
Sekembalinya ke pos polsek, sudah ada dua orang lagi selain petugas tadi. Polisi jugakah? Mereka nggak pakai seragam. Tampangnya seperti pesuruh saja. Lusuh. Ngobrol sebentar, lalu pamit untuk bersih-bersih dan istirahat. Wah, ternyata kamar mandinya dekat ruang tahanan di halaman belakang yang gelap. Ada tangan terjulur dari balik tirai besi ketika aku lewat di sana. Seorang tahanan minta rokok. Aku diam saja. Kepada yang lain lalu kuingatkan agar jangan ke kiri kalau ingin ke kamar mandi.
Ternyata di musholla banyak sekali nyamuk. Mungkin karena lampunya tidak menyala. Aku sudah coba menghidupkan lampu, tapi bohlamnya mungkin sudah putus. Semula aku hanya berselimutkan sarung. Karena dikerubutin nyamuk, maka sleeping bag kugelar, walau menjadi sedikit gerah.
No comments:
Post a Comment