Wednesday, August 15, 2007

Patung Kayu

Cerita berikut ini dikutip dari cerita rakyat negeri seberang. Versi terjemahan Bahasa Indonesianya pernah dimuat di majalah anak-anak Bobo, bertahun-tahun silam.

Ada tiga sahabat dengan keahlian berbeda sedang menuju kota untuk mengadu nasib. Kota itu jauh dari tempat tinggal mereka di pedalaman dan ketiganya yakin keahlian mereka akan bermanfaat untuk menjalani hidup setelah hijrah dari desa tempat tinggalnya.

Karena jarak perjalanan yang jauh, maka menjelang malam mereka berhenti di tempat terbuka di pinggir sungai untuk istirahat. Semua sepakat untuk membuat giliran jaga dengan jatah waktu yang terbagi secara merata.

Giliran pertama jatuh pada si ahli pembuat patung, sementara yang lainnya tidur memulihkan tenaga. Pematung ini sebenarnya sudah mengantuk dan menjadi merasa jenuh karena harus berjaga sendirian. Maka untuk mengusir kejenuhan dan tetap membuatnya terjaga, dia mendekati sebatang pohon yang batangnya seukuran tubuh orang dewasa. Dikeluarkannya perkakas lalu mulai memahat kayu pohon tersebut. Dengan keahliannya, secara cepat ia mampu membuat sebuah patung manusia berbentuk wanita cantik dengan ukuran tubuh sempurna. Setelah merasa tugasnya sudah ditunaikan dan pekerjaan mematungnya selesai, ia membangunkan kawannya yang mendapat giliran jaga berikutnya serta beranjak tidur.

Orang kedua ini, adalah seorang yang punya keahlian untuk merias. Dia juga pandai menjahit pakaian dan membawa serta hasil kreasinya yang akan dijual di kota.

Seperti juga orang pertama, ia merasa mengantuk dan jenuh. Maka ia mulai mencari-cari kesibukan. Ketika dilihatnya sebuah patung wanita, ia mendapatkan ide cemerlang. Akan ia rias patung kayu itu hingga menjadi lebih cantik dan terlihat hidup. Dikeluarkannya koleksi busana, kosmetik, dan perhiasan. Ia sesuaikan ukuran koleksi busananya dengan ukuran patung kayu. Kalau ada bagian terlalu besar, maka ia kecilkan. Begitu juga sebaliknya. Ia pasangkan juga beberapa perhiasan semacam kalung, cincin, serta gelang. Tak lupa ia dandani patung itu dengan kosmetika hingga patung tadi benar-benar menyerupai seorang wanita cantik.

Setelah puas melakukan riasan, ia sadar bahwa waktunya untuk tugas berjaga sudah habis. Segera dibangunkannya orang ketiga untuk melanjutkan tugas jaga.

Orang ketiga ini pun merasa jenuh. Maka ia mulai melihat sekeliling untuk mencari kesibukan. Betapa terkejutnya ia melihat sosok wanita cantik dekat tempat mereka berkemah. Sempat ia menyapa sebelum menyadari bahwa itu hanya patung kayu.

Segera ia dekati dengan penuh rasa kagum. Dia adalah seorang ahli ibadah yang luas pengetahuannya. Ia hafal semua doa dan mantra serta tata cara memanjatkan doa yang benar.

Melihat patung indah itu, timbul keinginan untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Pemberi Hidup agar patung itu bisa diberi nyawa. Mungkin ia akan melalaikan tugas menjaga karena harus memusatkan segenap indera untuk bersemedi, tapi ia yakin bahwa kondisi lingkungan tempat mereka bermalam ternyata aman-aman saja. Terbukti sepanjang dua pertiga malam tak terjadi apa-apa. Maka mulailah ia mengheningkan cipta. Berdoa dengan segala tata cara dan kata-kata mantra yang ia ketahui. Ia terus berdoa hingga tak sadar hari sudah pagi.

Saat itu, kedua kawannya mulai terjaga. Mereka mendekati si ahli ibadah dan menyadarkannya dari semedi. Namun beberapa detik kemudian, ketiganya terkejut, sebab ada seorang wanita yang mendekat ke arah mereka. Ya, patung tadi hidup menjadi wanita cantik dengan pakaian indah dan perhiasan gemerlapan.

"Itu wanita ciptaanku," ujar si pemahat sambil berjalan mendekati wanita yang keindahannya memesona mereka.

"Tidak, itu milikku, sebab akulah yang membuatnya cantik. Kau hanya membuat patung kayu, sedang aku yang meriasnya, menghiasnya, dan membuatnya lebih cantik," sanggah orang kedua

"Kalau saja aku tak menggunakan mantra dan doa yang aku ketahui dengan metoda khusus yang selama ini telah aku kuasai, dia tetaplah patung kayu, secantik apapun dia. Maka akulah yang berhak menentukan nasibnya. Untuk aku telah aku putuskan, bahwa akulah yang akan memiliknya. Membawa ke kota dan menikahinya." Itu kata orang ketiga, si ahli ibadah.

Mereka berdebat sementara wanita tadi menyaksikan dengan heran. Tak ada yang mau mengalah. Ketiganya belum memiliki istri dan sama-sama terpesona dengan kecantikan wanita itu hingga ingin memilikinya dan menjadikannya istri. Ketiganya juga sama-sama merasa paling berhak atas wanita itu.

Akhirnya...
(akhirnya biarlah dikembalikan pada pembaca. Versi aslinya memang ada akhirnya, dan tidak ngambang kayak gini. Tapi 'kan, ini bukan versi asli, hanya kutipan bebas. Huehehe...)

Sebenarnya, adakah hak kita pada orang lain, sebesar apapun jasa kita, atau sebesar apapun kesalahan orang tersebut?

No comments: