Suaramu tiba melalui celah bukit membiru.
Meruntuhkan batu-batu nisan
yang tumbuh liar bagai ilalang diantara namamu.
Bukankah sepi tak lagi kekal ketika bisikmu memicu debar hati,
dengan skala getaran yang tak akan pernah bisa kupahami.
Sementara masih saja tak mampu kubedakan suara ombak tatkala surut
menjauh, dengan embun yang bergayut dan terjatuh
dari kelopakmu. Langit hanya menyisakan catatan diskusi tentang Tom
and Jerry, atau tentang kepura-puraan kita memahami isi hati
Robert Herrick. Atau kau telah kehilangan hasrat bertualang bersamaku
menelusuri sajak-sajak panjang The Waste Land seraya tiba-tiba teringat
pada semak di pinggir sungai tanpa muara dan tanpa hulu itu?
Tapi kaukah itu, kekasih,
yang menyisipkan tawa ceria di tengah geliat bangkitnya kota.
Lihatlah betapa tunas-tunas hijau mulai tinggi,
dan angin dari laut seberang tak lagi menebar cerita
tentang pokok-pokok hitam tua yang tak juga tumbang.
Sendiri mengeja pagi
saat garis buram di batas pintu tak lagi mencetak sisa air
mata. Maka biarlah aku gulirkan terus kisah pencarian berabad-abad
pada sudut senyummu, agar dalam ayunan bunga cempaka dini hari
bisa kulihat lambaian tanganmu
mengusir keraguanku sendiri.
Meulaboh, April 2007.
puisi ini, mungkin belum selesai....
3 comments:
Duh...
*sahur yuuuk...*
bingung mo komen apa, soale keren bgt...
aku baca 3 kali, tapi juga gak bisa benar2 mengerti maknanya, atau memang msh ada sambungannya?
wah Meulaboh, ingat lautnya
@ dew :
kenapa bu...? kok duh, kejedot pintu?
@ putirenobaiak :
iya, ingat lautnya..
Post a Comment