Sabtu, 4 September 1999
Pagi ini tim dari jonggring sudah berkemas. Mereka akan turun pagi ini lewat bremi. Setelah ngobrol sebentar, mereka pamit. "Salam buat cewek-ceweknya, mas!" kata mereka, "Masih tidur ya?" Aku jawab,"Iya, kebluk semua." Hehehe.
Sepagian aku hanya tiduran saja. Yang lain nyuci di cisentor. Mau muncak jam berapa, nih? Sudah siang gini masih nyantai.
Jam 12.00, makan siang sudah siap dan kami mulai memindahkan barang ke dalam doom. Rencananya kami akan ke puncak dan langsung turun lagi. Maka barang-barangpun ditinggal. Toh ke puncak tidak jauh lagi (menurut laporan kuya, cuma dua jam)
Jam 12.30, kami berangkat. Perjalanan santai. Kadang aku sendiri di depan, berusaha menarik mereka supaya tidak terlalu santai. Aku khawatir kalau kemaleman. Nggak bawa logistik cadangan. Aku hanya bawa biskuit dan nata de coco. Hutan masih bervariasi. Jalur nanjak terus. Setiap sepuluh menit istirahat lima menit. Wah, kok seneng banget jalan santai sih?
Jam 14.30 Puncak? Nyatanya kami baru tiba di Rawa Embik. Ada sungai kecil di sini. Aku tiba di sini lima menit sebelum yang lainnya. Sempat melihat keluarga celeng ( babi hutan ) sedang bercengkrama dekat sungai. Kuteriakkan dengan keras. " ASTACALAAAA !!!!" dengan maksud mereka mendengar dan bergegas jalan lagi. Jujur saja, sendirian di rawa embik bikin aku merinding juga. Ada yang aneh di sini.
Jam 16.00, setelah bersusah payah membujuk mereka agar berjalan lebih cepat, akhirnya kami tiba di puncak Rengganis. Semua bekal di gelar di dekat puncak yang menyerupai makam. Barangali ini dulu tempat membuang sesaji, sebab di depannya ada jurang yang dalam. Sepi, hanya kami berempat di sini. Aku keluarkan Nata de Coco yang selama ini kusembunyikan. Aku tak lupa membawa gelas dan sendok. Mereka sempat bingung, "Makannya pake apa, kak?" Mereka piir aku nggak bawa gelas dan sendok. Lalu makan bergantian. Satu kali sendok, hanya boleh mengambil dua kotak nata de coco. Terus berputar, bergantian menggunakan satu sendok. (jorok ya?)
Selesai seremonial, mereka foto-foto. Aku menyendiri, melihat bekas bangunan persegi empat di bawah puncak. Sepertinya bekas candi. Buat apa bikin candi tinggi-tinggi seperti ini? Bikin orang malas sembahyang saja. Di sana, di puncak sana, ketiga cewek Telapak Bara masih saja ketawa-ketiwi. Bercanda kesana-kemari. Dan aku kesepian di sini. Berusaha memahami apa yang sedang terjadi, setelah setahun lebih aku tak mengunjungi Bandung, mendapati kenyataan pahit soal kuliah, soal ibu yang sakit (kata orang sudah hamir mati), lalu mencoba mengeja lagi makna kehadiranku di dunia ini. Di antara rimbunan edelweis dan merah hijaunya cantigi, aku menelan semua itu, merasakan mataku panas, lalu pipi dan lenganku basah.
Di ketinggian tempat ini
aku hanyalah sebutir embun
yang sedang mencari
selarik puisi
Jam 17.00 kami berger ke cisentor. Perkiraanku memang tepat: kami akan kemalaman. Padahal nggak ada yang bawa senter. Laporan kuya ternyata tidak bisa diterapkan untuk anak-anak cewek ini. Kuya mungkin atlet, sehingga tak bisa disamakan dengan cewek-cewek ini. Tapi kalau menghabiskan 3 - 4 jam untuk berjalan ke puncak dari Sicentor, rasanya keterlaluan juga. Apalagi semua bekal ditinggalkan di Cisentor. Tak ada survival kit, senter, apalagi bekal makanan yang dibawa ke puncak. Kalau ini bocor ke Badan Diklat Astacala, maka di sidang anggota muda nanti, mereka bisa kena bantai. Mudah-mudahan mereka "pandai" menulis laporannya nanti.
Secepat mungkin kami berjalan turun. Jam 18.00 tiba di Rawa Embik. Hiii, aku berlari di sini. Nggak safety rasanya, maghrib-maghrib di rawa embik. Kuatur lagi susunan barisan. Elist, Wied, Yeni, baru aku di belakang. "Ayo cepat, keburu gelap!"
Jam 19.15, setelah jatuh bangun dan beberapa kali terperosok, kami tiba di Cisentor. Setengah jam sebelumnya, kami sempat menyangka sudah tiba, karena mendengar suara aliran sungai. Ternyata masih jauh. Sebelum turun ke camp, aku sempat "hilang". Terperosok ke pinggir sungai. Untung saja nggak sampai nyemplung.
Begitu sampai, mereka langsung masuk doom. Sepertinya mereka kaget dengan perlakuanku saat turun tadi. Aku memang banyak perintah. Tapi kalau nggak gitu, bisa-bisa tengah malam baru tiba di cisentor. Itu pun kalau tidak tersesat. Mungkin mereka kesal. Makanya langsung masuk tenda. Aku masak sendirian. Kesepian. Cuma tikus gunung yang keluar. Itupun mendekati tumpukan logistik yang kusiapkan. Hanya aku, dan radio transistor empat band. Elist kemudian keluar. Dia mau bantu aku masak. Aku bilang, "kalau capek, istirahat aja. Nanti kalau sudah mateng, aku kasih tau," kataku sambil memotong sisa-sisa sayuran yang masih ada. Lumayan, masih ada kacang panjang dan wortel. Aku campur buat tumis saja. Tinggal menuggu nasi. Aku ke sungai. Airnya tak terlalu dingin. Segar setelah menyiramkan air ke tubuhku. Elist sedang sibuk mengusir tikus gunung yang nggak mau pergi-pergi.
Makan malam tanpa Wied. "Dia sudah tidur," ujar Yeni. Kupikir, mugkin dia masih marah kepadaku. Makanya nggak mau keluar. Biarlah, tapi kalau besok masih mogok makan, akan kupaksa saja.
1 comment:
kebetulan atau bukan, aku selalu kaget kalau ada yang menggunakan nama kebluk, sebab sejak tahun 1989 (saat kali pertama mendaki semeru) aku dipanggil dengan nama kebluk. Yang memberi sebutan itu Bambang Pardjo (pardjo itu nama bapaknya, aku lupa nama panjangnya), teman smaku.
makanya saat ada yang menggunakan nama kebluk untuk komentar di sini, aku kaget setengah mati dan berusaha mencari tahu siapa sesungguhnya kebluk ini. Hasilnya, rahasia... yang jelas aku kemudian tahu dia dari alamat IPnya. Sengaja aku ubah dengan menyelipkan alamat asli blog "kebluk" tadi dan menunggu reaksi "kebluk" ini. Nggak tahu deh, dia nyadar apa enggak. Jujur aja, aku agak segan untuk nanya langsung, sebab...saya termasuk salah satu pengagumnya... hiks.
Dua komentar di atas terpaksa dihapus karena permintaan penulisnya sendiri, bukan atas inisiatifku.
Post a Comment