Minggu, 5 September 1999
Pagi-pagi aku bangun sendirian. Aku tidur beratapkan flysheet, ditemani api unggun. Yang lain tidur dalam doom. Aku akan masak tuna pedas. Hah! Sarapan ini harus istimewa. Untuk ketiga putri astacala yang telah berhasil mencapai puncak Rengganis kemarin sore. Nasi kubuat agak banyak. Tuna pedas. Mie rebus. Teh tubruk. Ikan asin dan krupuk tak ketinggalan. Bahkan nutrisari kusiapkan, siapa tahu ada yang ingin minum air jeruk-jerukan. Semua aku persembahkan buat mereka. Buat cuci mulut, aku bikinkan agar-agar, yang kemudian kurendam di sungai (mudah-mudahan bisa beku).
Jam 08.30, masakan sudah siap. Aku menunggu sambil mendengarkan siaran radio Jember. Sebagian atap flysheet sudah kubuka, supaya terang. Pakaianku yang kotor sudah dicuci dan dijemur. Panas matahari kuharapkan mampu membuat pakaianku kering. Sleeping bag pun aku jemur di atap flysheet. Tapi, ah.... kenapa mereka belum juga bangun? Sudah satu jam masakan siap. Nasi mulai dingin. Mie rebus sudah kuhabiskan (kalau terlalu lama, tidak akan ada yang mau makan). Ah, apa mereka terlalu lelah? Atau jangan-jangan sakit? Atau aku tak sengaja berlaku kasar semalam, hingga mereka tersinggung dan tak mau makan masakanku lagi? Aku mulai was-was. Apa salahku ya?
Jam 10.00, aku mendekati tenda. Aku goyang-goyangkan tenda sambil memanggil mereka satu per satu. Terdengar suara dari dalam. Ah, rupanya mereka terlalu lelah, sehingga bangun kesiangan. "ASTACALA !!!" begitu kuteriakkan di depan tenda. Hahaha, aku mendapat kerianganku lagi saat mereka ternyata terganggu dengan teriakanku. "PEMALAS!! AYO BANGUN!!!"
Satu per satu mereka keluar. Wajahnya kusut masai, dan cemberut. Tapi melihat hidangan di atas matras, mereka terlihat senang. "Udah dari tadi nih. Air teh udah ronde kedua." Aku ke kali mengambil agar-agar yang kurendam. Lumayan, udah beku dan siap dimakan
Mereka duduk satu per saut menghadap hidangan. Memegang senjata masing-masing (sendok) lalu makan dengan lahap. Kayaknya mereka takjub melihat sederet hidangan yang disuguhkan. Setelah makan, mereka ke kali. Sekalian mencuci nesting dan trangia. Aku mulai melipat flysheet. Packing.
Jam 12.00, semua packing sudah rapi. Berger dengan target Taman Hidup. Dalam hati aku menebak, "Nggak bakalan sampe."
Dari Cisentor, medan yang dilewati masih berupa savana yang berbatas hutan cemara. Bosan juga. Yeni sempat mengeluh dengan kakinya. Kayaknya bekas jatuh kemarin masih terasa. Tapi aku nggak bantu dia. Biar yang lain saja. Nggak lama, dia sudah berdiri lagi.
Agak cepat juga perjalanan kali ini. Jam 15.00 sudah sampe di aing kenek. Sebuah lembah pertemuan tiga bukit. Banyak snip-snap di sini. Beberapa kali aku hampir menyentuh daun-daunnya. Aku menunggu kalau-kalau ada yang kena daun ganas ini (gatal dan panas). Maksudnya biar nggak terlalu membosankan. Tapi ternyata semua bernasib baik. Diputuskan untuk tidak berhenti. Suasananya syerem. Sepiii.... Nggak banyak percakapan kali ini. Entah apa yang dipikirkan mereka. Aku kesepian. Jalan lagi, setelah tak ada tanda-tanda yang ingin makan. "Masih kenyang." Tapi setengah jam berjalan, lagi-lagi kami berhenti. Buka bekal: makan biskuit. "Ada yang mau mie?" tapi ngak ada yang nafsu. Aku mulai jengkel dengan kecepatan kami. Kalau mau, ke Aing Kenek aja, buka camp lagi. Aku sendirian orienteering. Nulis puisi di belakang peta. Yang lain ketawa-ketiwi. Rasanya cuapek!
Entah berapa bukit kami naiki dan turuni. Rasanya bosan sekali. Setelah menyeberangi lembah dengan batu yang besar-besar, kami istirahat di puncak sebuah bukit. Apa ini yang namanya taman kering? Lama juga berhenti di sini, sampai aku tertidur. Sempat mimpi lagi makan nasi rawon di kantin kampus dengan gepeng. Bangun lagi, ternyata yang lain juga tertidur. Wah, "Ayo berger!" Malas-malasan kami bergerak. Lalu tiba di sadel, pertemuan dua bukit yang jalannya menikung. Malas sekali mau melanjutkan, karena jalannya naik. "Kita buka tenda di sini ajah," usul siapa aku sudah lupa. Lokasinya cukup datar. tampaknya bekas tempat camp juga. Ada bekas perapian dan rumput-rumputnya sudah dibersihkan. Ada sebuah pohon besar yang dikotori dengan beberapa tulisan dan plang kayu. Salah satunya bertuliskan singga lawang.
Makan malam hanya dengan nasi dan mie goreng. Hunkue belum tersentuh. Dendeng sudah habis. Begitu juga dengan sayur-sayuran. Nggak heran kalau nasinya nyisa. Malamnya aku tidur sendirian di luar tenda. Api menyala cukup besar, sehingga sleeping bag nggak aku buka. Cuma aku jadikan bantal ajah. Radio lagi-lagi cuma nangkap siaran dangdut. Untungnya ada siaran SW, walaupun suaranya naik turun dan campur suara semut. Sampe jam 23.00 aku belum bisa tidur. Mungkin karena khawatir dengan api yang terlalu besar. Soalnya, kering sekali di sini. Anginnya cukup besar. Jangan-jangan apinya merembet ke hutan dan jadi kebakaran. Aku bangun lagi dan masak nasi goreng. Dari tenda, suara mendengkur cukup keras terdengar. Selesai masak, api kukecilkan. Hanya bara saja yang tersisa, buat mengusir dingin. Nulis lagi, sampe jam dua pagi.
1 comment:
Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!
Post a Comment