Jam 05.30 aku terbangun. Masih saja dingin. Masak air sambil dengarkan radio. Dingin-dingin begini pasti nyaman minum kopi dan ngemil biskuit atau kacang sukro. Anak-anak masih tidur. Ada yang meracau, ngigau. Mungkin karena kedinginan.
Aku keluar pondok sambil membawa kopi dan sekantung cemilan... Sarung melilit leher dan pundakku, dan aku duduk di depan pondok. Matahari sudah terbit. Caahya putihnya seperti ingin mengusir embun yang bergayut di ujung daun. Berkilauan seluas pandang. Dari utara hingga selatan. Menjadi mahkota berlian bagi batang-batang rumput. Dari kejauhan terdengar kicau burung. Di batas hutan terlihat tiga ekor rusa beriringan. Hening, tanpa suara manusia sama sekali. Konon alun-alun ini pernah menjadi tempat persinggahan pembesar Belanda. Juga ada kabar bahwa pernah ada landasan pesawat di ketinggian ini. Mungkin itu sebabnya, Jika dilihat dari ketinggian bukit di pinggir alun-alun, seperti ada dua bekas jalur lurus, berdampingan di salah satu sudut alun-alun. Kuhirup kopi pelan-pelan, menikmati setiap tegukan. Suara seruputanku saja yang terdengar. Angin telah lama pergi. Mungkin ia telah tiba di ujung pulau ini. Sepi. Apa yang tersisa dari sepi, selain separuh kenangan? Ah, Cecep Syamsul Hari merasakan sepi yang lain di ujung dunia sana. Tapi di sini, alun-alun sikasur, sepi hanya melahirkan kenangan-kenangan semu. Kenangan yang mungkin tak pantas disebut sebagai kenangan. Kemana saudara-saudaraku yang lain? Adakah mereka nyaman di tempat kerja mereka? Adakah mereka tak lagi merindukan suasana seperti yang aku alami saat ini?
Kopi tinggal separuh, ketika panggilan alam menyapaku. Aku masuk pondok dan keluar lagi sambil menenteng golok dan tisu. Kuturuni lembah menuju sungai Qolbu. Sarung masih melilit di leher. Dari jauh kulihat dua orang penduduk berjalan di tengah padang. Sepagi ini? Jam berapa mereka berangkat?
Usai menjawab panggilan alam, aku berjalan-jalan sekeliling sikasur. Kubiarkan celana lapanganku basah oleh embun. Masih tak ada tanda-tanda kehidupan dari pondok. Penduduk tadi sudah melintas. Mengarah ke kiri setelah pondok. Tramontina kubawa serta, dan aku masih kesepian saja.
Jam 10.00, elist bangun dan keluar dari pondok. Ah, sekarang giliranku tidur. Ternyata mereka baru bangun. "Dingin banget, semalem," ujar mereka. Ya, aku tahu mereka beru bisa tidur menjelang subuh. Setelah tubuh mereka lelah karena terus menerus menggigil. "Masak-masak!" seruku pada mereka, sambil memasukkan tubuh ke dalam sleeping bag. "Aku tidur, nanti kalau makanan sudah siap, bangunin ya?" sambil menutup mata. Ah, siapa bilang hidup itu susah?
Aku terbangun ketika masakan sudah tersaji. Telur orak-arik. Hmm, bau kubis yang di campur telor begitu menggugah selera. Para tuan putri tampaknya sudah mandi dan ganti pakaian, dan sekarang sudah siap sarapan (atau makan siang?)
Jam 14.00 berger dengan target Cisentor. Melintasi padang-padang sabana yang dihiasi edelweiss di sana-sini. Masuk hutan, bertemu sabana lagi, masuk hutan lagi. Lalu naik ke bukit di ujung suatu padang rumput. Sepertinya kami melingkari bukit, sebelum jalan menurun sepanjang hampir 50 meter. Tampak curam, karena di sebelah kiri adalah jurang. Terdengar suara sungai. Tampaknya sebentar lagi kami sampai.
Jam 17.00 aku sudah tiba di cisentor. Elist tiba paling akhir, jam 18.00. Pondok sudah dikuasai anak-anak ikip yang muncak tadi siang. Kuputuskan buka camp di bawah, dekat sungai saja. Kubuat api yang agak besar, mencoba menghindari pengalaman kemarin malam. Tapi ternyata di Cisentor tak sedingin sikasur. Yeni masak tempe. (udah berapa hari tuh tempe?) Dibikin kering. Ikan asin dan krupuk menjadi menu wajib. Kecap tinggal sedikit.
Jam 20.00, aku sudah masuk sleeping bag. Radio mengkap siaran Jember. Kebanyakan siaran dangdut dan kirim-kiriman salam. Suaranya bersaing dengan suara deras air sungai. Aku kesepian di sini. Merindukan anak-anak PR yang telah lama tak kutemui. Sepi, seperti berada di tengah suasana asing.
Aku keluar pondok sambil membawa kopi dan sekantung cemilan... Sarung melilit leher dan pundakku, dan aku duduk di depan pondok. Matahari sudah terbit. Caahya putihnya seperti ingin mengusir embun yang bergayut di ujung daun. Berkilauan seluas pandang. Dari utara hingga selatan. Menjadi mahkota berlian bagi batang-batang rumput. Dari kejauhan terdengar kicau burung. Di batas hutan terlihat tiga ekor rusa beriringan. Hening, tanpa suara manusia sama sekali. Konon alun-alun ini pernah menjadi tempat persinggahan pembesar Belanda. Juga ada kabar bahwa pernah ada landasan pesawat di ketinggian ini. Mungkin itu sebabnya, Jika dilihat dari ketinggian bukit di pinggir alun-alun, seperti ada dua bekas jalur lurus, berdampingan di salah satu sudut alun-alun. Kuhirup kopi pelan-pelan, menikmati setiap tegukan. Suara seruputanku saja yang terdengar. Angin telah lama pergi. Mungkin ia telah tiba di ujung pulau ini. Sepi. Apa yang tersisa dari sepi, selain separuh kenangan? Ah, Cecep Syamsul Hari merasakan sepi yang lain di ujung dunia sana. Tapi di sini, alun-alun sikasur, sepi hanya melahirkan kenangan-kenangan semu. Kenangan yang mungkin tak pantas disebut sebagai kenangan. Kemana saudara-saudaraku yang lain? Adakah mereka nyaman di tempat kerja mereka? Adakah mereka tak lagi merindukan suasana seperti yang aku alami saat ini?
Kopi tinggal separuh, ketika panggilan alam menyapaku. Aku masuk pondok dan keluar lagi sambil menenteng golok dan tisu. Kuturuni lembah menuju sungai Qolbu. Sarung masih melilit di leher. Dari jauh kulihat dua orang penduduk berjalan di tengah padang. Sepagi ini? Jam berapa mereka berangkat?
Usai menjawab panggilan alam, aku berjalan-jalan sekeliling sikasur. Kubiarkan celana lapanganku basah oleh embun. Masih tak ada tanda-tanda kehidupan dari pondok. Penduduk tadi sudah melintas. Mengarah ke kiri setelah pondok. Tramontina kubawa serta, dan aku masih kesepian saja.
Jam 10.00, elist bangun dan keluar dari pondok. Ah, sekarang giliranku tidur. Ternyata mereka baru bangun. "Dingin banget, semalem," ujar mereka. Ya, aku tahu mereka beru bisa tidur menjelang subuh. Setelah tubuh mereka lelah karena terus menerus menggigil. "Masak-masak!" seruku pada mereka, sambil memasukkan tubuh ke dalam sleeping bag. "Aku tidur, nanti kalau makanan sudah siap, bangunin ya?" sambil menutup mata. Ah, siapa bilang hidup itu susah?
Aku terbangun ketika masakan sudah tersaji. Telur orak-arik. Hmm, bau kubis yang di campur telor begitu menggugah selera. Para tuan putri tampaknya sudah mandi dan ganti pakaian, dan sekarang sudah siap sarapan (atau makan siang?)
Jam 14.00 berger dengan target Cisentor. Melintasi padang-padang sabana yang dihiasi edelweiss di sana-sini. Masuk hutan, bertemu sabana lagi, masuk hutan lagi. Lalu naik ke bukit di ujung suatu padang rumput. Sepertinya kami melingkari bukit, sebelum jalan menurun sepanjang hampir 50 meter. Tampak curam, karena di sebelah kiri adalah jurang. Terdengar suara sungai. Tampaknya sebentar lagi kami sampai.
Jam 17.00 aku sudah tiba di cisentor. Elist tiba paling akhir, jam 18.00. Pondok sudah dikuasai anak-anak ikip yang muncak tadi siang. Kuputuskan buka camp di bawah, dekat sungai saja. Kubuat api yang agak besar, mencoba menghindari pengalaman kemarin malam. Tapi ternyata di Cisentor tak sedingin sikasur. Yeni masak tempe. (udah berapa hari tuh tempe?) Dibikin kering. Ikan asin dan krupuk menjadi menu wajib. Kecap tinggal sedikit.
Jam 20.00, aku sudah masuk sleeping bag. Radio mengkap siaran Jember. Kebanyakan siaran dangdut dan kirim-kiriman salam. Suaranya bersaing dengan suara deras air sungai. Aku kesepian di sini. Merindukan anak-anak PR yang telah lama tak kutemui. Sepi, seperti berada di tengah suasana asing.
No comments:
Post a Comment