Setelah melintasi semak belantara
sungai itu pun tiba di muara. Tidak lagi jernih
seperti embun di sudut subuh jendelamu,
melainkan keruh karena limbah.
Bukankah sungai di kota besar
selalu berperan sebagai petugas pengantar
dan tempat menyatukan serapah?
Maka tak ada yang mencatat kedatangan sungai
selain pantulan sore yang memerah di riak permukaan luka.
Tapi ombak tahu itu.
Ia bergerak ke pantai
penuh gelora.
Tubuhnya juga penuh luka menganga,
karena rindu telah sempurna
mengoyak segala yang bersemayam dalam dada.
Ia tak peduli sungainya kini penuh limbah
karena sebagai ombak
ia datang dari laut yang menampung segalanya,
termasuk sisa minyak tumpah
dan penggalan kata-kata sumpah.
Hanya bulan memucat di atas muara
senyap. Betapa pertemuan begitu indah dalam aliran luka
bersama, dalam kesadaran
sempurna. Namun gelap harus berakhir
matahari tak mau tahu: Ombak harus surut
dan sungai dalam pelukan laut harus menguap
menjadi awan dan hujan
atau embun di puncak-puncak gunung,
dan barangkali menjadi sunga-sungai
yang kembali melarutkan
rindu.
No comments:
Post a Comment